Playlist
Title: Playlist
Author: ulaai aka. ulaaifuhfun
Characters: SHINee members, other figures and the OCs (+ me as OC hehe, find me out!)
Genre: Friendship
Rating: T
Disclaimer: They are not mine, I only have the plot. Songs credits to SHINee, Jacko, Hey! Say! BEST, and me.
A/N: This is my first fanfic here! Comments are highly appreciated. And sorry if this story is too long… well it’s kinda ordinary for me to write and read this long of stories, but maybe you not… This spend a week for write it and 14 pages in Microsoft Word, so if you read it I will be glad… This is also a birthday present for me whose turn into 14 this 21 June… Well, enough blabbing! Off to the story! 😀
***
Tik. Tik. Tik.
Rintik-rintik hujan mulai membasahi jendela utama rumah asrama SHINee. Membuat suasana sedikit gaduh karena tetesan-tetesannya semakin menderas—tapi toh itu tidak begitu berarti. Ruang makan merangkap ruang dapur terlihat begitu sepi, padahal biasanya ada seseorang—siapapun itu—yang berada di sana. Entah mengambil makanan atau mengambil sebotol susu dari kulkas. Ruang tengah pun juga sama heningnya. Padahal biasanya Minho atau Taemin senang sekali bermain Winning Eleven di situ—tapi entah kenapa, sepertinya hari ini mereka tidak begitu bersemangat. Ada apa dengan mereka?
“Hari ini kita tidak ada pekerjaan,” ucap Onew sesaat setelah menerima telepon dari manajer mereka pagi ini. “Yoonduk-hyung bilang kita akan menghadiri dua acara reality show dan tiga acara music performance serta siaran radio selama tiga hari ke depan, jadi kita disuruh istirahat dulu. Begitu katanya.”
“Jeongmal? Beneran?” Sang Maknae membelalakkan matanya. “Wow, akhirnya, ada juga hari di mana aku bisa bebas!”
“Aku mau mengunjungi ibuku,” Key bersuara. “Kami sudah dua bulan tak bertemu, rasanya kangen sekali.”
Minho berpikir sejenak. “Bagaimana denganku, ya… Kurasa aku akan menemui sahabatku waktu masih di sekolah menengah dulu. Tempatnya agak jauh, jadi mungkin aku akan pulang agak terlambat.”
“Jangan terlalu malam,” kata Onew. “Kita harus tidur cepat, karena besok kita harus bekerja lagi. Terutama untukmu, Minho,” Minho mengangguk, “Key juga. Taemin, kau tidak ada rencana keluar?”
Taemin mengangkat bahu. “Sepertinya tidak. Aku main laptop saja.”
“Jonghyun?”
Key rupanya menyadari bahwa ada seseorang yang sama sekali tidak bersuara sedari tadi—Jonghyun. Sang pemuda bersuara bling-bling itu bahkan sudah bungkam mulut sejak dirinya bangun tadi pagi. “Kau hari ini mau ngapain?”
“Err… mendengarkan musik dari iPod,” sahut Jonghyun sekenanya. Ia tidak terlalu peduli dengan rencana di hari bebas ini. Key manggut-manggut.
“Baiklah. Sampai jumpa nanti, ya, kita akan tetap makan malam bersama. Hari ini yang membuat makan malam adalah Key, jadi kau jangan terlambat, oke?”—Key mengiyakan—“Kalau begitu, selamat menjalani aktivitas kalian masing-masing. Annyeong!” Onew menutup pertemuan kecil mereka pagi ini.
“Annyeong!!”
***
Hujan semakin menderas.
Jonghyun menatap keadaan di luar lewat jendela, kemudian berdecak sebal. Yang benar saja! Mimpi buruk baginya, menghabiskan satu hari sendirian tanpa teman-temannya. Onew bahkan tak bisa diandalkan di saat-saat seperti ini, ia bahkan lebih memilih tidur. Taemin? Ia lebih memilih berselancar di internet dan mencari video dance terbaru ketimbang ngobrol dengannya. Ah, menyebalkan!
Apa yang bisa ia lakukan sekarang? Ia merenung sejenak. Selintas bayangan muncul di kepalanya. Apa ia harus…? Sepertinya memang tidak ada pilihan lain.
Jadi, ia berjalan memasuki kamar, bermaksud mengambil iPod kesayangannya. Melewati Taemin yang masih sibuk berkutat dengan laptopnya—Jonghyun tak mau ambil pusing memikirkan apa yang sedang ia lakukan dengan barang berbentuk persegi itu. Ia bahkan tak menyapanya sama sekali. Taemin pun cuma mendongak, tersenyum singkat, dan mengangguk. Jonghyun memandangnya sesaat, kemudian pergi meninggalkan kamar dengan menenteng iPod mungil yang sebentar lagi akan menemaninya itu.
“Apa aku harus play random saja, ya…” gumam Jonghyun sambil mengempaskan tubuh di sofa ruang tengah yang empuk. Setelah beberapa kali menekan tombol navigasi iPodnya, Jonghyun meraih kabel earphone yang terjuntai dan memasangkannya di telinga.
Nunan neomu yeppeoso
Namjadeuri kaman an dwo
Heundeullineun geunyuhui mam sashil algo isseo
Eh? Alis Jonghyun terangkat sedikit. Lagu ini?
***
Rumah Sakit Buk Hon Ah.
“Nomor 301… nomor 301…” Sesosok lelaki berjaket tebal warna hitam tampak sesekali melongokkan kepalanya kanan-kiri. Ia yakin ia sudah memasuki koridor yang benar, tetapi kenapa masih belum ketemu juga?
“Err… suster,” sosok itu menghentikan seorang suster yang lewat di dekatnya. Suster itu terkejut—kemudian dengan pandangan sedikit berbinar ia bertanya, “Ada apa?”
“Kamar nomor 301 ada di sebelah mana ya?”
Suster itu terdiam sejenak, mengingat-ingat. “Anda tinggal lurus, dari pojok situ, anda belok kiri. Cari pintu yang ada pot tanaman di depannya.”
“Oh…” si lelaki bergumam pelan, “Gamsahamnida, suster. Terima kasih.” Suster itu cuma tersenyum dan mengangguk. Dengan langkah-langkah lebar sosok itu berjalan menuju ke ujung lorong. Setelah si lelaki sudah jauh dari dirinya, suster itu memekik dalam hati, “Aku ketemu anggota SHINee!”
Sosok itu—Kim Kibum—akhirnya tiba di depan pintu ruang nomor 301. Diketuknya pintu tiga kali, sampai akhirnya sebuah suara menyahut dari dalam. “Masuk saja. Tidak dikunci.”
***
Tok! Tok! Tok!
“Astaga!” Han Myungdo buru-buru melempar remote TV dari tangannya, sehingga benda itu nyaris saja terpental. Suara komentator pertandingan baseball sejenak hilang dari kepalanya. Bagaimana bisa ia lupa kalau ada teman lamanya yang berkunjung hari ini? Dengan gerakan cepat, ia mengambil kunci di atas meja, kemudian bergegas menuju pintu depan dan membukanya.
“Ya ampun, Minho,” ujar Myungdo begitu melihat sosok yang tengah berdiri di depan pintunya dengan jaket biru yang basah karena hujan. “Telepon dulu kek kalau sudah mau sampai sini. Lihat, akhirnya kau jadi kehujanan, kan!” serunya. “Kalau kau telepon, aku bisa menjemputmu di stasiun dan membawakanmu payung. Kau benar-benar tidak berubah, ya.”
“Daripada menceramahiku terus seperti itu, bukankah lebih baik kalau kau langsung menyilakanku masuk? Di luar dingin.” Sahut Minho kalem.
Myungdo tersentak sesaat, “Ah, ya. Ayo masuk.” Dibukanya pintu coklat itu dan tubuhnya sedikit digeser ke kanan, memberi jalan Minho untuk lewat. Lima detik kemudian pintu itu ditutup. Myungdo membalikkan badannya, “Memang kau tidak bawa ponsel?”
“Bawa.”
“Lalu kenapa kau tidak telepon?”
“Malas.”
Myungdo mengangkat bahu. Kakinya melangkah ke sebuah pintu di pojok ruangan. Ia membuka pintunya dan mengeluarkan sebuah handuk dan kaos dari situ. “Ini, pakailah. Jangan sungkan.”
“Tidak usah,” Minho menolak.
“Ayolah,” desak Myungdo, “Atau kau akan kuusir dari sini.”
Akhirnya Minho menerimanya. Dibukanya jaket dan dilepaskannya kaos yang menutupi tubuhnya, dan diambillah handuk dari Myungdo itu. Sambil mengusapkan benda lembut berwarna putih itu ke seluruh badannya, Minho bersuara, “Kudengar kau kuliah di Jepang, ya?”
Myungdo mengangguk. Ia membuka pintu kulkas dan mengeluarkan seteko air dingin dari situ. “Di Todai. Tokyo Daigaku—alias Universitas Tokyo.”
“Baguskah universitas itu?”
“Itu universitas paling bergengsi di sana,” sahut Myungdo, sedikit bangga. “Sekarang aku sedang libur, makanya pulang kembali ke sini. Akhir-akhir ini aku suka sama kartun buatan sana, lho.”
“Kartun?” gumam Minho pelan, teringat jejeran komik Slam Dunk di rumah asramanya. “Seperti apa?”
Myungdo menutup pintu kulkas dan menyorongkan segelas penuh air dingin ke hadapan Minho. “One Piece, Naruto, tapi yang paling aku suka adalah Bleach. Oh ya, di sana ternyata juga banyak boyband seperti di Korea, lho. Meskipun terlihat kecewekan, aku suka salah satu boyband di sana. Mereka punya dua subgroup. Lagu mereka banyak yang bagus lho, dan aku sedang suka salah satu lagu mereka. Mau dengar?”
Minho tak punya pilihan lain.
***
Taemin mengganti posisi duduknya. Tadinya ia duduk bersila di atas kasur—tapi sekarang ia duduk berselonjor dengan punggung tersandar dan memangku laptopnya di paha. Ia sedang pusing sekarang. Bukannya apa-apa, tapi… hei, bukankah sangat sulit untuk mengerjakan tugas sekolah di saat pikiranmu sedang kacau begini?
Eternal maknae dari SHINee itu menghela napas—sambil menatap jejeran soal trigonometri yang terpampang jelas di layar laptopnya. Sumpah dari segala sumpah: ia benar-benar tidak mengerti! Demi apa sih memangnya ia harus berurusan dengan segala tetek bengek sin-cos-tan ini? Pekerjaannya sekarang saja sama sekali tidak ada hubungannya dengan hal berbau trigonometri!
Sekelebat ide muncul di pikirannya. Apa ia tanya pada Jonghyun saja, ya? Hyung-nya yang satu itu pasti mengerti. Ia kan sudah lulus beberapa tahun yang lalu, dan hari ini pun dia longgar. Tapi kemudian sebuah bayangan melintas kilat—sikap Jonghyun yang sama sekali cuek tadi. Waktu mengambil iPod, gila—tersenyum saja tidak! Ada apa sih dengannya? Kenapa ia tiba-tiba saja jadi cuek dan dingin?
Saat ia sudah mau beranjak dari ranjangnya itulah, ponselnya berdering.
***
Ruang tengah asrama SHINee.
Lagu Nuna Neomu Yeppeo masih berkumandang di telinga Jonghyun. Membawanya pada memori lama, sebuah rasa yang begitu asing untuknya hari ini—sekaligus membawa perasaannya yang memang sensitif ke dalam kenangan masa lalu yang begitu menyenangkan.
And I think I’m gonna hate it girl
Ggeuchi daga oneun geol
Gaseumi marhaejunda nuga mworado
“Nuna neomu yeppeo…” gumam Jonghyun. Lagu ini serta-merta membawanya pada dua tahun yang lalu—saat mereka pertama kali debut. Ia masih belum asing akan rasanya: kebahagiaan sewaktu namanya diumumkan lulus seleksi, mendapat partner kerja baru, rekaman lagu, syuting music video untuk yang pertama kalinya… tiba-tiba rasanya ia sangat kangen pada keempat temannya yang heboh itu.
Onew, sang leader. Sang manusia lemah-lembut bak tahu—ondubu, yang sangat terkenal akan kejayusan dan ‘Onew Condition’-nya. Yang paling tua sekaligus yang paling bertanggung jawab diantara mereka berlima, tapi juga paling kocak. Ia juga seseorang yang sangat profesional, mau mencoba segalanya yang baru, mau berbuat salah. Ia rela bangun pagi-pagi untuk mengantar Taemin ke sekolah. Mau diajak jadi teman diskusinya Minho. Mau repot-repot mendengarkan curhatan Jonghyun. Dan yang terpenting, ia adalah appa-nya SHINee—di mana seseorang memberi respek dan hormat kepadanya, seseorang yang bermultitalenta tinggi. Ah, kenapa juga harus menggerutu kalau leader-nya itu memang memilih untuk tidur? Bukan salahnya juga, kan… mungkin ia kelelahan karena jadwalnya yang lebih padat ketimbang member-member lain.
Sementara itu, lagu masih terus berlanjut.
Nunan neomu yeppeo
Geu geunyeoreul boneun naneun michyeo
Ha hajiman ijen ichyeo
Replay, replay, replay
Key, sang Almighty. Mungkin Key-lah—dari keempat member SHINee lain—yang paling akrab dengannya. Key yang selalu gila dan kocak. Key yang kalau tertawa pasti kencang tiada tara—mengalahkan telak Jonghyun sang tukang huru-hara. Umma—ibu—SHINee karena paling cerewet, tapi meskipun begitu juga penuh dengan perhatian dan jago masak. Key yang senang main ‘suami-istri’ dengan Jonghyun, Key yang suka main bisik-bisik sok asyik dengan Minho, Key yang setia menyetrika seragam sekolah Taemin, dan Key yang juga suka membuat Jonghyun tertawa kalau lagi duet gila bareng Onew. Key yang… takut akan ketinggian. Jonghyun tersenyum waktu mengingat hal ini—betapa saat bungee jumping di salah satu acara televisi dulu si pengagum fashion ini masih sempat-sempatnya pakai acara tutup muka segala. Key yang begitu dekat dengannya.
Chouki nae mameul halkwiu
Ah apeseo ijen mameul gochyeo
Da dagaol ibyeoleh nan
Replay, replay, replay
Minho, si flaming-charisma. Kharisma yang berkobar, kata Minho dulu waktu pertama kali Jonghyun menanyakan artinya. Minho—mungkin—adalah makhluk terkalem diantara kelima personel SHINee yang kadang-kadang kalau lagi parah ketawanya suka dilerai sama cowok satu ini. Yep, si Pelerai—julukan nonverbal yang pantas diberikan kepada Minho meski mungkin tak semua orang menyadarinya. Juga member yang paling tinggi—Jonghyun ingat ia pernah krisis identitas gara-gara tingginya yang tidak sepadan dengan rekan kerjanya itu. Bayangkan, 10 senti! Tetapi Minho tak pernah sombong, meski kenyataannya begitu banyak orang yang memuji wajahnya yang ‘katanya’ Onew mirip karakter manga. Dan yang paling melekat dalam benaknya tentang Minho adalah ketika si pendiam itu berkata, “Aku nggak suka hantu. Tapi aku benar-benar ingin lihat…” yang menurut Jonghyun merupakan pengakuan paling aneh sepanjang hidupnya.
Nunan naul M.V.P
Burohumeh ppodeuthaeji
Neulshisunjibjung geunyeowa hamkke itneun nan so cool
Jebal i soneul nohji maljadeon
Naui dajimeun
Eoneu sunganbootuh gujishingeol ara
Taemin, sang maknae. Mengingat nama ini Jonghyun jadi sedikit bersalah sudah bersikap ketus tadi waktu ia ke kamar mengambil iPod. Taemin adalah member termuda—yang ini hukum alam—dari kelima personel SHINee. Dan mungkin juga yang paling imut-imut. Yang ini semua anggota, kecuali Taemin tentu saja, sangat setuju: anak itu cantik sekali dan cewek banget! Merupakan lead dance SHINee, yang selalu berada di tengah formasi ketika bagian refrain sebuah lagu. Taemin sang Pangeran Musim-Semi, yang senyumnya selalu menghangatkan. Taemin yang masih menjunjung Onew sebagai Hyung-nya—berbeda sekali dengan dirinya dan Key yang masih suka cari ribut. Taemin yang klop sama Minho kalau tiga hyung-nya yang lain sudah sibuk dengan dunia gila mereka. Taemin yang bahkan sudah Jonghyun anggap sebagai adik sendiri.
Tiba-tiba dirinya merasa sangat kangen. Sangaaaat rindu.
Ia ingin bertemu dan berkumpul dengan semua anggota SHINee—dan kembali tertawa bersama mereka.
***
Kamar 301, Rumah Sakit Buk Hon Ah.
“Oh, kau, Kibum,” seorang wanita berseragam perawat menoleh, dan tersenyum. “Kau rupanya betul-betul datang.”
Key mengiyakan. Dilihatnya keadaan sekeliling—mainan di mana-mana. Anak-anak kecil yang berkeliaran. Bau khas bayi. “Ampun deh, Ibu masih menerima tawaran jadi pengasuh anak dadakan lagi?”
Nyonya Kim—ibu dari seorang personel SHINee, Kim Kibum—hanya tersenyum lebar. “Nggak apa-apa, kan. Ibu juga suka anak-anak, kok. Kau juga suka, kan? Ibu pernah melihat acara televisimu yang judulnya… apa tuh… yang ada anak kecilnya?” Key menyahut, “Hello Baby, Bu.”
Wanita berambut pendek bergelombang itu mengangguk. “Iya, itu. Ibu tidak terlalu mahir berbahasa Inggris. Kibum, maukah kamu memegang daftar ini sebentar? Sepertinya mereka sudah bosan main sendirian. Mungkin mereka mau bernyanyi sedikit, ataupun menari… kau mau ikut?”
Key menerima kertas daftar yang terulur, “Aku mau. Tapi aku akan mengajarkan lagu Ring Ding Dong dan dance-nya, bukan lagu anak-anak macam Matahari Terbenam, Jalan-Jalan ke Hutan, ataupun Permen Kapas,” ujarnya.
Ibunya mendengus main-main. “Sudah, kamu lihat dari sini saja,” lalu sepersekian detik berikutnya, ia tersenyum. Ibunya mendekati anak-anak ‘asuh’-nya itu dan berkata, “Ayo anak-anak, berkumpul di sini, kita menyanyi bersama.”
“Nyanyi apa Bibi?” salah seorang anak yang ada di situ, dengan gaya cadel, bertanya. “Kita akan menyanyi lagu berjudul… ‘Teman’. Kalian belum tahu? Ayo Bibi ajarkan.”
Aku punya banyak teman
Yang selalu bermain denganku
Membuat hari menjadi menyenangkan
Kami saling menyayangi
Waktu tidak terasa
Hari sudah beranjak sore, hei
Ayo kita pulang segera
Esok bertemu lagi
Nyonya Kim mengulang lagu itu beberapa kali. Key yang mendengarnya langsung tercenung—dan entah kenapa, ia jadi teringat anggota SHINee yang lain. Baru disadarinya ia tadi bahkan belum berpamitan pada semuanya saat akan meninggalkan rumah.
Aku punya banyak teman
Yang selalu bermain denganku
SHINee, seru Key dalam hati. Ia tidak hanya bermain dengan SHINee. Ia juga bekerja dengan mereka. Bagaimanapun, mereka partner kerja. Tapi ia juga tertawa, bercerita, dan sedih bersama dengan SHINee. Ia jadi ingat, saat dirinya pertamakali didebut dua tahun yang lalu, ia merasa ia memiliki sebuah oase baru selain keluarganya: teman-teman barunya.
Membuat hari menjadi menyenangkan
Kami saling menyayangi
Key larut dalam pemikirannya tentang SHINee. Saking seriusnya, tak terasa lbunya sudah ada di sampingnya. “Ada apa, Kibum?”
Key tersentak. “Tidak apa-apa, Ibu. Aku hanya teringat pada teman-temanku.”
“Grupmu itu?” Ibunya menebak. Key mengangguk. “Lagu tadi benar-benar menyindir. Aku tahu sih itu ciptaan Ibu sendiri—“ Ibunya terkekeh, “—tapi tetap saja itu menyindir.”
Ibunya manggut-manggut. “Hmm… Kibum…” Key menoleh, “Apa kau menyayangi… kawan-kawan rekan kerjamu?”
Pemuda yang menggunakan skinny warna gelap itu jelas mengangguk. “Tentu saja, Ibu!”
Ibunya memandang anak-anak kecil yang sekarang sibuk mengulang lagu ciptaannya itu dengan raut gembira meskipun masih tertatih-tatih, “Kalau begitu baguslah. Kau tidak ingin berlama-lama di sini tentunya, kan?”
Kekagetan jelas terpampang pada wajah Key. “Ibu…”
Nyonya Kim tersenyum. “Pergilah.”
Key tak butuh waktu lama sampai akhirnya ia menyadari maksud dari ibunya dan mengangguk.
***
Sebuah kamar di rumah mungil di suatu sudut kota Seoul.
“Judulnya Score. Cocok sekali untukmu, deh,” Myungdo masih tak hentinya berpromosi tentang lagu Jepang yang katanya bagus itu. “Karena kau tak bisa berbahasa Jepang fasih, kuberikan terjemahannya padamu, ya.”
Minho cuma memandangnya tanpa suara ketika ia menerima kertas yang disodorkan Myungdo kepadanya. “Kuputar, ya, lagunya.”
Hey! Say! BEST – Score
Arigatou nagareru itsutsu no melody boku ni wa mieru yo
(Terima kasih, ini adalah cara bagaimana aku melihat alunan melodi dari kita berlima)
Narabi atta onputachi ga mie hari ai nagara
(Notasi musik yang mengalir diantara kita, baik saat kita sedang bersaing satu sama lain)
Shinjiteru itsutsu no melody boku ni wa mieru yo
(Aku percaya pada adanya melodi diantara kita berlima, itulah yang aku lihat)
Tabiji to iu sen ni notte
(Tiap jalur yang ada di sepanjang perjalanan)
Mada mienai asu ni ima wo utao
(Aku akan bernyanyi sekarang, menganggap seakan-akan hari esok takkan ada lagi)
Minho tercenung.
Hey! B BROTHER Bokura to tomo ni michi no tobira wo hirako
(Hei! B BROTHER Kita membuka pintu yang sama sekali asing untuk kita)
E EASY GOING kiraku ni kinaga sou STEP AND JUMP
(E EASY GOING Kita selalu bersabar dan optimis, STEP AND JUMP)
S SMILE Tagai no egao no kagayaki wo nahatte
(S SMILE Bertukar senyum, membuat kita bersinar)
T TIME Mahou janai kono shunkan jinsei ichiban no BEST
(T TIME Ini bukan sihir, ini adalah momen terbaik dari BEST)
Kenapa ia mendadak jadi ingat teman-temannya? SHINee. Lagu ini—sialan, Myungdo ini mau menyindir atau bagaimana sih—jelas-jelas SHINee itu ada lima! Dan kata ‘bersinar’ dalam salah satu baris benar-benar mengingatkannya tentang SHINee. Jelas saja, kan!
Me no mae no gohonsen
(Saat pertama kali bertemu)
Awasaru koto wa nai kedo
(Kita mungkin tidak merasa cocok)
Itsudemo tonaride boku mo kanaderu yo
(Setiap kali kita merasa dekat, bermain bersama)
Aruiteku rizumu ya tsuyosa wa chigau kedo
(Kekuatan dan ritme yang kita punya ketika kita melangkah sangatlah berbeda)
Narabu tabi umareru kizuna no harmony
(Tetapi mereka bersatu, membentuk sebuah harmoni)
“Myungdo,” panggil Minho. Myungdo yang sedang sibuk ber-lip sync ria cuma bisa menoleh. “Ada apa?”
“Kau mau menyindirku, ya?”
Alis Myungdo tertarik ke atas. “Apa maksudnya?”
Minho memutar bola matanya. “Lagu ini. SHINee. Dan kata-kata ‘berlima’ itu…”
“Lho, aku benar-benar tidak bermaksud, kok.” Myungdo berkilah, “Memang personel yang nyanyi lagu ini ada lima orang, sama seperti SHINee.”
Minho mengangkat bahu. “Aku bisa pulang sekarang?”
Myungdo menatapnya heran.
***
Ponselnya berbunyi. Ia sedikit termenung mendengar ringtone lagunya. Taemin bukan tipe pengangkat ponsel yang cepat, ia lebih suka mendengarkan dulu bunyi ringtonenya. Ia hapal sekali bunyi lagu ini—You’re not Alone, oleh Michael Jackson.
You are not alone
I am here with you
Though we’re far apart
You’re always in my heart
You are not alone
Kenapa ia mendadak jadi mengingat SHINee?
Taemin bukan tipikal orang yang suka bermellow-ria, tapi ia juga bukan orang yang terlalu dingin. Ia sudah lama kok memakai ringtone ini, sungguh, tapi kenapa perasaannya baru ‘ngeh’ sekarang ya? Apa gara-gara hujan? Biasanya kan orang-orang sering mendadak sensitif kalau lagi hujan, tapi dia…? Masa, sih?
Akhirnya Taemin menggelengkan kepalanya, mencoba tak peduli, dan mengangkat telepon.
“Halo?”
“Taemin-ah!” seru suara di ujung sana. “Ini Seul Hee.”
“Seul Hee…” Taemin menggumam, “Teman sekelas, kan?”
Yang di seberang sepertinya kesal. “Iya, babo! Aku tahu kau itu sibuk dengan seluruh tetek-bengek artis dan lain sebagainya itu, tapi jangan sampai kau jadi antisosial, dong.”
“Iya,” Taemin mengiyakan, “Ada apa, Seul-Hee?”
“Tugas matematika yang diberikan sama Buncha-songsaenim sudah kau kerjakan?”
Mendengar nama yang disebut teman sekelasnya itu, sontak Taemin berdecak. “Ini sedang kukerjakan. Aku nyaris mengumpat sedari tadi, tahu. Kau bisa mengerjakan soal nomor lima?”
“Soal nomor lima…” diam sejenak, “…hehe. Maaf, aku juga nggak bisa. Kau tahu jawaban soal nomor satu?”
“Soal nomor satu?” ulang Taemin sambil men-scroll berkas soal di layar laptopnya. “Oh. Aku tadi juga hampir kejebak di situ. Coba saja diakarkan dahulu sebelum ke langkah akhir.”
“Oh! Omona… kau benar!” suara Seul Hee terdengar girang sekali. “Terima kasih, Taemin-ah. Aku akan mencoba menelepon berkeliling, siapa tahu mereka punya jawaban soal nomor lima. Nanti kalau sudah ketemu kau akan kukirimkan pesan singkat. Oke?”
Taemin mengangguk, lupa bahwa Seul Hee takkan bisa melihatnya. “Ngomong-ngomong, Oppa-oppa di mana semuanya? Kenapa kau tak minta bantuan mereka saja? Mereka kan sudah lulus. Malah katanya Onew-oppa sangat pintar.”
Sang dance genius dari SHINee itu terdiam sejenak. “Mereka… sedang tak bisa diganggu,” Seul Hee merasakan adanya tarikan napas dari lawan bicaranya, “Beberapa dari mereka sedang pergi. Ada juga yang tidak pergi, tapi sepertinya mereka sedang ingin tak diganggu.”
“Mereka benar-benar mengatakannya?”
“Maksudmu?”
“Mereka benar-benar mengatakan kalau mereka memang sedang ingin tidak diganggu?”
Ucapan Seul Hee entah kenapa membuat Taemin sedikit tercekat. “Tidak.”
“Lalu kenapa kau menganggapnya demikian? Bisa saja kan, mereka ingin diganggu tetapi malu mengatakannya. Setelah aku menutup telepon ini, panggillah salah satu Hyung-mu dan minta tolonglah kepada mereka.”
Taemin tercenung. “Kau… mungkin benar.”
“Kalau begitu aku sudahan dulu, ya. Nanti ku-SMS lagi.”
“…Ya.”
***
Lagu di iPod Jonghyun sudah berganti beberapakali. Setelah lagu Nunan Neomu Yeppeo selesai, ternyata sang iPod memilih lagu Twins milik Super Junior untuk diputarkan selanjutnya, kemudian lagu DBSK yang ia kurang hapal judulnya dan Baby Baby dari SNSD. Jonghyun masih ada di posisi yang sama: duduk di sofa dengan kaki terangkat dan kepala yang sepenuhnya tersender. Matanya terpejam. Pikirannya masih penuh dengan rasa kangen akan member SHINee yang lain—sebuah rasa yang jarang ia rasakan akhir-akhir ini.
Jonghyun menaikkan alisnya ketika pintu kamar terbuka. Matanya terbelalak melihat siapa yang keluar sepersekian detik setelahnya: Taemin. Laki-laki yang sudah ia anggap adik sendiri itu tampak membawa laptop di tangan kanannya, berjalan menuju arahnya. Ternyata ia memang menuju ke arahnya; ia bahkan duduk di sebelah Jonghyun.
“Hei, kau—“ “—JONGHYUN-HYUNG, TOLONG AJARKAN AKU MATEMATIKA!!” Taemin menyerahkan laptopnya dengan kepala tertunduk, persis seperti orang yang minta ampun. “Materinya trigonometri. Susah sekali…”
Jonghyun menatap sosok di depannya lekat-lekat. “Kau bercanda? Ampun deh, trigonometri itu materi yang paling tak kusukai waktu sekolah menengah dulu. Hahaha, kau mau kuajarkan yang mana?”
“Nomor lima,” sahut Taemin cepat-cepat. “Hyung, aku mau minta maaf…”
“Kalau yang ini sih… hah?” Jonghyun menghentikan kalimatnya, menaikkan alis. “Kenapa?”
Taemin menundukkan kepala. “Mianhae. Jeongmal mianhae. Maaf tadi aku terlalu dingin padamu waktu kau masuk kamar tadi, Hyung.”
Jonghyun bengong… “Kau bercanda?”—Taemin masih menundukkan kepala—“Tentu saja. Aku juga minta maaf tadi sudah bersikap cuek. Aku hari ini lagi bad mood.”
Akhirnya Taemin mengangkat kepalanya dan tersenyum, yang dibalas Jonghyun dengan cara yang sama. “Ayo mulai. Jadi pertama, kamu sudah tahu kan kalau kita pakai yang tan? Nah, yang harus kau lakukan pertamakali adalah…”
***
Key melangkahkan kakinya—agak cepat. Kalau ia berlari, dalam waktu lima menit ia sudah bisa sampai stasiun, tapi ia tak mau. Ia memilih berjalan cepat untuk melihat kanan-kiri, siapa tahu ada pasar swalayan yang bisa ia kunjungi untuk membeli beberapa keperluan sebagai bahan makan malam. Ketika ia menemukan bangunan yang dimaksud, dengan cepat ia masuk ke dalamnya dan membeli sekerat roti tawar, selai, dan beberapa bahan lain yang sekiranya tidak ada di rumah.
“Beberapa belas menit lagi…” gumam Key sambil menenteng sekeresek bahan makanan dan masuk ke dalam kereta.
***
Minho berdiri di atas kereta, mencoba menyamarkan diri dengan menarik hoodie yang ia kenakan agar menutupi kepalanya. Di kedua telinganya tersemat sebuah plug kabel alias earphone yang tersambung ke sebuah iPod klasik warna keabuan di sakunya. Jika kau dapat mendengar dengan jelas lagu yang ia dengarkan, kau akan mengerti bahwa ia sedang mendengarkan lagu berjudul Score—yang tadinya diperdengarkan Han Myungdo.
Namida de maega mienai toki wa
Gyuttotsu nai da te wo hanasanai yo
(Saat-saat sebelum adanya tangisan tidak akan terlihat. Menggenggam tangan yang menghubungkan kita… aku tidak akan melepaskannya)
Minho menghela napas. Satu stasiun lagi dan ia akan turun.
Saa, kagayaku egao kara umareru melody
Yoko wo mireba itsudemo BEST na nakama ga iru
Yume wo tsuyoku egaku tabi ni kirameku memory
Kibou to iu sen ni notte
Mada mienai mirai ni ima wo sakebou
(Sekarang, sebuah melodi yang datang dari senyum gembira kita… Ketika aku menyadarinya, teman-teman BEST akan selalu ada. Waktu telah melukiskan banyak kenangan dan mimpi-mimpi yang berkilauan… Itulah ‘harapan’, jalur yang kita lalui… Aku akan menangis, menganggap seakan-akan masa depan takkan ada lagi…)
Ding-ding.
Sebuah suara perempuan terdengar, menyatakan bahwa stasiun tujuannya sudah dekat. Akhirnya kereta berhenti, dan Minho pun keluar dengan langkah bergegas.
***
Key memicingkan mata saat hendak memasukkan kunci ke dalam gembok pagar. Sesosok lelaki bertubuh tinggi, memakai kaos warna biru laut yang dilapisi dengan hoodie warna biru gelap, dan sebuah skinny hitam dengan sneakers putih tampak berlari mendekatinya. Rambutnya yang ikal hasil salon, matanya yang lebar dan senyumnya yang merekah membuatnya yakin siapa sosok ini sebenarnya—
“Kau baru datang?” tanya Minho, menghentikan larinya. Key mengangguk. “Uh-uh. Kau juga? Bukannya katamu kau akan terlambat pulang? Kalau aku sih…” dirinya mengangkat sekeresek penuh bahan makanan yang ia beli tadi di perjalanan menuju stasiun. Minho menggeleng. “Kau tahu, entah kenapa aku merasa harus pulang cepat,” ia terdiam sejenak, “…Kangen.”
Key tersenyum penuh arti. “Should we go on, then?”
Minho mengangguk pasti.
***
Jonghyun mendengar sebuah ketukan di jendela. Taemin menoleh. Mereka masih berkutat dengan tugas matematika ‘sialan’ itu rupanya.
“Kami pulaaang…” Key dan Minho muncul dari balik pintu, lengkap dengan senyum. Jonghyun dan Taemin berpandangan—kemudian tersenyum. “Selamat dataaaaaang!”
“Kalian barengan pulangnya?” tanya Jonghyun sambil membuka keresek yang dibawa Key. “Ah, rupanya hari ini kita akan makan miyeok guk—sup rumput laut—ya… kalau tidak salah makanan ini buat mengembalikan stamina kan?”
Key mengangguk. “Ne, besok kan kita bakal kerja terus, jadi… kita harus mengembalikan energi kita sebelum besok.” Taemin manggut-manggut. “Terus, kita besok juga bawa roti ke kantor… lumayan buat isi tenaga, karena karbohidratnya sama dengan nasi meskipun kemasannya lebih ringan.”
Terdengar suara pintu terbuka. Jonghyun, Taemin, Key, dan Minho menoleh.
“Hei… kalian sudah pulang?”
Empat senyum menyambut ucapannya itu. “Sudah, Onew-hyung.”
***
“Kalian tahu, tadi aku mimpi tentang kita berlima, lho.”
“Oh ya? Ngomong-ngomong, bagaimana masakanku?”
“Tugas dari sekolahku tadi susah sekali, lho. Untung Jonghyun-hyung membantu.”
“Jonghyun-hyung? Hahahahahaha.”
Jonghyun tersenyum… ia tersenyum. Rasanya begitu bahagia melihat keempat rekannya duduk di meja makan, bersama dengan dirinya, saling bercanda dan tertawa. Hujan masih turun di luar. Tadi sempat mereda, namun rupanya langit masih ingin bermain-main dengan air. Tapi ia kini tidak memermasalahkan hal itu lagi… ia tidak peduli…
Salah satu harta karunnya yang berharga,
Karena ia memiliki teman-temannya di sini….
“Tanpa hujan, langit takkan menghasilkan pelangi.”
***
OWARI : FINITO : END
***
End at 22:38 PM according to my laptop. 🙂 Thank you so much for reading it till the end. Sorry for my terrible translation!! I’ll see you again in the next fic~ Annyeong!! 😀
Signature

This FF has claim to be ours. Please keep read our blog, comment, vote and support us ^.^
Don’t forget to :
- Open FAQ page for ask something
- Open GUESTBOOK for new reader
- Open Join Us page to know how to send your FF
- Vote us please, our rating going down on SHINee toplist, so please vote us ^.^
- Open page LIBRARY if you miss some FF ^.^