Forward – Part 6

Title: Forward

Author: Bibib Dubu

Contributor: Heartless

Beta-Reader: Kim Nara

Main Cast:

  • Lee Jinki
  • Kim Heera
  • Kim Jonghyun

Length: Multi Chaptered

Genre: Romance, Life, Psychology

Rating: PG-15

 Forward

Note:

The story is written all based to Author’s POV

Disclaimer:

We don’t own all idols/artists. They are belongs to God, their family, and their agency. We put their names only for the purposes of this fanfiction.

 

***

Sunday, 3rd September 2011. At 9.00 A.M

 

Selimut hangat menyembunyikan tubuhnya yang meringkuk, menyisakan jarak tipis dengan head dari ranjang yang menjadi penampung tubuhnya. Erangan yang diwarnai getaran meluncur lemah dari mulutnya, spontan terjadi begitu saja tanpa dikendalikan oleh pemilik tubuh itu.

Gelap itu lumrah, sahabat setia yang begitu baiknya menawarkan persembunyian ketika jiwa dan raga sama-sama merasa tersapu derita. Gelap itu merupakan suatu titik ketika dirinya bertemu sapa dengan nestapa. Gelap tak kunjung pergi, begitu keras kepalanya ingin menemani.

Jika terang terasa begitu menyakitkan mata yang tengah bercumbu dengan air bening dan menyetrum wajah yang tengah dibasahi keringat memilukan, maka gelap adalah dermaga terbaik.

Hyung, kau sedang apa?” Terdengar suara Taemin dari luar ruangan. Jinki memilih untuk mengabaikannya, ini bukan waktu ketika ia menginginkan interaksi dengan orang lain.

Tidak mendapatkan jawaban, Taemin akhirnya masuk tanpa izin, tak peduli Jinki akan memarahinya atau tidak. Ia lebih memedulikan kondisi Jinki. Di balik selimut tebal itu Taemin menerka bahwa kakaknya sedang ditantang adu kuat dengan tubuhnya sendiri.

“Buka selimutnya, Hyung!” titah Taemin begitu ia telah berdiri di samping ranjang Jinki. Kakaknya tetap tidak menjawab, suasana kamar terasa makin sunyi karena Jinki tak lagi merintih.

Terpaksa Taemin menarik selimut Jinki tanpa izin. Didapatinya wajah Jinki yang sembab, terlihat jelas jejak-jejak air mata di sana. Hipotesis awal Taemin salah, Jinki tidak sedang dicekal oleh raganya, tetapi rupanya pikiran dan perasaan telah merencanakan permainan busuk yang kini tengah berkolaborasi dengan virus-virus busuk yang telah lama mengendap, menjalankan strategi bawah tanah.

Hyung, sejak dulu aku takut kau akan seperti ini lagi. Hyung, tangisan, stress, dan depresi hanya akan memperburuk kondisimu. Tidakkah kau ingat bagaimana perjuanganmu untuk bertahan? Kau harus minum obat rutin tanpa boleh terlewat ataupun salah dosis, menahan efek sampingnya yang mungkin sangat menyakitkan, dan melewati ratusan kali demam. Mentalmu tidak boleh lemah, Hyung!”

Sudah lama Taemin mendapatkan Jinki tidak menangis, kakaknya itu begitu tegar, menyimpan derita selama beberapa tahun dan mengondisikan dirinya untuk tetap bertahan hidup. Ini bukan semata memerangi Influenza kelas amatiran, ini tentang kesatuan yang akan mematikan ketika sang panglimanya meneriakkan mantra penyembur semangat bagi konco-konconya. Andai itu terjadi maka tak ada lagi yang dinamakan malaikat penyelamat tanpa sayap dan berbaju putih dengan ‘telinga besi’ ajaibnya. SKAK MAT. Habis semua, raga tak lagi bertuankan nyawa.

“Tae-ya… tinggalkan aku…” Sayup-sayup, meluncur setelah beberapa detik berusaha merangkai kata namun gagal. Hanya permohonan nista memelas yang meluncur dari mulut Jinki.

Hyung, berbagilah denganku, jangan kau pendam sendiri. Apa masalah yang membuatmu menangis seperti itu?”

“Aku tidak apa-apa, hanya butuh waktu untuk meluapkannya.” Susah setengah mati bagi Jinki tersenyum, namun akhirnya berhasil terlukis di wajahnya. Ia tak ingin membuat adiknya itu cemas. “Kau tak perlu khawatir, aku tidak akan lupa minum obatnya.”

Taemin tahu, senyuman Jinki itu hanya sebuah kepalsuan. Ada luka yang tak ingin diceritakan kakaknya. Memang betul, tangis seringkali dapat meredakan emosi, tapi bukan berarti dapat menyelesaikan problematika. Kalau Jinki tak juga menceritakan apa yang menjadi masalahnya, bagaimana bisa Taemin membantu kakaknya itu? Masalah itu tak beda jauh dengan rerumputan pengganggu padi sawah, harus dicabut dari akarnya baru bisa hilang. Itu pun tidak selamanya, seringkali ia akan tumbuh kembali dengan generasi barunya yang mungkin lebih merisaukan.

Biasanya Jinki mengisi waktu luangnya dengan membaca, buku jenis apapun dilahapnya. Belakangan Taemin lebih sering mendapati kakaknya melamun, sesekali ditemani buku diary kesayangannya. Wajah sendu Jinki yang seakan terduplikasi menjadi beberapa layer foto itu menjadi tanda bahwa pikiran kakaknya itu tidak sedang baik-baik saja.

“Kumohon, terbukalah sedikit padaku… kau harus ingat bahwa kau masih punya teman setia untuk menceritakan apapun tanpa perlu khawatir orang lain akan mengetahuinya.”

“Tidak! Sekali aku bilang tidak, artinya aku tidak ingin. Tinggalkan aku sendiri!” Nada bicara Jinki mulai meninggi lagi, membuat Taemin tak berani lagi membujuk.

Sifat keras kepala Jinki memang seringkali menyulitkan, berulang kali Taemin berusaha meraih kakaknya agar hubungan yang membentang di antara mereka tidak hanya terpaut oleh darah. Namun lebih dari dua pertiga dari usaha Taemin itu selalu bermuara pada pusaran kegagalan.

Hyung… apa perasaanku saja atau kau memang semakin aneh? Bukankah dulu kau masih bisa berbaur dan tertawa dengan siapapun? Sejak kuliah, apa yang terjadi padamu? Padahal apa bedanya kondisi tubuhmu dulu dan sekarang? Semakin menua, kurasa tidak hanya tubuhmu yang akan semakin keropos digerogoti virus, tapi kau juga akan merasakan kesepian yang semakin beranak-pinak. Hyung, aku yakin kau tidak bercita-cita untuk meninggal dalam keadaan hati sepi.”

“Jangan berlagak seperti ahli pembaca karakter orang. Siapa pula orang di dunia ini yang memiliki cita-cita konyol. Impianku tentang kematian… aku ingin pergi dengan nama harum, tanpa cemooh yang mengaitkan kematianku dengan cacatku. Sederhana, tapi butuh usaha ekstra untuk mempertahankannya. Hanya appa, kau, terapisku, dan tim medis yang boleh tahu.”

Hyung, pernah adakah satu saja di dalam buku yang kau baca itu, tentang cita-cita yang lebih mulia? Para pahlawan negara-negara yang pernah terjajah saja tak peduli nama mereka tercemar atau tidak asalkan keringat yang keluar selama hidupnya berguna untuk orang banyak. Jangan jauh-jauh bicara tentang pahlawan, aktivis yang…”

Memotong, Jinki tak tahan lagi mendengar retorika kosong ala Taemin, “cukup! Aku tahu, sudah pernah kubaca. Terima kasih sudah berusaha memberikan gambaran tentang kematian mulia. Tapi aku punya cita-cita sendiri, kenapa pula harus serupa dengan orang lain? Kau tidak tahu rasanya menjadi sepertiku. Ketika semua orang tahu cacatku, satu-persatu mereka akan berubah menjadi musuh perangku. Dan akhirnya aku akan mati sepi.”

“Tidak ada yang menyuruhmu memberitahukan pada dunia tentang cacatmu, Hyung. Kau salah menangkap maksudku. Aku rasa, dengan berbaur dengan banyak manusia akan membuat hatimu bahagia. Kau akan semakin memiliki semangat hidup ketika kau tahu dirimu memiliki nilai guna bagi orang lain. Sesederhana itu, Hyung. Apa sulit?”

Jinki tak lagi membantah, yang dikatakan Taemin ada benarnya, bahkan sangat benar. Tapi kepengecutan di dalam dirinya enggan enyah dan justru semakin bergerilya mengoarkan ajarannya. Bahwa manusia itu berotak cerdas, berinsting tajam tetapi berhati busuk; bahwa esok itu cuaca akan penuh badai; bahwa langit pagi cerah itu hanya ilusi kosong; bahwa keeksistensian pengkhianat itu selalu abadi di muka Bumi. Semua itu terus berputar di kepalanya tanpa pernah berjeda sedetikpun. Jelas, kodrat manusia memang tidak sepenuhnya setia, bisa jadi esok Taemin pun akan meninggalkan dirinya ketika titik puncak itu terjadi. Jinki takut akan semua kenyataan masa depan itu.

“Kau benar, tapi kebenaran tidak ada yang mutlak. Jika aku menyatu dengan yang lain—maka akan semakin terbuka peluang mereka mengetahui kondisiku. Saat itulah aku akan ditinggalkan seorang diri.” Segenap aksara itu akhirnya bisa bergabung menjadi kata. Sesuatu yang baru pertama kali ia katakan selain pada Kim Jaejoong, terapisnya.

“Lalu apa bedanya kesendirianmu yang sekarang dan esok nanti? Kau sama-sama sendiri. Lebih baik mencari kawan sebanyak mungkin. Jika pun nantinya kau akan kembali ke titik ini lagi, bukankah kau sudah menyimpan banyak kenangan indah dan bekal kebajikan yang bisa kau bawa mati?”

Jinki benar-benar terdiam kali ini. Bungkam dan berjanji tidak akan menanggapi lanjut. Sakit. Mengutarakan sebuah ketakutan itu serupa dengan memeluknya secara bersamaan. Begitu pula dengan bercerita tentang kesedihan, secara tak sadar air mata meleleh turun. Seperti itu, sudah cukup membuat Jinki kembali terdiam dan bermain dengan bisikan maya di dalam langit pikirannya.

Dan ini yang tidak Jinki inginkan, terulang kembali entah untuk putaran keberapa. Terjebak dalam kubangan amarah. Tidak ada sesal karena memang tak ada yang patut disesali. Rutukan hatinya kini seperti opini bodoh orang yang tidak mau dan tidak akan pernah sukses’ ala orang gagal untuk sukses: menyalahkan orang lain, menyalahkan takdir, dan berujung dengan merutuki dirinya sendiri lagi. Dosa apa yang kuperbuat hingga derita itu harus aku pendam lama? Lagi-lagi ia bermonolog akrab dengan dirinya sendiri. Satu jawabannya dan tidak pernah lepas dari ingatan Jinki, menyiksa dengan hawa separuh pembunuh.

Hei kau bocah imut, tidak usah cemas. Kau tidak perlu mengingatku setelah ini, anggap aku tidak pernah bertemu denganmu. Kau hanya butuh menjadi bocah manis, tidak perlu ada orang yang tahu apa yang sebenarnya terjadi.

 

Mata itu membeliak, menegang setelah perintah berupa kenangan itu menggema lagi. Langit-langit kamar seolah dipenuhi lukisan iblis, menjadikan Jinki berteriak-teriak setengah meraung, bak orang yang akan diberi hukuman setrum mati. Perlahan tersiksa hingga nantinya harus tergolek tak berdaya. Terkadang Jinki berpikir bahwa mendapat hukuman pancung lebih baik. Sakit hebat sekejap, setelah itu bermesraan dengan malaikat yang mengiringi perjalanan menuju dimensi yang berbeda.

Tapi hidup tak melulu jual beli yang sarat dengan tawar-menawar. Harga mati itu harus Jinki tanggung. Sekarang, ia terseret dalam relung siksa yang tak tampak oleh mata biasa. Sesuatu yang mengacaukan semua keintelekan dalam otak Jinki. Persetan dengan IQ 145, masa bodoh dengan kejeniusan yang membumbung tinggi ke angkasa. Semua itu tak ada artinya dalam kondisi sekacau ini.

“Hoho, aku tidak jahat. Hanya ingin menyampaikan sedikit rasa sayang saja padamu, Anak Kecil Imut. Hei, kau sadar tidak? Setelah besar nanti kau akan tumbuh tampan bagai aktor layar kaca. Sini, aku sumbangkan dulu sebuah cinta, ya?

Kalimat yang lain menggantikan, namun sama menyeramkannya bagi Jinki. Orang gila, sakit jiwa, pedofil, Jinki benci dengan semua istilah itu sekarang.

Appa… tolong aku… appa… jangan tinggalkan aku. Di sana, di sudut itu juga ada! Appa, kenapa kau meninggalkanku? Appa, wanita itu mengerikan. Setan bertelanjang dada. Appa, selamatkan aku! Ayo bangun Appa! Panggilkan petugas hotel! Appa!!” Berteriak, setengah sadar mesti mata tidak sedang memejam.

Sedetik tercenung, tertohok setengah tersihir mantra pembius, Taemin hanya mampu membeku pada posisinya. Perasaan ngeri jelas tak bisa dielakkan sekalipun ia tahu ini bukan waktu yang tepat untuk memeliharanya. Satu dua dengan tuan rumah yang didatangi perampok berpistol, bingung hendak bergerak macam apa agar situasi ini segera padam.

Hyung, Hyung. Ini aku Taemin. Tenang ya… wanita itu sudah tidak ada. Sudah pergi, kau aman.” Mencoba masuk ke dalam halusinasi Jinki, sekalipun Taemin tahu akan gagal.

Benar saja, tingkah Jinki semakin mirip manusia penuh dosa yang akan dijemput sang pencabut nyawa. Bola matanya sudah seperti peluru panas yang siap ditendang paksa oleh pelatuk senapan. Sedikit lagi, kalau saja Taemin tidak segera mengambil aksi heroik: memeluk Jinki kuat-kuat, beradu kuat dengan Jinki yang begitu ingin menyingkirkannya.

“Diam, Hyung. Aku benci kau yang kerasukan setan macam ini.” Terus mendekap, tak bisa banyak cakap. Apa artinya kata dibandingkan hangat yang menyapa lara? Taemin lebih memilih menghantarkan kasihnya lewat indera peraba, meyakinkan kakaknya bahwa dunia tidak seseram seperti halusinasinya.

Bersyukur dalam tangis. Meski harus mengorek luka Jinki, Taemin akhirnya sedikit tahu apa yang Jinki pikir dan rasakan. Dan yang ada di pikiran Taemin sekarang ada dua orang, Jaejoong dan Heera.

***

Sunday, 3rd September 2011. At 2.00 P.M

 

“Jadi sebaiknya apa yang dilakukan?”

“Berhubung gagal ginjal yang diderita ibu Anda sudah mencapai stadium terminal, kalaupun Nyonya Kim menjalani terapi dialisis, tetap ginjalnya tidak akan normal dan terapinya harus dijalankan seumur hidup. Tentu ada positif dan negatifnya, tergantung jenis dialisis apa yang dipilih. Kalau…”

“Tidak, jangan. Ah, maaf saya tidak sopan memotong penjelasan dokter. Tapi sungguh, kasihan jika ibu saya harus menjalani terapi itu seumur hidup. Bagaimana dengan transplantasi ginjal? Apa dimungkinkan?” Pria itu memotong, kedua alisnya sudah tertaut. Paduan sempurna antara pusing dan keresahan jiwa.

“Mungkin saja. Ginjal Anda sebagai anaknya pun bisa saja didonorkan jika memang kondisinya baik dan dinyatakan lolos dalam beberapa tahap pengujian.”

Kim Jonghyun menatap lekat dokter senior penuh wibawa yang memiliki garis wajah meneduhkan itu. Sudah 7 bulan terakhir ia tidak penah lepas kontak dengan pria itu demi mendapatkan panduan dan penanganan tepat untuk menyembuhkan ibunda tercinta. Ketika pertama kali berjumpa, pria di hadapannya ini menyatakan bahwa ginjal eomma-nya hanya berfungsi 15-30 persen saja, divonis gagal ginjal stadium 4. Sejak awal memang sudah muncul kemungkinan bahwa kondisi ini akan semakin parah. Kenyataannya memang demikian, meskipun diet sehat anjuran dokter sudah diterapkan.

Anjuran untuk tidak mengonsumsi makanan tinggi gula dan natrium sudah dijalani. Diet rendah kolesterol dan lemak, serta rendah protein pun telah dilakoni. Tidak lupa membatasi asupan fosfor dan kalium. Olahraga, jangan ditanya. Eomma-nya ini begitu gigih ingin sembuh, setiap pagi pemanasan dan lari-lari kecil di depan rumah. Akan tetapi, apa mau dikata, penyakit yang diderita ibunya merambat perlahan memasuki stadium akhir.

 “Selama ini aku merasa sehat, aku yakin ginjalku bisa didonorkan,” tandas Jonghyun mantap. Menggebu ingin segera dijawab.

“Semoga saja. Tapi sehat saja tidak cukup. Tetap harus lolos pengujian. Untuk tahu cocok atau tidaknya” Dokter itu tersenyum mendamaikan.

“Oh Tuhan… kenapa sih organ manusia itu sebegitu rumitnya? Luar biasa sekali pencipta kita ini. Menurutku yang awam dan tak pernah paham dunia kedokteran, apa bedanya ginjal si A dan ginjal si B. Kita terurai dari spesies yang sama, hidup di Bumi yang sama, dan menghirup oksigen yang identik pula. Oh sesange… Hhh… Uisa, bisa dijelaskan padaku mengapa tes itu diperlukan?

“Gunanya… untuk memperbesar peluang sukses pendonoran ginjal. Kalau tidak cocok, sama saja akan menyiksa ibu Anda. Nanti akan ada tiga tahapan tes yang harus ditempuh. Yang pertama adalah tes kecocokan darah, kalau darah pasien dan pendonor sejenis baru bisa. Setelah itu ada Tissue Matching Test. Singkatnya, tes ini berguna untuk melihat kesamaan dari protein yang dinamakan HLA, sulit cocok 100%. Tapi Anda tidak perlu khawatir, sudah ada obat anti-rejeksi atau imunosupresan sehingga masalah ketidakcocokan ini teratasi, bukan lagi prasyarat mutlak.” Panjang lebar sang Nephrologist itu menjelaskan.

“Lalu apa tes yang ketiga?” Harap-harap cemas, berharap untuk prasyarat ketiga ini juga tidak terlalu mutlak harus dipenuhi. Siapapun yang melihat Jonghyun saat ini akan ikut tegang, menyaksikan bagaimana garis-garis abu terlihat menonjol di area keningnya, menembus perlindungan lapisan putih kulit wajah.

“Yang ketiga disebut Crossmatching Test. Gunanya untuk mengidentifikasi keberadaan antibodi dalam tubuh recipient yang dapat merusak HLA. Jika hasilnya positif ada, maka operasi transplantasi ginjal tidak bisa dilakukan.”

“Baiklah. Lalu apa lagi? Apa aku boleh mencoba mendonorkan?” Jonghyun tampak menggebu kini. Baginya kehilangan satu ginjal tidak akan sama beratnya dengan melihat ibu yang telah melahirkan dan membesarkannya itu terpenjara dalam sakit berkepanjangan. Butuh banyak kata untuk merinci apa saja yang dirasa eomma-nya itu, dan Jonghyun tidak akan pernah kuat jika diminta menuliskannya dalam secarik kertas. Ia akan menangis di tengah jalan, melempar pulpennya, dan terakhir menyobek kertas itu menjadi serpihan.

“Hmmm… operasi ini belum tentu berhasil 100%. Mungkin saja ada penolakan dari tubuh ibu Anda karena ginjal baru itu dianggap sebagai benda asing. Ibu Anda tetap harus menjalani diet sehat namun tidak seketat biasanya. Selain itu, beliau harus mengonsumsi obat antirejeksi, obat antibakteri, antivirus, dan antifungi demi mencegah timbulnya efek lain yang tidak diinginkan.”

Jonghyun mengangguk-angguk. Berpikir nyaris 20 menit hingga akhirnya sebuah keputusan diambil. “Tidak apa-apa, mungkin itu lebih baik daripada ibu saya harus menjalani cuci darah seumur hidup, sungguh menyiksa beliau. Lalu apalagi yang harus dipertimbangkan?”

“Maaf sebelumnya. Tapi… bagaimana dengan biayanya? Operasi ini tidaklah murah…” Dokter bersahaja itu terlihat sungkan bertanya, takut dianggap tidak etis.

Klasik memang, biaya sering kali menjadi batu sandungan. Tidak ada yang gratis di dunia ini kecuali oksigen yang disediakan alam. Biaya… Jonghyun mereguk ludah pahitnya. Bukan tidak ada. Ia tidak akan konyol mengeluarkan pertanyaan maupun pernyataan menggebu sejak tadi jika di kantungnya belum bercokol sejumlah nominal.

Tapi… ada pahit yang tidak terperikan, tak bisa diurai layaknya jalinan benang kusut. Uang itu, didapat melalui jalan penuh murka, meninggalkan dosa bagi dirinya sendiri, dan menorehkan luka bagi Heera yang dicinta. Mendadak Jonghyun takut Tuhan tak berikan restu-Nya. Komat-kamit hatinya memohon ampun dan memanjatkan do’a. Agar ‘yang haram’ itu tetap bisa membawa kesembuhan bagi eomma-nya.

“Biayanya… ada. Saya sudah perhitungkan itu sebelum kemari. Jalankan saja apa yang menurut Anda baik…” Ragu-ragu. Penuh rasa takut ia berkata.

 ***

 Sunday, 3rd September 2011. At 6.00 P.M

Tak mudah, tak seringan menjentikkan kelingking untuk mengatakan ‘sumpah, aku baik-baik saja’. Cheongdam Streetpun tak mampu melepaskan Heera dari sesuatu yang nyaris selalu dipikirkannya belakangan. Sederet merek ternama yang begitu menggiurkan bagi banyak kalangan fashionista, sama sekali tidak menarik perhatian Heera kali ini. Louis Vuitton, Gucci, Prada, Cartier, Dolce & Gabbana, Armani, apapun itu nama brand-nya, hanya mampu mengalihkan perhatian Heera beberapa waktu saja.

Deretan mannequin terbalut busana-busana andalan hanya keindahan yang memesona mata sesaat. Masa bodoh baju itu dibuat oleh perancang ternama, dari bahan berkualitas internasional, serta diproduksi dalam jumah terbatas. Bergelimang harta tak lantas membuat Heera menjadi seorang penggila shopping dan maniak produk fashion kelas atas.

Kalau saja Key tidak memaksanya untuk ikut, Heera akan memilih menghilangkan rasa kalutnya dengan tidur. Ya, belakangan ia banyak menghabiskan waktunya untuk kegiatan yang seringkali dianggap pemalasan itu. Padahal Heera tahu betul, tidak baik tidur dalam hati yang dikuasai luka dan amarah. Katanya, justru akan memicu insomia. Dan kalaupun bisa tidur, akan membuat ia lebih sering tertidur malam nantinya, tubuhnya akan lemas dan sistem imun pun akan menurun.

Namun tetap, ia tergoda oleh ekspektasinya sendiri. Berharap begitu terbangun, semua kenangannya bersama Jonghyun tak lagi berbekas, kenyataannya justru bertentangan. Lagi-lagi mulutnya bergumam nyaris tak bersuara, merapal satu nama, Kim Jonghyun. Bonus, Lee Jinki yang tingkah polahnya memuakkan itu pun cukup mengotori pikiran.

Menu special yang dipesannya belum tersentuh, sementara Key sudah nyaris menghabiskan miliknya sendiri. Pria itu terlihat rakus, mata berkilat seperti sudah lama tak bersua dengan lezat.

“Huh, Nuna… kau ini makhluk yang sangat aneh. Bilang benci tapi tak kunjung beranjak dari kisah surammu. Memalukan ada aktivis cengeng sepertimu. Untung saja kau bukan mahasiswi yang hobi mendemo kebijakan pemerintah. Kalau tidak, sungguh konyol kau berteriak menuntut sesuatu namun sorot matamu begitu kosong. Haha, tidak lucu!” Masih dengan mulut berisi makanan, Key berceloteh ria, mencerca ala candaan.

“Diam kau, tidak usah banyak berkomentar. Kau tidak tahu rasanya jadi aku!” Kalimat Heera langsung menghentikan kicauan Key, pria itu tampak sedikit menggembungkan pipinya.

Aigoo, mulutku bisa berbusa kalau meladeni rasa frustasimu itu. Make it simple, Nuna. Putus? Masalah? Bukankah bagus? Di luar sana banyak pria yang lebih baik untukmu. Siapa yang tahu, ‘kan?”

“Ckk, sudahlah, berhenti berkhayal tentang pria dan cinta. Key, sempat terpikir. Bagaimana kalau kita ke Apgujeong?”

“Untuk apa? Kau belum menemukan item yang menarik di kawasan ini? Kau tidak tertarik dengan koleksi busana musim gugur yang ditawarkan di butik-butik itu? Aku rasa koleksi busana musim gugur milik Prada sangat bagus untukmu.”

Heera tak lantas menjawab. Restoran Goongyeon yang menyajikan makanan khas Korea dengan cita rasa selangit itu mendadak terasa sunyi senyap. Matanya sibuk menjelajahi beberapa sudut dari tempat mereka melangsungkan dinner kali ini, sebuah restoran yang di-launching-kan pada tahun 2003 oleh Han Bok Ryo, wanita yang pernah menjadi food consultant untuk drama Jewel In The Palace. Ia juga mendapatkan award dan merupakan pemegang The 3rd Royal Culinary Art Master.

Pemandangan yang ditawarkan oleh restoran itu pun tak kalah hebatnya dengan kenikmatan rasa Royal Steamed Prawns with Pine Nut Sauce yang sedang disantap Heera saat ini. Dari tempat duduknya, Heera mendapatkan city view yang sangat memesona. Semakin malam maka semakin menarik pula gemerlap lampu yang tersaji di depan mata pengunjung restoran itu, sayang ini masih pukul enam.

“Hei, kau tidak mau menjawab pertanyaanku?” Key memastikan dirinya tidak dianggap hantu oleh sepupunya itu. “Ah, baiklah. Lupakan. Omong-omong, teh ini enak.”

“Bukan… aku memang sedang tidak berminat belanja. Bukan produk-produknya yang tidak bagus. Hanya sedang tidak ingin.” Heera terkekeh, tangannya mulai menggerakkan pisau untuk memotong udang yang ada di mejanya. “Key, kau pernah dengar tidak, Apgujeong sampai dijuluki sebagai Plastic Surgery Street? Di sana banyak sekali klinik yang menawarkan jasa operasi plastik dan perawatan kulit.”

Yeah, I know it. Beberapa kali aku pernah mampir ke salah satu kliniknya untuk sekedar mengusir jewarat. Hei, jangan bilang kau ingin memancungkan hidungmu atau… mengubah bentuk rahangmu? Kau kurang cantik apa lagi, Nuna?”

Ani. Salah besar. Justru aku ingin sebaliknya. Aku ingin tahu, jika wajahku jelek, apa masih ada pria yang melirikku. Belakangan aku berpikir, orang jelek itu justru beruntung. Karena begitu apa pria yang mendekatinya, maka kecil kemungkinan pria itu menyukai wanita itu karena ragawinya. Jadi, ah, ini konyol. Aku ingin mengubah wajahku jadi buruk rupa.”

“Astaga… kau orang paling tidak bersyukur di dunia. Yah, tapi pemikiranmu tidak salah juga. Aku pernah baca, pria cenderung tertarik pada penampilan fisik wanita. Sedangkan wanita, dia lebih menyukai pria yang bisa memahami kekurangannya. Tapi Nuna, kurasa Jonghyun memang mencintaimu. Setidaknya pada satu tahun pertama kalian berpacaran. Dalam artian, dia tak hanya melihat fisikmu semata.”

“Kalau dia tidak tergoda fisik wanita, lalu untuk apa dia bermain seks?” Heera mencibir.

“Sekarang aku tanya balik. Kalau dia mengincar wanita cantik, kenapa dia bermain dengan ahjumma, bukan dengan yeoja muda seksi? Kurasa, ada motif lain. Uang misalnya?”

“Dengar, Key. Kalau dia sedang kesulitan finansial, kenapa dia tidak meminta bantuanku?” Heera mulai malas meladeni karena aroma menyakitkan indera sudah mulai tercium. Tangannya beranjak meraih teh, sama seperti yang Key minum sebelumnya.

“Gengsi. Pria paling tidak ingin terlihat tak berdaya di hadapan wanita, terlebih di depan kekasihnya. Logis, ‘kan? Dari ceritamu saja, Jonghyun selalu menolak kalau kau membayarinya makan. Entah, di satu sisi aku merasa Jonghyun tidak senista yang kau nilai. Namun di sisi lain aku percaya, kalau kalian ditakdirkan untuk berpisah, artinya ada pria lain yang lebih baik untukmu, Nuna.”

“Ya ya, baiklah. Anggap di masa mendatang memang ada pria itu. Kenyataannya Jonghyun tetap membuatku marah. Sudahlah, hentikan pembicaraan ini. Bagaimana kalau kita pulang saja?”

“Oke, terserah kau saja. Anything for you, Nuna.” Key merampungkan kegiatan bersantapnya dengan suapan terakhir Special Iced Fruit Sherbet. Setelah itu ia merangkul bahu Heera yang telah berdiri lebih dulu. “Stay strong, Nuna. Jangan kau buang waktumu untuk memikirkan Jonghyun. Aku lebih suka kau yang sibuk dengan kegiatan sosialmu. Dan, eumm… apa kau tertarik kalau kuajak melihat sesuatu yang tidak berkaitan dengan lingkungan dalam artian fisik?”

“Ckck, sepupuku ini memang bijak, atau sok bijak? But, thanks untuk kepedulianmu, Key. Mengenai tawaranmu itu… memangnya apa yang ingin kau perlihatkan? Bagaimana aku bisa memutuskan tanpa kau jelaskan lanjut?”

“Sesuatu yang akan membuatmu mensyukuri hidup. Di luar sana, banyak orang yang tidak memiliki banyak waktu untuk hidup. Ini bukan tentang pengidap kanker, bukan pula tentang penderita gangguan jantung. Ini… sesuatu yang lain. Yang menakutkan namun tak banyak dipedulikan orang.”

To Be Continued

Sori ya kalo penjelasan ilmiahnya bikin pusing, aku lagi kerasukan setan aneh yang mendorongku pingin nyampein hal-hal macem ini, huehehe…

Nah, kira-kira udah pada bisa nebak Jinki kenapa, motif Jonghyun apa, dan apa yang terjadi pada Heera-Jinki-Jonghyun selanjutnya? Separuh jawaban udah bisa dicerna dari part ini ^^

 Ada yang bertanya-tanya kenapa quote di posternya kayak gitu? Hehe, ada kaitannya dengan apa yang akan terjadi nanti dalam kisah ini.

Makasih buat semua yang udah mau baca, kasih masukan, dan kasih kritik. Dan ga pernah lupa aku ngucapin makasih buat beta reader-nya yang udah sering kurepotin, semoga dapet pahala dan makin nambah ilmunya, hehe…

Makasih juga buat Aminocte dan Rahmi Eon yang udah ikutan ngoreksi part ini di blog-ku 😀

Part depan semoga bisa kurang dari 1 bulan ya…  makin naik part-nya aku makin bingung dan ati-ati dengan apa yang kutulis, soalnya… ah udah deh, sampai jumpa lagi ya… ^^

Catatan kaki:

  • Nephrologist: Dokter yang menangani masalah ginjal
  • Jangan tidur dalam keadaan marah. Source
  • Tentang stadium gagal ginjal. Source 
  • Tentang dialisis. Source
  • Tentang transplantasi ginjal. Source

©2011 SF3SI, Freelance Author.

Officially written by ME, claimed with MY signature. Registered and protected.

This FF/Post legally claim to be owned by SF3SI, licensed under Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License. Permissions beyond the scope of this license may be available at SHINee World Fiction

Please keep support our blog, and please read the page on top to know more about this blog. JJANG!

35 thoughts on “Forward – Part 6”

  1. Forward-sesuatu banget…
    Selalu nungguin next ceritanya,tapi kenapa lama banget ngepost nya???
    Kalo nebak nih ya,jinki pernah kena kasus asusila gitu?terus is hera di ajak key ke tempat orang orang yang punya trauma macem jinki,eh sii jinki lagi dianter berobat sama taemin disana,ketemu deh heera n jinki.
    #hahasotilsangatsaya.

    1. Iya mian lama… soalnya aku takut salah nulisinnya… makanya baca2 dulu sumber yang mendukung…plus aku udh tingkat akhir jd buanyak yg mesti dikejer, plus sekarang lepiku lg rusak, hehe…

      Eum… sebagian kecil ada yg bener tebanmu, tp dikitttt, hehe…
      Udah ah jgn tebak2an. krn bukan itu inti cerita ini 🙂

      Makasih ya udah rajin mampir 😀

  2. ya ampun bahasanya Bibib, berat betool.. 😀 tapi suka deh, biar tambah pinter 😉 Tebakanku si Jinki kayak komennya Dean.. Kayanya bakalan panjang niy ff, but i’m waiting Bib.. 🙂

  3. Mesti mikir keras buat mencernah tiap kata di ff ini,tp that’s y i like it..next part ASAP y thor =D

  4. jinki kena HIV/AIDS? Merujuk pada komen di part sbelum ini plus halusinasi jinki di atas.. Memilukan..
    Hyaa.. Jonghyun.. Turunkan sedikit gengsimu.. Dan carilah yg kau butuhkan dari yg halal..#ceramahmodeon

    kadang aq t’tuker2 karakter di sini dan di ff-mu yg namja.. Hehe

    next ditunggu..

    1. Jiahaha… sama. Waktu nulis namja aja aku suka nulis nama Hana dgn Heera, emang agak2 suka ketuker sih eon

      Next-nya ditunggu aja ya eonni ^^
      Makasih buanyaaak krn eonni udh rajin bgd mampir dan rajin kasih oksigennya 😀

  5. Johaaaaaaaaaa.

    penjelasan ttg medic sll membangkitkan gairah membacaku, Bib.
    Ini bukan FF biasa. ^^d

    Jadi, Jinki pernah punya pengalaman buruk sm ahjuma pedofil. Tp virus2 apa yg menggerogoti tubuh Jinki?HIV?pernah disebut2 pas part sblmnya.

    Alasan Jjong jd gigolo krn umma-nya kena CRF.

    Yg terjadi sm mereka bertiga, bisa jadi Heera maafin Jjong stlh tau alasannya. Muahaha. Saya gak pandai main tebak2an.

    Keeeeeyy! Bahasamu belibet nak! Tggl ngomong lgsg mw ngajak kemana aja kog ribet. Buahaha, jd kesengsem sm Key nih. Diksi ttg perempuan+laki2-nya itu…sesuatu.

    Ditunggu next part-nya, Bibib!
    #mumumu

    1. Knp emng? Tertarik sama dunia medis? Aku engga, haha…

      Huauaahaha… dimaapin engga ya si Jjong… au aah… ntar aku bertapa dulu cari jawabannya…

      Aku jg suka key//////// Sukaaaaaaaa… dan aku paling menikmati scene yg ada Key-nya. Haha…

      Makasih eonni dah mampir… jangan bosen2 ya…

  6. Huaaaaa…..aku pengen nemenin jinki

    Ga bisa nulis komen lagi..diserang flu n kesibukan…#curhat
    *tp masih bisa baca~sotoy

    speechlesss….pokokknya bagus lah ini bib…keren*****
    Keep writing~

    1. Hyaaaa… eonni… sekarang udh sembuh blom flu-nya?

      Sama eon. Heran ya knp makin kesini makin sibuk *sok sibuk* Tp emang bener loh, jadi berasa diburu2 waktu bgd sekarang.

      Ne, aku bakal nulis terus… semoga ga berhhenti sampe kapanpun, walau ntar bukan lg ep ep.

      Makasih eonni dah rajin bgd bacain ff2 aku :*

  7. hwaaa bibib baca ff mu perlu konsentrasi penuh nih 😀
    Ee tebakanku sebelumnya bener ya! 😀
    bener kn Jinki prnah ngalamin pelecehan seksual wktu kecil. Tp soal penyakitnya, itu beneran HIV??
    Aaah jd Jjong jd gigolo karena eomma nya sakit keras 😦 aigo oppa buanglh gengsi mu & segeralah kembali ke jalan yg benar. Kalo heera tau mgkin dia bkalan maafin jonghyun. Tp kyaknya g semudah itu hmm..
    Dan Key, aku koq ngerasa kalo tempat yg dmaksud key mgkin ada hbungannya dgn penyakit jinki?! hmm perasaanku doang sihh aahh molla..
    Aku blm bs nebak apa yg bkalan trjadi dg Jinki-Heera-Jonghyun.
    Okey deh bibib next part ditunggu yaa Fighting ^^

    1. Nyahaha… maapkan diriku yg bahasanya aneh ini ya *bow*

      Iyap, pelecehan waktu kecil yg menjadi cikal bakal hidupnya. Soal HIV. Ngggg, knp mikir gitu?

      Iyalah, mana gampang maapin orang macem Jjong. Kalo aku, udh aku maki2 tiap ketemu. Ujungnya bakal aku kacangin seumur2, boro2 mau baikan.

      Nah nah. Emg ada kaitannya kok, ntar yah diliat aja di part depan… semoga aku ga gagal nulisinnya ^^

      Makasih ya eonni dah rajin mampir ^^

      1. ga aneh bib, tp lumayan brat buat aku hhehe 😀
        Part nya Jinki-Taemin bikin aku mikirin penyakit itu. Aku g ngerti soal medis, jd pas baca, satu”nya penyakit yg trlintas diotakku yaa ituu. Mungkin karena masih trpengaruh komenan di part seblumnya. Emang bukan itu ya penyakitnya?!

        Ff mu selalu bikin penasaran dr awal jd aku pasti selalu mampir kkk~

  8. hm…ya..ya, skrg aq paham dg kondisi jinki n jonghyun. Trnyta bgtu ya. Tp rsanya ada yg krg d part ini, jinki sm heera sm sx ngk ada kontak. Moment mrka d prbnyk donk thor. Mnrt aq prckapnnya jg krg, lbh byk deskripsi crtanya. Tp slbhnya aq sk, dlm pnjlsn ilmiahnya author trksan spt org yg ahli dlm bdgnya 🙂

    next part…d tggu

    1. Mwo? Percakapannya kurang ya? Sip sip, kalo cocok sama apa yg mau aku sampein nanti diperbanyak. Makasih yaw ^^
      Sengaja dibikin ga ada kontak sih emang di part ini, sah sah aja kan? Demi kepentingan cerita, hehe…

      Makasih banyak yah sarannya, makasih jg udh mau baca ^^

  9. ketauan deh, IQ ku rendah. Baca pnjelasan ilmiahnya bkin kepala nyut2an…
    Ni ff ‘pinter’. Tlog part slanjutnya jgn lama2 yah…
    Satu lagi, jgn sad ending dong…., jebal…. Soalnya aku khwatir,
    dr awal, masalah yg dhadepin 2 krakter utama cwoknya
    (uri Jinki n uri namjadongsaeng, Jjong’) Burrrrr…. (disiram MVP n Blingers)
    sangat berat. Jd udh khwtr bakalan tragis, ni, ff…

    Author, semangat!!!! (sambil ngibar2in ‘merah-putih’)

    1. Nde? Ga ada kaitan2nya dgn IQ kok, asal sabar aja bacanya. Emang yg nulis juga IQ-nya tinggi? Sama sekali engga ^^

      Wohoho… tragis engga ya… ummm, biasanya aku jarang bikin happy ending. Tp yg ini, ntar aja deh ya gimana… masih jauh, hehe…

      Makasih banyak say buat semangatnya. berguna banget ^^

      Makasih jg ya udh mampir n baca 😀

  10. ini FF Duet kan? eonniedeul!!
    FFnya keren banget, walau aku engga ingat udah komen di part2 sebelumnya. untuk masalah banyak kata ilmiahnya it’s okay! aku senang baca yang kayak gini. agak berat namun masih santai. tapi aku penasaran apa penyakit si Jinki.

    pokoknya untuk kelanjutannya engga boleh lama2 kkk~ peace ^^v

    1. Harusnya ini duet, tp Vero Eon (Heartless) udah vakum, sibuk banget soalnya…. sayang kalo ga ditamatin, yaudah aku cb nulis sendiri aja 🙂

      Semoga ga lama ya say… semoga segalahnya dipermudah *apadeh*

      Eumm, kayakna belom pernah liah nama km di komen, hehe… gapapa santai aja. Makasih ya udah baca ep ep ini 😀

  11. Sekali lagi forward bener-bener bikin aku teriak-teriak kegirangan setiap ada part baru muncul di SF3SI xD #okeinilebay
    menurutku jinki punya masa lalu yg kelam (kejahatan asusila) dan akhirnya bikin dia trauma berat gitu??
    dan cerita selanjutnya aku juga berpikiran sama dean si komen pertama! hehe 😀
    ditunggu kelanjutannya bibib! jangan lama-lama yaa 😀

    1. Hiyaaaaaai, tau engga, aku jg teriak2 tiap kali berhasil nyelesein satu part… rasanya… sesuatu bgd. Semakin sulit buat nulis tp pelan2 kutulis tiap lg bisa.

      Iyap, tebakannya separuh bener. Di part depa mungkin lebih jelas ;D

      Makasih ya udah setia baca ff ini, semoga aku bisa nulis part berikutnya dg cepat 🙂

  12. Yaampun, jinki, malang sklai nasibku nak. Dipedofili tante” girang sampe trauma segituny. Feeling makin kuat, ap iy si jinki benern hiv. Duh, ini lg si jjong. ah, hidupmu benar” melarat.
    Ah tp, mian, hati lg benar” blue, jadiny skip bagian penjelasan dokter soal ginjal it. Mata udah sepet banget ngejar setoran 4 part yg mesti diulang td hoho
    Baca ini pas gloomy, ay, benar” bikin sesak. Bib, salut banget deh sm permainan katamu. Belajar dimana sih? Pengen juga nulis sedahsyat ini diksiny. Makany engkau masuk d list author-wanna-be ku. soalny suka bget sm tulisan”mu yg sebagian besarny dr narasi.
    Okelah, cuss k next dah.

  13. bener kan, eommanya jong sakit. Jinki juga sakit. hiv, kah? #kayaknya sih.
    awalnya aku nggak terlalu nyambung jinki kenapa bisa begitu. eh ternyata ada mbok-mbok gila demen ama bronis. Agrh! Jadi part ini lebih spesifik dengan keadaan masing-masing gtu, ya?
    sepertinya aku lupa bersyukur dalam keadaan yang sulit. ff-mu mengingatkanku, eon. membuka mataku.

Leave a reply to bibib dubu Cancel reply