Namja – Part 9

Title: Namja

Author: Bibib Dubu

Beta-reader: Kim Nara

Main Cast: Kim Kibum, Park Hana, Park Ha In, Kim Heera

Length: Sequel

Genre: Friendship, Romance

Rating: PG-17

namja2

A.N: Ratingnya tinggi, bukan karena ada adegan porno, cuma memang ada hal-hal sesat di part ini. Yang masih kecil jangan ngikutin yah ^^

Namja – Part 9: Unstable Key

 

Entah perasaan kusut atau linglung yang tengah mendera Kim Kibum. Pria itu bukannya tidak ingat perihal petuah dari seorang bernama Harvey Fierstein yang berbunyi ‘Never be bullied into silence. Never allow yourself to be made a victim. Accept no one’s definition of your life. Define yourself’.

Alih-alih lari dari dunia lamanya demi mencari-cari jati diri baru, ia justru harus merelakan hatinya mengakui kebenaran definisi angin milik Ken. Detik ini ia menyadari bahwa hidup tak akan pernah bisa lepas dari pengaruh orang lain. Lantas, apa dirinya masih harus melanjutkan kisah barunya ini? Itulah yang sedang merangseki otaknya sejak beberapa menit lalu, tanda tanya besar.

Sekali lagi denyutan singkat mencuat dari bagian depan kepalanya, rupanya ia merasa lelah berpikir. Kerunyaman itu lantas diperparah dengan aroma pengap yang berputar di dalam ruangan yang dihuninya kini. Sebuah kamar yang hanya berisikan kasur lipat dan beberapa box lemari plastik, dijejali delapan orang lelaki termasuk dirinya.

Key memaksakan matanya untuk terpejam, ia tidak ingin keraguan semakin menguasai pikirannya. Bukankah ia sendiri yang menyuarakan keyakinan untuk mengikuti arah angin yang sama dengan Ken, sungai Han menjadi saksi bisunya beberapa jam lalu. Berucap demikian, berarti satu janji terucap. Ia tidak ingin menjadi pengkhianat untuk yang kedua kalinya. Kendati hatinya belum meyakini penuh, tapi ada keinginan untuk merasakan kehidupan yang berbeda.

Tubuh Key berguling, sedikit menyimpang dari kasur yang menjadi alasnya. Rupanya ia tidak sanggup terlentang menghadapi langit-langit, karena bagian itu seolah-olah bertransformasi menjadi layar putih yang ditimpa proyeksi gambar, perlahan-lahan menjelma menjadi gerak layaknya sebuah film.  Key tak ingin dirinya terus diliputi kepengecutan. Sekali lagi tubuhnya bergerak, menelungkupkan diri. Tidak, tetap tidak bisa. Ada yang bertalu-talu di gendang telinganya, merapalkan bunyi sebuah janji di tempat yang sama, sungai Han.

Mencoba memejamkan mata, namun berkali-kali pula matanya terbuka—bersambut dengan gelengan kepalanya. Tangannya beranjak dari bawah badan, bergerak-gerak pelan dengan jemari yang meraba-raba lantai sekitar. Osh, tidak ada. Ia merengut kecewa begitu menyadari realita.

Tidak ada guling yang bisa ia peluk erat demi menyalurkan aneka rasa. Tidak ada pula lembaran selimut yang dapat menutupi wajah. Dan yang paling menyiksanya, tidak ada eomma-nya yang selalu menjadi teman bicara menyenangkan sebelum tidur. Hatinya mengemis-ngemis pada udara kosong, memohon agar memorinya segera mengenyahkan kumpulan kalimat khas eomma-nya. Padahal itulah yang ia butuhkan saat ini, teman berbagi resah jiwa.

Dengusan napasnya terdengar keras, berbaur dengan bebunyian yang timbul dari tujuh tubuh yang sedang terlelap dalam mimpi. Key seakan terkesiap begitu menyadari sesuatu, hal yang sedetik kemudian menjadi bahan tertawaannya sendiri. Cih, bagaimana bisa mulutnya begitu mudah mengumbar janji? Key baru tersadar bahwa belum lama ini dia baru saja menerima tantangan dari seseorang bernama Kira. Oh Tuhan, apa mungkin Key punya nyali sehebat itu nanti? Rasanya tidak yakin jika pemuda itu akan kuat menahan kencing tatkala beradu gengsi dengan kecepatan.

Dalam gerakan kilat, tubuhnya sudah tidak lagi terbaring, ia segera menyudahi kekonyolan pikirannya. Kaki jenjangnya menapaki pelan ruang tengah meski tidak tahu hal apa yang akan diperbuat nanti. Pria itu meraih remote televisi yang tergeletak di atas meja berbahan baku peti bekas pengemas barang. Deretan tombolnya hanya ia pandangi hampa, tidak ada niatan sama sekali untuk menindih tombol ‘On’ dengan jemarinya.

Ditimangnya benda berwarna hitam itu, sekadar penyaluran rasa gelisah. Percakapannya beberapa jam lalu bersama Ken memang tidak bisa disebut main-main. Ini tentang sebuah pilihan, dan di hadapan Ken, Key telah menyatakan sebuah keputusan. Tapi, malam selalu berhasil membuatnya kembali. Karena ini adalah waktu ketika biasanya ia merenung, mengenang kisah manis maupun memikirkan cerita pahit. Detik ini, Key tidak akan marah jika ada yang mengatakan bahwa jiwanya itu dapat diibaratkan sebagai pohon tua lapuk yang terombang-ambing sapuan angin. Rapuh dan tak dapat berdiri kokoh.

“Ish,” decaknya kesal. Rupanya tombol remote televisi justru membuatnya bertambah merasa bodoh, Key merasa diperolok lantaran sejak tadi hanya menaruh dagu pada punggung telapak tangan— yang bertumpu pada paha—sembari mengelus-elus pelan tonjolan-tonjolan berbahan dasar karet itu. Buru-buru ia letakkan benda itu ke tempatnya semula.

Langkah Key kembali berpetualang, kini ia menghampiri sebuah kotak rokok yang tergolek bebas di kusen jendela. Ragu-ragu ia membukanya, ada enam batang di dalam sana, tidak lupa bersama pemantik mungilnya. Tubuh itu terperosot pelan setelah beradu dengan dinginnya tembok, sekarang Key tengah duduk tenang dengan satu lutut tertekuk di depan badan, punggungnya bersandarkan dinding.

“Ambil, tidak, ambil, tidak.” Mulutnya menggumamkan pelan dua pilihan. Dan sebagai keputusannya, ia melempar jauh kotak tadi, tidak ingin mulutnya dijejali tembakau terpilin itu.

Kuku panjangnya pasrah ketika sang pemilik mengutus deretan gigi untuk saling beradu antara sisi yang atas dan bawah, Key tidak lagi peduli sekalipun ia pernah mendengar bahwa kebiasaan menggigiti kuku dapat menjadi indikator buruk; kecenderungan mengalami kelainan mental, gangguan obsesif kompulsif.

Geliginya menciptakan bunyi gemeletuk pelan, menghasilkan ujung-ujung kuku yang tak lagi rapi. “Oh, no…,” rutuknya kesal begitu menyadari apa yang baru diperbuatnya. Susah payah ia merawat kuku itu, sungguh rajin ia menghaluskan tepiannya, menggosok-gosok permukaannya agar mengkilap, bahkan membubuhi produk perawatan khusus. Lantas kini? Sekejap mata telah rusak digerogoti.

Dan rasa kesal itu kian membludak setelah ia mengingat bahwa esok tak akan ada kegiatan menicure pedicure lagi. Yang mungkin terjadi adalah, aksi balap liar bahkan adu tinju. Glek, pria itu berjengit. Bagaimana jika nantinya memang harus ada kisah perkelahian? Tangannya tak sadar terkepal, namun diiringi dengan getaran hebat.

Andwae, andwae, jangan jadi pengecut, Key.” Ia berusaha menguatkan batinnya sendiri, dan lantas kembali berdiri tegap layaknya prajurit yang baru diteriaki komando.

Mulutnya terkatup rapat begitu bola matanya berhenti bergerak dan terfokus pada satu titik. Pintu. Entah sejak kapan ada seorang perempuan berdiri di sana sembari menyilangkan tangan di dada. Begitu mata keduanya bertemu, Nara seketika melayangkan senyuman sinis.

“Berikan aku satu,” titahnya begitu ia berhasil merangkul Key, “dan kau harus menghisapnya juga. Aku tahu kau membuangnya tempo hari. Sekarang tidak ada kesempatan untuk lari,” imbuhnya pelan, memberikan penekanan pada setiap kata. Menjadikan Key merasa ditindas oleh rekannya yang satu ini.

“Tidak akan,”elak Key tegas. Disingkirkannya segera rasa takut yang sejak tadi singgah. “Aku tidak merokok bukan karena pengecut. Rokok tidak hanya merusak diriku, tetapi mencelakai orang lain yang menghirupnya. Aku benci rokok.”

“Huh, omong kosong. Dengar Key, apa jadinya kau jika tahu bahwa beberapa di antara kami bahkan mengonsumsi obat terlarang? Yah, ada satu atau dua. Dan rokok, itu sudah menjadi budaya. Darah kami sudah disesaki oleh nikotin, yeah, walaupun kandungan nikotin dalam rokok di Korea memang relatif rendah. Kau adalah bagian dari kami, mustahil kau tidak merokok nantinya.” Nara mencibir, meraih dagu Key dan menekan kedua belah pipi pria itu hingga mulutnya menampakkan celah. Dijejalinya sebatang, “hisap ini!”

Key berdiam diri sejenak, membiarkan benda laknat itu menghuni rongga mulutnya. Ia mencari secuil cara untuk lari. Begitu Nara tampak lengah, ia segera memuntahkan batang tembakau itu ke lantai. “Nara-ya, kau boleh tantang aku dengan alkohol. Tapi tidak dengan rokok.”

Deal, besok malam kau harus temani aku minum.” Telunjuknya mendarat di bibir Key, tepat di antara belahannya yang dihuni oleh sebuah tindikan. Gadis itu mengerling, ia mendorong telunjuknya ke bawah hingga bagian bawah bibir Key tergoyang pelan, jelas membuat lelaki itu terpaksa menelan ludah setelahnya.

Key menyingkirkan pelan tangan Nara, ia tidak tahan batinnya harus dibuat ketar-ketir karena sentuhan tadi. “O, oke. Besok malam,” jawab Key kemudian.

Arrrhg, sial. Key terpaksa meremas bagian belakang rambutnya yang mulai memanjang. Rupanya tingkah Nara bertambah parah. Gadis itu tak bisa diusir, justru kini jemarinya perlahan merangkak menelusuri tepian tato temporal di sekitar area mata Key.

Tik tok, tik tok.

Tidak ada jarum jam berputar di ruangan ini. Otak Key sendiri yang berhalusinasi, menjadikan ia begitu merasa terancam dengan suasana mencekam ini. Sepi, yang lain sudah tertidur bertemankan bau keringat kecut milik rekannya. Ingin rasanya Key merutuki pintu, mengapa tidak mengeluarkan bunyi ketukannya lebih dulu sehingga dirinya punya kesempatan untuk berkelit dari Nara.

Sentuhan itu terasa melembut di satu titik, tepat di ujung mata Key. Jelas saja namja itu berusaha sekuat tenaga mengendalikan sukma yang merasa dipeloncoi.

Kornea mata Nara yang tak lagi hitam ataupun coklat, membuat bulu kuduk Key meremang. Kini manik mata milik Nara sedang berkeliaran mengejar bola mata Key, namun pria itu tak kuasa mempertemukan lagi matanya dengan kepunyaan Nara. Rupanya ia tidak sanggup jika harus menambah satu lagi penyebab takutnya.

“Key, kau ingin menjadi pelari ulung, huh? Bahkan kau tak berani membalas tatapanku!” sembur Nara kasar. “Hh, tidak salah juga jadi pelari, asalkan gesit. Besok malam kita mulai latihan bermain dengan kecepatan. Kutunggu kau di studio tatoku.”

***

Matahari sudah pamit undur diri, tersisa langit yang berwarna kehitaman. Hana memandangi puas hasil karya Jonghyun. Pria itu memang seniman sejati. Goresan cat airnya benar-benar terkonsep, terjalin apik membentuk gambar jiplakan sebuah potret kenangan. Teknik melukis pria itu cukup baik, ia tahu cara memadukan warna, tahu cara memainkan tingkat kedalaman warna kendati lukisan yang dibuatnya hanya berwarna coklat.

Sungguh hal yang menakjubkan, Jonghyun masih sanggup menyelesaikan lukisan itu sekalipun ia sempat jatuh dalam pusara duka. Pria itu hanya meminta waktu setengah jam untuk memejamkan mata di sofa. Dan Hana terpaksa menyetel televisi sementara Jonghyun memilih menenangkan diri dengan tidur. Pada jam berikutnya, Hana sudah melihat lagi Jonghyun Sang Pelukis Ulung yang sungguh-sungguh menciptakan karyanya. Tidak sekalipun pria itu melirik seorang Park Hana, apalagi mencercanya seperti di awal. Dengan demikian, Hana sendiri yang harus bersusah payah menahan diri untuk tidak terus-terusan memandangi Jonghyun.

Gomawo untuk lukisannya, Jjong.” Sedikit canggung, kalimat itu melesat dari mulut Hana. Ia tertunduk malu, tak berani melihat Jonghyun yang tersenyum padanya. Senyum Jonghyun bagaikan ancaman maut baginya. Sungguh ia tidak ingin lagi jatuh ke lubang yang sama—kembali menyimpan cinta serupa dengan menjatuhkan diri ke dalam kubangan luka.

Cheonma. Terima kasih untuk hari ini,” balas Jonghyun seraya memijat-mijat pelan bahunya. Tanpa sadar pria itu terus tersenyum, semburat merah sedikit merangkak dari balik permukaan kulitnya, bersamaan dengan hawa panas yang menjalari wajah dan rasa dingin yang merambati telapak tangan.

“Ah, kau pasti pegal karena lukisan ini.” Ekor mata Hana menangkap gerakan Jonghyun tadi. Ingin berinisiatif memijat, tapi jelas Jonghyun hanya akan mencercanya, entah itu disebut ‘sok peduli’ ataupun ‘cari kesempatan’. Hana tidak ingin menghabiskan waktunya dengan beradu mulut lagi dengan pria itu.

Jonghyun buru-buru menggeleng kuat, “ah, tidak. Mungkin karena tidur di sofa tadi, posisinya kurang nyaman,” tanggap Jonghyun spontan, terkekeh dengan menundukkan kepala. Di ujung kalimatnya ia baru menyadari sebuah keanehan pada dirinya, juga pada suasana yang saat ini tengah dirasakannya. Kakinya mundur selangkah, tetapi sedetik kemudian tanpa sadar menghampiri Hana kembali. Pupilnya melebar, mulutnya menggembung, dan kemudian pria itu buru-buru menghembuskan udara dengan tergesa sembari menepuk-nepuk pipinya keras.

Aigoo, aigoo… Ya! Park Hana! Mengapa kita menjadi aneh seperti ini? Andwae, andwaeeee! Kau menggunakan sihir apa sehingga mulutku bisa melunak terhadapmu?” Diguncangkannya bahu Hana keras-keras, tanpa peduli gadis itu menunjukkan wajah kaget hingga detik berikutnya rasa kesal terpancar dari perpaduan gerak bibir dan alis Hana.

Hana memandang langit-langit dengan jengah, lalu dihempaskannya kasar tangan Jonghyun dari pundak. “Hei, Kim Jonghyun! Kau orang paling tidak tahu diri di dunia ini. Sudah bagus aku mau berusaha memadamkan emosimu, kau malah menuduhku macam-macam. Akui saja, kau takut terpesona padaku, huh? Atau memang sudah? Bagaimana? Pelukanku hangat? Oh, Hana-ya…aku baru tahu kalau berada dalam dekapanmu itu sangat menenangkan,” ejek Hana dengan nada dan mimik wajah yang dibuat-buat agar memancarkan kesan menjijikkan. “Aish, setelah ini kau pasti menuduhku sengaja melakukan semua itu untuk memikatmu. Oh Tuhan, malang betul nasibku harus bertemu dengan pria ini….” Gadis itu mengelus-elus dadanya.

Memang benar adanya, mulut terasa gatal untuk tidak membalas kalimat-kalimat Jonghyun dengan deretan kata sejenis. Hanya ketika berada di dekat Jonghyun, Hana merasa dirinya bagaikan wanita super kasar bermulut lancang yang gemar memaki-maki anak orang.

“Setelah ini jangan berharap kau mendapatkan kesempatan yang sama!” Jonghyun tidak kalah sengitnya menimpali, melotot lebar-lebar kepada Hana.

“Osh, kau sungguh tidak waras, Jjong. Sudah, aku tidak ingin tertular oleh kegilaanmu itu. Aku permisi pulang!” Hana membalikkan tubuhnya, sama sekali tidak ingat perihal lukisannya.

“Hei hei, kau mau kemana? Tunggu aku mandi sebentar, akan kuantar kau pulang! Aku tidak ingin keluargamu menuntutku kalau terjadi sesuatu di jalan.” Jonghyun menarik kasar tangan Hana, mengunci langkah gadis itu seketika.

“Nah, lihat! Siapa yang menawarkan? Jangan tuduh aku berusaha memikatmu lagi setelah ini,” cibir Hana geli. Sesaat kemudian gadis itu terbahak sepuas mungkin dalam rangka menyulut emosi Jonghyun.

“Oh, begitu. Baiklah, kalau begitu pulang sendiri saja. Aku tidak peduli kau tertabrak, dicegat preman, atau dicabuli sekalipun. Terserah kau saja!” Jonghyun melengos pergi, naik ke lantai atas dan mencampakkan tamunya begitu saja.

Hana menyesal telah membuat Jonghyun marah, ia harus bersusah payah pulang naik kendaraan umum. “Cih, tuan rumah yang buruk!” Hana memaki kesal.

Hana melangkah malas keluar dari rumah Jonghyun. Untaian paving block yang tertata rapi seolah jalan super panjang yang masih harus dilaluinya dalam waktu lama. Untung saja kepalanya tidak ikut menunduk. Kalau tidak, ia akan terlihat seperti yeoja yang baru pulang dari rumah namja-nya dengan ditemani duka.

Belum terlalu jauh dari pagar rumah Jonghyun, suara klakson mobil menghentikan langkahnya. Pada awalnya tidak Hana hiraukan, siapa pula orang yang mau memanggilnya? Ia pun tidak merasa berjalan pada jalur yang salah sampai harus diberi peringatan.

Namun setelah berkali-kali suara itu terkesan keras kepala dengan bunyinya yang terus berkesinambungan, Hana melirik galak, merasa ketidaktenangannya bertambah disulut. Semua niat itu menguap seketika begitu melihat sosok pengemudinya. Sungguh terlihat indah dan terang walaupun hanya disokong penerangan lampu jalan dan lampu sen mobil. Kim Jonghyun! Hoho…namja itu berubah pikiran rupanya, tidak sekeras yang kuduga, begitulah pikir Hana.

“Hai, hai, pangeran super baik. Tidak kusangka bahwa kau semulia ini menyusulku. Tapi jangan menuduhku sebagai wanita ketiga yang berusaha memisahkanmu dari In Young, ya?” celoteh Hana begitu pria di balik kemudi itu memberi isyarat untuk masuk.

“Jangan berpikir terlalu banyak, Nona.” Pria itu tersenyum kecil plus kecut.

Mobil melaju tanpa harus direcoki dengan adegan adu mulut antara Jonghyun dan Hana lagi. Gadis itu berjanji untuk tidak membuat Jonghyun marah kali ini, jelas saja berada dalam naungan mobil ber-AC jauh lebih nikmat daripada harus naik bus,  sedangkan naik taksi bukan pilihan bijak mengingat tarifnya yang selangit. Alhasil Hana membiarkan Jonghyun terus-menerus memperhatikan jalanan, ia sendiri menyibukkan diri dengan mengutak-atik ponsel.

“Nona, kalau kau kedinginan, AC-nya kumatikan saja. Aku memakai jaket, tidak masalah dengan AC,” ucap pria itu di tengah perjalanan. Jelas ini membuat tawa Hana spontan menyembur.

“Astaga, Jjong. Kau menghina berlebihan. Aku memang kurus, tapi kulitku cukup tahan kalau hanya dihujami dinginnya AC. Ahhh, daripada kita bertengkar lagi… kuberi kau pujian saja. Jaket dan topimu bagus sekali untuk melindungi tubuh dari AC.”

“Ah, memang.” Kalimat panjang Hana hanya dibalasnya pendek.

“Ish, aneh sekali kau tidak banyak omong. Kau sungguhan mirip Jongmin. Kau tahu tidak? Aku lebih suka melihat Jongmin yang tenang dan tidak bermulut kasar sepertimu. Sama-sama tampan, tapi kesan dewasanya terpancar kuat. Aigooo, usiamu sudah berapa, Jjong? Mengapa kau masih sangat labil dalam urusan emosi?” Pelan tapi masih terdengar, begitulah gambaran yang tepat untuk mendeskripsikan volume suara Hana barusan.

Tidak ada tanggapan, hening merayap. Hana menyadari bahwa dirinya baru saja melakukan kesalahan besar. Membandingkan Jonghyun dengan saudara kembarnya jelas akan membuat pria itu marah besar. Pelan-pelan Hana melirik untuk memastikan raut wajah Jonghyun pasca kelancangannya tadi.

Ajaib! Tidak ada guratan kesal, tidak tersinggung, atau mengeluarkan amarah yang meletup-letup. Sungguh situasi yang aneh, Hana tanpa sadar menggaruk-garuk kepalanya yang mendadak gatal. Apa mungkin ketombe di kepalanya ikut gusar karena seorang Kim Jonghyun tiba-tiba tidak membalas kalimat yang mungkin tergolong sindiran itu? Atau Jonghyun memang sedang tidak mendengar? Atau mungkin…

“Terima kasih sudah memujiku, Nona. Aku Kim Jongmin.” Kalimat singkat sang pengemudi jelas membuat wajah Hana bagaikan dipecundangi. Andai saja penerangan dalam mobil ini sangat bagus, sudah pasti dapat terlihat warna merah padam di wajah Hana.

Gadis itu bagaikan mumi yang kali ini dipaksa beku dalam lemari es. Semilir udara dari AC rasanya sudah menjelma menjadi hembusan angin di musim salju. Tidak tahu apa yang harus diucap, tidak terpikir harus mengeluarkan gerak tubuh seperti apa. Satu kata yang mutlak terpatri di otak Hana, malu.

Sisa perjalanan dilalui dengan bisu. Jongmin yang pendiam tidak lagi buka mulut, ia bisa mengerti bagaimana dirinya telah berhasil mempermalukan Hana secara telak. Begitupun dengan Hana, tunduk takluk tanpa sepatah kata. Sampai-sampai ia berharap ada suara tokek dari jok belakang mobil ini demi memecah kecanggungan yang diciptakannya sendiri.

***

Kretttt,

Pintu itu terbuka pelan-pelan, seseorang masuk dan terpaku berdiri di pintu. Posenya tidak tegak, ia memang sengaja memiringkan tubuhnya dan bersandar pada kusen pintu. Tangannya tersilang di dada, antara ingin meredam detak jantungnya yang kian cepat, menyembunyikan rasa pening di kepalanya yang menyebabkan ia tak bisa berdiri tegap, atau bisa jadi pria itu mati-matian berusaha untuk mengubah cara berdirinya yang biasa—gaya berkacak pinggang dengan satu tangan saja.

Sungguh, ia sangat ingin berdeham untuk mengusir jauh rasa gentar, namun di satu sisi masih tak ingin kedatangannya disadari. Perlu beberapa detik untuk membuat matanya berkedip setelah melihat apa yang terhampar di depannya. Pria itu adalah Key. Berbekal jaket jeans hitam belel, kaos singlet bermotif kertas koran, dan celana jeans penuh sobekan pinjaman dari Ken, pria itu nekat datang kemari untuk memenuhi undangan Nara. Sebuah kalung perak menjuntai panjang di lehernya, ditemani beberapa lainnya yang tidak terlampau mencolok. Jemarinya dihiasi beberapa cincin tak berbatu, hanya hitam melingkar bisu di jari manis dan jari tengahnya. Beberapa pin terpasang tak beraturan pada saku jaketnya.

Bola mata Key bergerak pelan menelusuri setiap sudut. Tidak hanya satu atau dua orang yang ia saksikan. Pria itu baru percaya bahwa tato tetap memiliki banyak peminat meskipun sering dianggap sebagai seni yang mengotori dan membahayakan tubuh.

Studio tato kepunyaan Nara. Tembok ruangannya didominasi dengan merah, beberapa sisinya didesain mirip dengan galeri lukisan. Bedanya, yang terpajang di dinding adalah aneka jenis desain tato, bukan lukisan cat air. Tidak ada kesan kotor sama sekali di tempat ini, jangan berharap kau bisa menemukan jaring laba-laba di seluruh sudut atap, apalagi sampah-sampah botol alkohol yang berserakan di lantai atau onderdil bekas yang telah habis dipereteli dari motor induknya, tidak akan ada. Rupanya kondisi studio ini jauh berbeda dengan suasana markas.

Ukuran studio tato milik Nara ini sudah tidak lagi kecil, tergambar dari aspek pembagian ruangnya. Dari tempatnya berdiri, Key bisa melihat sebuah ruangan berisikan sebuah sofa—yang mungkin didefinisikan sebagai ruang tunggu. Pada ruangan tadi, ada sebuah rak berisikan kumpulan album, Key menebak bahwa itu adalah koleksi desain tato. Mungkin sengaja disediakan untuk mengisi kekosongan orang yang masih menanti jatahnya untuk ditato. Bergeser ke kiri sedikit, ada ruangan agak temaram yang dilengkapi dua buah single seat dan meja bulat mini, Key tidak tahu apa fungsi ruangan itu. Mungkinkah tempat berdiskusi dengan calon klien? Sedangkan ruangan utama adalah tempat para seniman itu menunjukkan kebolehannya merajah tato, ukurannya jelas berkali lipat lebih luas dibandingkan lainnya. Di salah satu sisi ruangan itu ada pintu, entah di baliknya ada tempat seperti apalagi. Bisa jadi ada dapur, toilet, ataupun tempat beristirahat, Key tidak tahu.

“Jangan mematung di pintu, masuklah!” Suara Nara membuyarkan lamunannya, rupanya perempuan itu menyadari bahwa sejak tadi Key tampak bodoh dengan hanya berdiri ditemani sorot mata kosongnya.

Key mengangguk patuh, ingin balas menyapa Nara namun segera diurungkannya karena perempuan itu tampak serius dengan pekerjaannya. Satu spot menarik perhatiannya, Key memutuskan untuk duduk di salah satu sofa di ruangan tunggu.

Beberapa menit berikutnya fokus Key sekali lagi tersita penuh oleh sosok Nara. Sesekali didapatkannya perempuan itu tertawa saat berbincang dengan ‘korbannya’. Jelas bukan tawa cantik yang dilihat Key dari seorang Nara yang berpenampilan serba gothic. Setiap tawa melesat, Key justru bertambah seram melihat mata Nara yang menyipit. Kornea mata perempuan itu sudah diubah menjadi menyerupai ular. Bukan karena efek menggunakan soft lens, melainkan seni tato modern yang kini sudah merambah ke area mata.

“Tunggu sebentar lagi, Key!” Suara setengah berteriak dari mulut Nara berhasil membuyarkan lamunan Key. Pria itu hanya membalas dengan anggukan refleks.

Yo yo, Man. Hai Key, ternyata kau ada di tempat ini juga. Ingin membuat tato sungguhan?” Thunder tiba-tiba sudah duduk di sebelah Key. Pria berwajah agak lonjong itu menumpukan sikunya pada bahu Key sekalipun Key harus sedikit bungkuk karena ulahnya itu. “Asal kau tahu, yang ada di dekat matamu itu temporal abal, hanya dibuat dari semir rambut. Paling tahan 3 minggu. Kau harus ditato dengan tinta sungguhan yang diimpor dari Jerman. Jangan khawatir, kau masih bisa menghapusnya tanpa perlu teknik laser canggih milik dokter kecantikan.” Key tertawa karena ocehan temannya yang lebih mirip promosi ala salesman.

Jinja? Jadi ada ya tato yang seperti itu,” tanggap Key, berbasa-basi. Alih-alih menutupi rasa ketidaktertarikan, Key menyambut uluran tangan Thunder yang mengajaknya berjabat tangan ala genk mereka.

“Kau haus, Key? Kurasa Nara punya stok cola di kulkas pantry. Aaa… kau belum menjelajah tempat ini, ‘kan? Ck, ini mirip rumah. Tapi entah kenapa Nara tetap bersikeras ingin tidur di markas, padahal jelas tempat ini lebih nyaman dibandingkan serumah dengan pria-pria yang malas membereskan rumah.” Cerita Thunder barusan bukanlah hal yang mengejutkan bagi Key. Ia tahu jelas alasan Nara. Rumahnya adalah markas, saudaranya adalah rekan-rekannya sesama pemuda yang hanya menganggap tempat itu sebagai tempat bernaung.

“Ah, lain kali aku akan mencari tahu isi studio ini. Sekarang aku hanya ingin mengamati,” jawab Key ringan. Pria itu melengkungkan bibirnya sedikit ke atas. Ia menyambung ucapannya, “omong-omong, kau bisa membuat tato?”

Thunder mendecak, merangkul bahu Key, dan menekannya kuat. “Dengar kawan, membuat tato itu sulit. Tidak sembarangan. Coba bayangkan kalau tarikan garisnya salah sedikit saja, klien akan marah karena tato itu akan melekat permanen di tubuh mereka. Aku tidak cukup tekun melakukan hal semacam ini. Hmmm, kau tertarik mempelajarinya, Key?”

Key menggedikkan bahu, tangannya meraih sebuah album berisikan kumpulan desain tato. Matanya memicing, melihat malas deretan motif yang ada di setiap lembarnya, “daripada tatonya sendiri, aku sebenarnya lebih tertarik mencari cara mendapatkan uang. Eumm… aku tidak mungkin jadi parasit abadi.”

“Aku tahu. Mungkin aku punya solusi untukmu. Pernah dengar turnamen tinju liar? Pemenangnya bisa dapat banyak uang. Aku pernah mencoba beberapa kali, wajahku memang bonyok, tapi toh aku menang besar. Kau tertarik, Key? Tinju lebih mudah dari balap motor.”

Omo, kau sinting. Ajak aku tanding catur, mungkin aku menang,” Key nyaris terbahak. Sungguh lucu memang hidup barunya ini. “Kau sendiri darimana mendapatkan uang?”

“Aku hobi memodifikasi motor dan mobil. Beberapa dari kami bekerja sebagai montir. Aigooo, Key, aku tidak tahu seperti apa hidupmu dulu. Apa kau tidak pernah bekerja? Apa yang sebenarnya kau bisa?” gurau Thunder seraya menyalakan sebatang rokok yang baru dirogohnya dari saku celana jeans. Tidak lama pria itu tampak menikmati jalinan asap kontinu yang tercipta dari Marlboro-nya.

Candaan Thunder barusan rupanya cukup menohok Key. Pria itu tertunduk malu, “aku hanya tahu cara menghabiskan uang ibuku. Eum, aku tidak punya bakat yang sesuai untuk duniaku ini. Bakatku… memasak, rajutan tanganku pun cukup bagus.  Aku cukup mengerti busana, aku bisa pijat refleksi, ah, cara merawat kuku dan kulit pun aku paham…-” Terpotong dengan sendirinya begitu melihat gerak mulut Thunder yang berhenti pada kondisi terbuka lebar.

“Ck, kau cocok sekali kalau buka salon kecantikan.” Gelak tawa refleks menyembur sampai pelakunya memegangi perut. Butuh waktu beberapa menit hingga Thunder berhenti meledek Key dengan tingkahnya. “Ah, maaf, maaf. Tidak seharusnya aku berkata demikian. Hmmm, santai Boy, aku yakin Ken punya solusinya. Nyatanya semua teman dia masih bisa hidup dan mendapatkan penghidupan. Ssst, asal kau tahu, Ken itu anak konglomerat.”

Key tidak menjawab. Otaknya sibuk menangis di dalam hati. Lagi-lagi, semua yang ada di kehidupan lamanya tidaklah berguna kini. Rasa kesal lantas membuatnya berdiri, melakukan hobi barunya yang entah sejak kapan ada—menikmati kesiur angin. “Aku tunggu Nara di teras saja,” ujarnya kaku.

***

Dua anak adam bersenda gurau dengan sebatang lolipop yang terselip di mulut masing-masing. Secuplik bahagianya hidup tengah dirasakan, semanis permen yang sedang diemut keduanya.

Tidak ada beban dalam langkah, begitu pula dengan gerakan mengacak rambut yang dipertontonkan sang pria. Gadis yang jalan bersamanya, tak berbeda jauh dengan bocah kecil yang mudah tergiur sedikit saja goda rayu, terlebih jika disentuh hangat.

Gadis itu tidak bertanya sepatah kata pun mengenai tujuan mereka malam itu, ia hanya percaya bahwa ke tempat apapun kakinya akan dibawa melangkah—asalkan itu bersama sang pria—maka kembang di hatinya akan tetap merekah. Lihat saja bagaimana senyuman tak henti menghiasi wajahnya sejak tadi. Kau akan melihat bagaimana cinta dapat menjelma seperti gula termanis di dunia, ataupun harta termewah di jagad raya ini.

“Di sini, tujuanku adalah tempat ini,” ucap sang pria, memotong tawa sang gadis. Pria itu harus bersabar untuk menunggu reaksi gadis di hadapannya.

Gadis itu merapikan poni yang menutupi mata kanannya, namun sekali lagi angin berhembus menjadikan helaian itu kembali tak beraturan. Ia mengambil sebuah ikat rambut dari saku celana brown baggy-nya, memasangkannya di rambut. Tertata rapi sudah, dan detik ini, raut heran tak mampu disembunyikan oleh sang gadis begitu kakinya diminta berhenti di depan sebuah bangunan. Ia menaikkan satu alisnya yang condong terarah kepada pintu tempat itu, “Oppa, kau sungguhan akan kemari? Kau rela tubuhmu dikotori tato?”

Ne, kau tidak keberatan menunggu?”

Sang gadis memainkan bibirnya, dikerucutkannya lalu digerakan ke kanan dan kiri. Mengiyakan berarti menjerumuskan diri dalam rasa bosan menunggu. Ingin sedikit mengeluh tapi dirasa tidak terlalu berguna. Lantas gadis itu merenung sejenak hingga akhirnya senyum nakal tergurat di wajahnya, “Oppa, waktu adalah uang. Kau sama saja membuang waktuku dengan memintaku untuk menunggu. Sebagai gantinya, temani aku ke Namsan Tower di lain waktu. Setuju?”

“Astaga, untuk apa kau ke sana? Mau pasang gembok? Memangnya kau punya pasangan? Aigoo, sudahlah. Itu urusan gampang. Jadi sekarang mau menunggu tidak? Mungkin tidak terlalu lama. Lagipula, menurutku waktu bukanlah uang. Sebaliknya, uanglah yang bisa membeli waktu,” timpal sang pria. Tanpa menunggu jawaban si gadis, pria itu melangkah pasti mendekati teras studio tato dengan langkah tegap dan menyelipkan kedua tangannya di saku jeans.

“Ya! Aku belum menjawab. Oke, oke, kau selalu menang.” Gadis itu mengekor pada akhirnya. Langkahnya dipercepat guna menyejajarkan posisi dengan pria tadi, suara sepatu kets-nya terdengar yakin memukul aspal. Tangannya sempat menahan langkah sang pria, mereka saling bertatapan intens tepat di depan pintu studio. “Oppa, apa maksud kalimat terakhirmu?” Ia masih mengejar jawaban, setelah menelisik ke dalam bola mata pria tadi—sang gadis tahu bahwa kalimat itu bukan pernyataan main-main atau celetukan sekali lewat semata.

“Rahasia, hanya aku dan Tuhan yang tahu. Park Ha In, kuperingatkan kau untuk tidak tahu banyak tentangku.” Pria tadi merangkul gadis bernama Ha In itu dengan hangat, membawa gadis itu masuk ke dalam.

Ha In mengerjapkan mata beberapa kali, tempat yang dari luar terlihat sangat sepi ini ternyata berisikan banyak kepala. Ia sempat menangkap sekilas ekspresi puas seorang gadis saat memandangi pergelangan tangannya yang masih terbungkus semacam plastik—sepertinya gadis itu baru saja selesai ditato. Ha In pernah mendengar bahwa setelah proses tato usai dibubuhkan di satu titik, maka bagian itu harus dibungkus plastic wrap agar tidak dihinggapi kuman-kuman. “Ck, heran. Ditato jelas sakit dan beresiko bahaya, tapi masih saja banyak yang mau,” dumalnya pelan.

“Hei, hei, Key. Mau ke mana kau? Ish, kau tersinggung? Maaf kawan, ucapanku jangan dianggap serius, aku bukan Nara yang selalu mengeluarkan kata-kata sarat makna.”

Membeku, Ha In menghentikan langkahnya. Tepat di sampingnya, seorang pemuda sedang mencegah temannya untuk pergi. Kupingnya terlalu sensitif menangkap satu nama. Bermula dari titik terbawah, bola matanya beranjak naik hingga titik atas. Visualisasi yang tampak di hadapannya adalah gambaran seorang pria dengan dandanan aneh, alis Ha In tertaut otomatis begitu menyadari keberadaan tato di area dekat mata pria tadi, celetukan ringan terlontar samar-samar dari balik bibirnya, “ish, ini sinting. Wajah ditato.”

Tak tahan terus terpusat pada satu titik, manik hitam itu kembali bergerilya, dan kali ini tepat terhunus pada bola mata pria itu. Abu-abu polos seperti mata hantu. ‘Tidak, tidak, ini bukan Key yang kucari,’ batinnya. Ha In pun beranjak, derap langkahnya menuju ruangan utama—menggema.

Pria yang hendak pergi tadi urung melanjutkan niatnya, gravitasi Bumi seakan bertambah kekuatannya, menarik tubuh manusia untuk berdiam diri pada posisinya. Batinnya dirundung koma, hilang seakan tak punya nyawa. Televisi dunianya menampilkan satu sosok, yang tak bisa dikendalikannya agar tampak jelas. Gambar itu bergoyang-goyang, sesekali didera garis-garis bergelombang. Namun ia jelas sudah menghafal titik-titik piksel semacam itu. Seorang gadis berambut sebahu yang gemar mengikat rambutnya sembarangan, tubuhnya terbalut tank top putih dan cardigan saddle brown.

“Key, ya! Beraninya kau mengabaikanku!” Lagi-lagi nama itu menghentikan langkah Ha In, ia kembali membalikkan badan, menyaksikan seorang pria yang masih mematung dengan tangan terkepal.

“Key?”

Di bawah atap yang sama, dua hati sesungguhnya saling memendam rindu. Hanya tak terucap, hanya tak terwujud dalam rangkaian kata nyata. Di dalam bangunan itu, berpuluh nama terukir di lapisan ari kulit, terabadikan dalam raga sekaligus jiwa. Lalu, kisah apa pula yang akan tercipta nanti?

To Be Continued

Maaf ya ga bisa terlalu mendetai ngejelasin tato, takut jadi ada yg tertarik sama tato. FF ini emang sarat sama dunia yg sesat, mau ga mau harus aku gambarin dikit2 demi kepentingan cerita.

Thanks buat yang mau baca dan ga lupa buat beta-readernya. Kritik saran monggo dilayangkan.

©2011 SF3SI, Freelance Author.

Officially written by ME, claimed with MY signature. Registered and protected.

This FF/Post legally claim to be owned by SF3SI, licensed under Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License. Permissions beyond the scope of this license may be available at SHINee World Fiction

Please keep support our blog, and please read the page on top to know more about this blog. JJANG!

21 thoughts on “Namja – Part 9”

  1. tunggu ha in tuh yg mana eon?? aigoo aigoo aq lupa.. yg suka ama yoochun bkn? tp kenapa dia ke tmpt tato? aigoo sungguh aq lupa!

    wah… wah… itu mereka ketemu! tp knp hrs tbc?? kan nanggung jd bikin kesel kan.. yah eon ayo cepet lanjut! makin lama makin panas nih ff

    kebiasaan key sama kyk aq. kl lg mikir yg dlm bgt pasti gigit kuku. aq lbh parah kl lg mendem emosi atau lg bingung aq sering gigit bibir bagian dlm, jd sering berdarah. kebiasaan buruk itu -___-

    tdnya aq berharap hanalah yg pertama kali ketemu key, tp malah ha in ya? pokoknya cepet lanjut deh

    1. Iya Ha In itu yg suka sama Yoochun, Han. Loh kan Yoochunnya yg mau ditato, bukan si Ha In.

      Wuehhh, gigit bibir? Ish jgn atuh han…. masih mending gigit kuku si ga nyakitin, yah walopun kuman2nya buanyak.

      Awalnya aku jg pingin Hana yg ketemu. Tp setelah ditimbang2 mengenai karakter Hana dan Ha In, aku rasa lbh baik Ha In yg ketemu, hehe…

      Part 10 udah selesai kutulis kok, kalo ga banyak revisi ya mungkin bisa cepet ^^

  2. Aaaa!!! Ha In ketemu Key.. astagaaa…
    apa Ha in bner² g mngenali Key? aigoo sumpah TBC itu sangat mengganggu. Lg seru²nya pdahal..
    Lanjuttt part 10 …

  3. Tenang aja eon, aku ga bakalan kepengaruh, soal.y aku sendiri udah punya tato *plakkkk
    Lagi2 bib eon bikin otak aku kekures sm kalimat.y yg tingkat dewa ini.
    In young ga muncul ya. Doh, aku deg degan nih nungguin next part Ha In sm Key bakalan gimana.

    1. Omo, km punya tato? Permanen atau temporal? Aigooo….

      Masih bikin pusing ya kalimatnya? Padahal makin kesini makin sederhana kurasa. Eh tp part 10 agak meninggi lagi sih.

      In Young, baru muncul di… part 11. Nyahahaha, tungguin aja ya part 10nya biar tau gimana Ha In-Key

      Makasih loh taejin, udah mau baca ff ini 😀

  4. eh? udah part 9? what de…
    berarti sy lewatin 2 part ini. aish, kalo gitu nitip jejak dlu ah. bentar deh komen asliny haha

  5. wahhh…kok dah selesai sih partnya? bikin penasaran cerita selanjutnya nih.. itu yg bareng ha in si yoochun y? aduh, aku g bisa mbayangin lo misalnya key ikut adu tinju liar, kasian mukanya lo jadi bonyok, kayaknya lo balap liar lebih keren deh.. heheh….
    kira-kira ha in ma key bener-bener ketemu ga ya? aduh…. penasaran banget nih

    ku tunggu part selanjutnya
    keep writing..!!!!

    1. Key ikutan tinju… errr, gpp. Keren2 aja sih klo ada cowo agak bonyok mukanya, wkwkwk.

      Key ama Ha In, ya pasti ketemu… cm kan ga tau apa yg terjadi pas ketemu itu… part 10 segera meluncurrr…

      Makasih ya udah baca ^^

  6. Dan im comiiiiiing~
    Yey, setelah nangkring berhari” d bookmark, akhirny bs nuntasin dua partny sekaligus. Ah, sequel satu ini selalu sj nyulut emosi.WTH! Tp, gara” ff ini jg ngeksplor pengetahuan psikologi seseorg, dn bikin sy it jadi ngerti bgmn khidupan ank” sesat itu. Kmudian baygin sendiri, eh, si kibum mau balap? Kenapa sy gak bs byangin sm sekali ya. Karena image yg trlalu boyish-girly *plak*, jdiny Cuma bs bayangin kibum keliling d butik nyari baju” fashionistany yg menurutku weird err

    N ff ini, duh, makasih banyak loh Bib udah bikin ff sbagus ini, jd belajar banyak jg nulis narasi yg awesome it kek gimana. 🙂

    1. Eh boram, sebenernya aku ga bahas psikologi di ff ini. Kalo kubilang, ff ini tuh cuma kehidupan manusia biasa.

      Nyahaha, aku jg sih sebenernya ga bisa bayangin Key yg macem itu, abis Key itu terlalu… DIVA!

      Ah boram bisa aja nih, FYI, aku lemah dalam narasi. Sebenernya aku lbh bisa bikin dialog. Lewat dialog bisa lebih nusuk dan ngena, wkkwk…
      Makasih loh ya boram udh nyempetin baca 😀

    1. tpi ngomong masalah tato aq juga punya n betol sekali klo punya tato kudu siap hati n mental jgn smpe nyesel pas masangnya coz permanen di badan >.<

      1. Wueh? Tato permanen? Eh kenapa sih awalnya mau kepingin bikin tato?

        Bisa diilangin kok say, aku sih pernah baca-baca, bisa diilangin ke dokter kecantikan kulit gitu, pake teknik laser khusus. Tapi, mahal dan ga dijamin ga berbekas

        Makasih ya udah baca ff ini 😀

        1. Setiap orang buat tatoo pasti banyak alasan memang terkadang ada yang cuma untuk gaya tapi dibalik tatoo pasti ada filosofinya 😀
          kalo aku sendiri nama Eomma yang aku pake, yang pertama mungkin cara terima kasih n nunjukin ke orang2 kalo Eommaku hebat. yang kedua rasa maafku sama dia, secara gak sadar kadang nyakitin dia bukan kadang lagi kayaknya tapi sering >.<., dan buat tatoo itu sakit banget jadi ini ku artiin kaya rasa sakit Eomma karena aku :D.

          jadi kalo mau buat tatoo pikirkan alasannya dulu pasti gak nyesel, n dah 2 tahun aku punya sama sekali gak nyesel jadi gak perlu ngeluarin duit lagi buat ngilangin -__-.. muaahaaaallll..

  7. aaaaaaa park ha in!! that’s key!!!
    omaigooot, gemees bgt dah ini..
    suka bgt sm part nya jjong hana.kkkk

Leave a reply to amaliaputrilia Cancel reply