Let Me Love Him – Part 3

Let Me Love Him – Part 3

Author :   himahimawari

Main Cast :   Lee Habin (OC), Kim Jonghyun, Choi Minho

Support Cast :   Jung Jyorin (OC)

Length :   Sequel

Genre :   Romance, Friendship

Rating :   PG-13

Summary :

-Habin POV-

‘Minho… apa maksudnya tadi? Berkali-kali kau membuatku merasa seperti ini hari ini.’

Teringat tawa darinya tadi membuat perasaan kesalku timbul lagi. “Bercanda seperti tadi itu tidak lucu sama sekali!” Aku melempar tas dengan kasar lalu membanting tubuhku ke atas kasur.

-Minho POV-

‘Habin, apa kau tahu? Sebenarnya yang kuucapkan tadi itu 100% benar. Jeongmal saranghaeyo. Aku mulai menyukaimu, ah ani. Aku mencintaimu. Sekarang aku yakin aku mencintaimu. Dan aku tidak mau kejadian lampau itu terjadi padamu karena pembunuh itu. Jadi, aku akan menjagamu. Saranghae…’

A/N :

Annyeong! Akhirnya bisa publish lagi *hela napas panjang* maaf bagi yang sudah menunggu. Tapi aku baru dapetin inspirasi lagi untuk ff ini –v aku itu author pemula yang masih butuh oksigen untuk memperbaiki karya aku. Jadi tolong komentar ya reader *bow*

 Happy Reading~

 

* * *

-Minho POV-

Aku membuka pintu rumahku.

“Aku pulang,” ucapku layaknya orang bodoh karena sebenarnya aku tahu tidak akan ada jawaban karena aku tinggal sendirian semenjak adikku… ditelan kejadian mengenaskan itu dulu.

“Arrgghhh, teringat lagi. Mengapa kejadian itu tidak pernah hilang dari pikiranku??” Aku menutup mataku dengan kedua tangan dan menjatuhkan diri di kasur. “Semua ini semakin lama terasa semakin berat.”

Karena merasa begitu lelah hari ini, aku pun terlelap dengan cepat.

* * *

Annyeong,” ucapku ketika masuk ke kelas. Tak ada yang menyahut. Kugerakkan mataku melihat ke sekeliling kelas dan kudapati Habin duduk di kursinya sedang berkutat pada sebuah buku.

Aku menghampirinya dan duduk di bangku di depannya. “Kau sendirian?” tanyaku.

Ne,” jawabnya singkat tanpa mengalihkan pandangannya dari buku. Aku memiringkan kepala dan menatapnya heran. Gerak-geriknya seperti tidak peduli sekali kepadaku. Apa dia masih kesal karena kejadian semalam?

Aku memajukan kepalaku –mendekat ke kepalanya– dan berhasil membuat pupilnya bergerak kearahku, walaupun dia tidak menutup atau meletakkan bukunya sekalipun.

Wae?” Lagi-lagi ucapan singkat.

“Apa kau masih marah?” tanyaku dengan lembut, takut-takut akan membuatnya lebih marah lagi.

Mwo?? Untuk apa?” Habin menyipitkan matanya.

“Tadi malam itu–”

“Ah itu, gwenchana,” potongnya cepat lalu kembali membaca bukunya. Aku tahu dia masih marah. Dia memang susah untuk berbohong kepadaku.

Jinjja?” tanyaku tak yakin. Dia menatapku sekilas lalu mengangkat bukunya lebih tinggi hingga aku tidak bisa melihat wajahnya.

Ne.” Jawaban singkat lagi-lagi kudapatkan, bahkan dia mengucapkannya hampir seperti gumaman. Aku mendengus karenanya. Tunggu, mengapa dia menutupi wajahnya dengan buku? Seperti ada yang ditutupi saja.

-Habin POV-

Aissh dia ini. Sejujurnya karena kejadian tadi malam aku tidak dapat tidur nyenyak dan tidak dapat berkonsentrasi belajar hingga pagi ini. Ditambah pertanyaannya membuat perasaanku kesal bercampur grogi. Akhirnya buku ini yang kugunakan sebagai pelarian tatapanku pada agar jantungku tidak berdetak semakin cepat.

Jinjja?” Dia tetap meneruskan pertanyaannya padaku. Aku menggerakkan bola mataku untuk menatapnya lagi tapi hanya menjadi sekilas karena senyumannya yang membuatku semakin grogi.

“Ne,” jawabku singkat hampir seperti gumaman. Kuangkat benda pelarian tatapanku ini menutupi wajahku yang bisa kupastikan merona merah.

Geuraesseo.” Minho berdiri dan berpindah ke bangkunya sendiri dan entah apa yang ia lakukan disana. Satu-persatu murid-murid lain memasuki kelas.

‘Aku tidak ingin mengingat kejadian semalam lagi. Aku harus bisa berkonsenterasi pada pelajaran hari ini.’

* * *

-Author POV-

Bel tanda makan siang berbunyi. Seperti biasa, Minho dan Habin akan makan bersama di kantin sekolah. Ketika mereka berdua sedang berbincang mengenai pelajaran yang tadi dijelaskan, sebuah suara deheman menarik perhatian mereka.

“Apa aku boleh bergabung?” tanya Jonghyun sambil membawa nampan yang berisi makan siangnya. Minho menyeringai dan memutar matanya karena malas melihat Jonghyun. Habin yang melihat gerak-gerik Minho merasa heran dan buru-buru membuka mulut.

“Ah, tentu saja.” Habin sedikit menggeser tempat bekalnya agar Jonghyun bisa meletakkan nampan yang ia bawa.

Gomawo.” Jonghyun tersenyum lalu duduk di depan Habin. Minho yang kesal harus meredam kuat-kuat emosinya karena tidak ingin membuat suasana menjadi tak nyaman.

“Dimana teman-temanmu? Tidak biasanya kau sendiri,” Minho bertanya dengan nada meremehkan.

“Mereka sedang ada tugas yang harus segera diselesaikan,” Jawab Jonghyun santai.

Minho memainkan sendoknya–memutar-mutarnya–di atas piring hingga terlihat seperti sedang menari. “Atau mungkin mereka menjauhimu karena sudah tau apa yang telah kau perbuat?” Habin dan Jonghyun sontak menoleh kearah Minho. Jonghyun menyipitkan matanya.

“Apa maksudmu?” tanya Jonghyun bingung. Minho hanya menjawabnya dengan sebuah seringaian.

Habin menghela napas, ‘Mengapa Minho selalu saja bersikap seperti ini bila berada di dekat Jonghyun?’

Habin menggerakkan tangannya untuk mengambil gelas berisi air minum yang berada di atas meja di dekat posisi Jonghyun duduk tapi tangan Habin malah mendorong gelas itu hingga pecah karena jatuh ke lantai keramik kantin. Suara gelas peceh itu membuat semua pasang mata di kantin menatap kearah mereka.

Ah, pabo saram.”

Habin buru-buru membersihkan serpihan beling dari gelas tadi. Jonghyun yang tidak tega beranjak dari kursi dan membantu Habin.

“Biar aku saja yang membersihkannya, nanti jarimu bisa terluka.” Jonghyun berusaha menghentikan Habin.

“Tapi ini ulahku, biar saja aku yang– aww!” Habin meringis kecil dan menekan jari manisnya dengan jari dari tangan yang lain untuk menghentikan darah yang keluar.

“Sudah kubilang biar aku saja. Lihat, jarimu terluka kan.” Jonghyun menarik jari manis Habin dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Mata Habin membulat. Minho pun kaget dengan tindakan Jonghyun. ­Yeoja-yeoja di sekitar mereka mulai berbisik-bisik dan menatap Habin sinis.

Jonghyun mengeluarkan jari Habin dari mulutnya. “Apa masih sakit?” tanyanya pada Habin namun Habin hanya bergeming.

Minho yang sudah sangat kesal segera beranjak dari tempat duduknya dan meraih lengan Habin dan menariknya berdiri. “Kajja.” Minho turun ke pergelangan tangan Habin dan menariknya menjauhi tempat itu tapi Habin menahannya. “Aku belum membersihkan serpihan beling itu Minho. Aku yang memecahkannya tadi.” Habin berusaha melepaskan tangannya dari Minho tapi Minho menggenggamnya lebih erat.

“Dia sudah menawarkan diri membersihkan serpihan itu bukan?”

“Geundae–“

“Sudahlah, ayo pergi dari sini.” Minho menarik Habin paksa menjauhi tempat itu. Jonghyun menghela napas untuk menenangkan diri atas tindakan Minho tadi lalu membersihkan serpihan itu perlahan. “Kau berlebihan Minho,” benak Jonghyun. Seusai membersihkan semua serpihan, Jonghyun kembali ke kelasnya.

-Habin POV-

Minho menarikku paksa menjauhi kantin. Raut mukanya terlihat kesal. Rahang yang mengeras, mata yang seperti menyorotkan kebencian, serta bibir yang terkatup rapat menjadi buktinya. Cengkramannya di pergelangan tanganku juga sebenarnya terlalu kuat, mungkin akan meninggalkan bekas merah saat dia melepaskan tangannya nanti.

Diam-diam aku masih tidak enak dengan Jonghyun. Yang seharusnya membersihkan serpihan itu aku, bukan Jonghyun. Aku pun masih bingung dengan sikap Minho. Sebenarnya ada apa diantara mereka berdua?

“Minho, lepaskan tanganku. Neon waegeurae? Serpihan tadi belum selesai aku bersihkan!” Aku mencoba menarik tanganku dari genggaman Minho. Minho menghentikan langkahnya dan noleh kearahku. Tatapannya begitu dingin. Aku tau ia memintaku untuk diam, meskipun bibirnya masih terkatup rapat.

“Kau tidak bersikap seperti biasanya, kau sadar akan hal itu?” tanyaku sekali lagi, berusaha memancing alasan dari tingkahnya ini untuk keluar dari mulutnya.

Bukan menjawabku, dia menarik tanganku lagi namun kali ini sedikit lebih kasar. Aku meringis karena rasa sakit pada pergelangan tanganku mulai terasa. Kucoba memberontak, tapi Minho tetap tidak menanggapinya. Minho menarikku menyusuri koridor.

“Minho! Lepaskan tanganku. Jebal, apa-yo.”

Minho mendorongku hingga tersandar di tembok dengan kasar. Orang-orang di sekitar koridor melihat kearah kami. Mata Minho masih sedingin tadi. Rahangnya pun masih mengeras. ‘Ada apa dengannya?’

“Minho neo–“

“Kau ingin tahu aku kenapa? Dengarkan aku baik-baik.” Minho meletakkan kedua tangannya di samping kepalaku.

“Jauhi Jonghyun. Mulai sekarang ini kau tidak boleh berinteraksi dengannya.”

Mwo?? Apa hakmu melarangku berteman dengannya?” balasku tak terima. Minho menghela napas panjang dan berat. “Kau mau mendengarkanku, kan?” Raut wajahnya kini terlihat sedih. Pandangannya pun sudah tidak dingin seperti tadi lagi.

“Geundae.. Wae? Tidak biasanya kau seperti ini.”

Masih dalam posisi yang sama Minho memejamkan matanya sejenak, lagi-lagi dia menghela napas panjang dan berat lalu tiba-tiba Minho menunjuk sudut kanan bibirnya yang memar. ‘Ah ya, mengapa aku bisa dengan luka itu?’

Wae? Mengapa kau menunjuk lukamu itu?” tanyaku bingung. Minho membuka matanya dan menatapku. “Dia yang melakukannya, kau tidak tahu itu kan?”

Tubuhku menegang. ‘Jonghyun? Tidak mungkin! Apa yang terjadi sebenarnya?’

“Juga apa kau tidak sadar? Jonghyun itu sangat populer di sekolah ini. Dia pun memiliki banyak penggemar yeoja dan rata-rata mereka itu obsesif. Hal buruk bisa saja terjadi padamu kalau kau terus berdekatan dengannya.”

Aku memutar otak berusaha mencari kata-kata yang tertelan oleh kata-katanya. Mengapa Minho begitu perhatian kepadaku?

Terdiam begitu lama akhirnya aku membuka mulutku. “Tenang saja Minho, tidak akan ada apa-apa,” ucapku menenangkan Minho.

“Geundae, neo–“

Gwenchana. Terimakasih sudah mengkhawatirkanku, tapi aku yakin tidak akan ada apa-apa.”

Minho hanya terdiam. Aku menggenggam tangannya yang berada di samping kepalaku dan mendorongnya perlahan agar aku bisa terbebas dan meninggalkannya terpaku disana.

* * *

-Author POV-

Seperti biasa, aku sore ini bekerja di café hingga malam hari nanti. Tak begitu banyak tamu yang datang sore ini. Sehingga para staff mempunyai waktu untuk beristirahat sejenak. Habin yang sedang membersihkan meja menoleh kearah pintu masuk karena suara gemerincing dari lonceng yang dipasang disana berbunyi.

“Selamat datang! Ah, Jonghyun?” Pria familiar dengan tinggi rata-rata berada di pintu masuk saat ini.

Mwo?? Habin, apa yang kau lakukan disini? Tunggu… kau bekerja disini?”

Jonghyun menghampiri Habin dan memilih untuk duduk di meja yang baru saja selesai Habin bersihkan. Ia menatap Habin dengan posisi menopang dagu dengan punggung telapak tangannya dan siku yang digunakan sebagai tumpuan diatas meja.

 “Habin, kau bekerja disini?” Jonghyun mengulang pertanyaannya.

Ne, kau ingin memesan apa Jonghyun?” tanya Habin langsung to the point.

“Buru-buru sekali, ck. Aku ingin menu spesial hari ini.”

Mata yang membentuk puppy-eyes berbinar dan senyuman lebar terukir diwajah Jonghyun saat mengatakan pesanan kepada Habin. Habin mengeluarkan buku catatan dan menggerakkan pulpen diatas kertasnya mencatat pesanan Jonghyun.

“Hmm, apa ada tambahan lain?” tanya Habin memastikan.

“Sepertinya tidak.”

Habin menarik kertas yang baru saja kutuliskan pesanan sehingga terpisah dari cangkangnya.

“Baiklah, tunggu sebentar ya.”

Habin pergi ke dapur untuk memberikan lembar pesanan pada koki disana. Beberapa staff melihatnya dengan senyuman jahil. Habin menatap mereka heran.

“Habin, apa dia itu tamu spesial?” goda salah seorang staff. Muka Habin perlahan memerah.

“Ti–tidak, kami hanya berteman biasa.” Habin segera berjalan menjauhi dapur sebelum mereka semakin menggodanya.

“Mereka berpikir terlalu jauh,” pikir Habin.

* * *

-Habin POV-

Aku kembali ke meja Jonghyun dengan membawa menu spesial hari ini sesuai dengan pesanannya diatas nampan.

“Menu spesial hari ini, salmon panggang dengan taburan jagung manis juga blue ocean dengan campuran carnberry serta perasan lemon. Silahkan menikmati~”

Kulihat matanya yang berbinar dengan makanan yang baru saja kuhidangkan diatas mejanya. Perlahan dia mengiris daging salmon itu dan memasukkannya kedalam mulut. Dia terlihat begitu menikmati hidangannya.

“Dia yang melakukannya, kau tidak tahu itu kan?”

“Juga apa kau tidak sadar? Jonghyun itu sangat populer di sekolah ini. Dia pun memiliki banyak penggemar yeoja, dan rata-rata mereka itu obsesif.”

“Jauhi Jonghyun. Mulai sekarang ini kau tidak boleh berinteraksi dengannya.”

Kata-kata Minho bermain-main di kepalaku lagi. Aku tidak yakin dengan kata-katanya namun aku pun tidak bisa menyangkalnya. Aku tidak tahu apa yang telah terjadi.

Ah, neomu mashita.” Ucapan Jonghyun membuatku tersadar dari pikiranku.

‘Apa sebaiknya aku tanyakan saja pada Jonghyun tentang yang sebenarnya terjadi diantara mereka berdua?’

“Habin, mengapa kau terus berdiri disitu? Apa kau ingin melihatku sampai selesai makan? Kekeke,” canda Jonghyun sebelum dia kembali menyantap irisan ikan salmon yang tergeletak diatas piring.

“Umm, Jo–Jonghyun…”

Dia menoleh kearahku dan menaikkan kedua alisnya. Hatiku masih bimbang, haruskah aku bertanya atau kubiarkan saja mereka berdua? Sepertinya pilihan terakhir terlalu kejam, tapi pilihan pertama bisa saja membawaku masuk ke dalam lingkup permasalahan mereka. Tapi mungkin pilihan pertama lebih baik karena sikap Minho terhadapku belakangan ini. Aku menghela napas panjang untuk meyakinkan diriku sebelum membuka mulut

“Bo–bolehkah aku bertanya sesuatu?”

Ne, tentu saja.”

Aku duduk di depan Jonghyun dan memutar otak untuk menyusun pertanyaan-pertanyaan yang akan aku lontarkan.

“Ini… tentang kau dan Minho.”

Jonghyun berhenti mengiris daging salmonnya.

“Apa yang ingin kau ketahui?”

Nada bicaranya tiba-tiba menjadi dingin, sepertinya bukan masalah kecil yang berada diantara mereka. Aku berdeham kecil sebelum melanjutkan kalimatku.

“Kulihat sudut bibir Minho berdarah, apa benar kau yang memukulnya? Mengapa? Sebenarnya ada apa diantara kalian berdua?” tanyaku panjang lebar.

“Itu…”

“Kau bisa menjawab jujur Jonghyun, aku heran mengapa raut muka maupun tindakan kalian berubah setiap kalian berdua bertemu.”

Jonghyun terdiam sebentar, sebelum membuka mulutnya lagi.

“Umm a–aku…”

“Aku memang memukulnya. Tapi, karena dia yang terlebih dahulu membuat emosiku naik.”

Aku semakin tidak mengerti apa yang sedang terjadi.

“Lalu, sebenarnya ada apa antara kau dan Minho?”

Jonghyun bergeming. Dia terdiam cukup lama sebelum menyeruput blue ocean miliknya.

“Sejujurnya, sku sedang tidak ingin membahas masalah ini. Tentang sikap Minho, mungkin dia hanya perlu penyesuaian.”

Jonghyun kembali menyantap salmonnya. ‘Sebaiknya aku tidak mengganggu nafsu makannya.’

Ya, Habin. Mengapa masakan ini tidak dihidangkan setiap hari saja? Rasanya sangat enak,” dengus Jonghyun.

‘Dia benar-benar tidak ingin membahasnya. Tapi, aku yakin dia tidak seburuk yang dikatakan Minho.’

“Kau katakan saja pada managernya, aku kan hanya staff.” Aku terkekeh.

“Kalau begitu, apa kau bisa memanggilnya kesini?” pintanya dengan memasang puppy-eyes.

“Bisa saja, tapi sayangnya hari ini dia tidak datang,” ucapku sebelum beranjak dari kursi si depan Jonghyun.

“Dan, kalau kau ingin menyantapnya lagi silahkan datang minggu depan.”

Aku berjalan–meninggalkannya–menuju dapur sambil terkekeh kecil.

‘Ya, aku yakin dia tidak seburuk yang dikatakan Minho.’

* * *

-Author POV-

Habin menutup lokernya di ruang ganti seusai mengganti pakaiannya. Habin melangkah keluar dari ruangan itu menuju pintu masuk café. Dia mendapati Jonghyun berdiri menyandar ke tembok didekatnya.

“Kau belum pulang Jonghyun?”

Habin menyipitkan matanya. “Untuk apa Jonghyun disini? Menungguku? Apa dia tidak kedinginan berdiri di luar dalam udara malam seperti ini?” batin Habin.

Jonghyun berjalan menghampiri Habin. Habin yang sedang berada bersama pikirannya tidak menyadari bahwa Jonghyun sudah berada di depannya. Jonghyun melambai-lambaikan telapak tangannya di depan wajah Habin agar Habin menyadarinya.

“Melamun, huh? Apa kau melamunkanku? Kekeke,” ejek Jonghyun.

“Ti–tidak. Tapi apa yang kau lakukan disini malam-malam begini?”

Jonghyun menarik tangan Habin pelan, dan berjalan menjauhi café.

“Aku, hanya ingin jalan-jalan di sekitar sini. Belum terbesit keinginan untuk pulang ke rumah. Dan pemandangan kota kalau malam memang indah dengan lampu penuh warna. Sayang kalau dilewatkan,” jelas Jonghyun panjang-lebar.

“Benar juga, tapi aku jarang bisa pergi malam-malam karena tidak tau harus mengajak siapa dan pergi kemana. Aku benar-benar masih buta akan daerah sini.”

“Kau bisa mengajakku kapan-kapan.” Jonghyun menawarkan diri.

“Ya, mungkin nanti di lain waktu,” jawab Habin sambil terkekeh.

“Kukira malam ini kau bisa.” Jonghyun mendengus karena tak sesuai dengan apa yang ia harapkan. Habin menghentikan langkahnya. Sontak Jonghyun pun ikut berhenti.

“Jadi kau berdiri di depan café itu untuk menungguku dan mengajakku berkeliling??”

“Tadinya,” jawab Jonghyun. “Jadi, kau bisa atau tidak?” lanjutnya.

Habin berpikir sejenak, ‘Apa Jyorin sudah sampai apartemen?’. Habin mengeluarkan ponselnya untuk melihat jam. “Masih jam 8… mungkin dia akan pulang ke apartemen 2 jam lagi, hari ini kan malam minggu,” pikir Habin.

“Jadi?” tanya Jonghyun yang sedari tadi terdiam.

Habin menatap sekelilingnya lalu kembali menoleh kearah Jonghyun. “Kajja.” Senyum merekah–menghiasi wajahnya.

Habin dan Jonghyun berjalan menyusuri trotoar jalan sambil berbincang-bincang mengenai banyak hal, bertukar pendapat pada topik masing-masing, juga bercanda ria. Senyuman dapat terlihat dari wajah keduanya yang sedang diliputi rasa senang.

“Jadi kau mengejar beasiswa kesini untuk mencari keluargamu?” tanya Jonghyun dengan rasa penasaran.

 “Seperti itu lah, tapi aku menyukai keadaan disini. Indah dan membuatku nyaman.” Habin menutup matanya dan menarik napas dalam-dalam–menikmati udara malam yang sebenarnya cukup dingin.

“Lalu, apa setelah kau menemukan keluargamu kau akan pergi dari sini?”

Habin menghentikan langkahnya, raut wajahnya terlihat sedang berpikir. Lalu ia membuka mulut.

“Mungkin.” Habin menggerakkan kepalanya untuk menatap langit yang bertabur bintang di atasnya. “Tapi lihat kondisi nanti,” lanjutnya.

Jonghyun mendengus, “Aku akan sangat sedih jika kau pergi.”

Habin yang terkaget menatap Jonghyun dengan mata membulat. Jonghyun pun sama kagetnya, bagaimana kata semacam itu keluar dari mulutnya?

“­Mi–mianhae, aku tak bermaksud–“

Ne, gwenchana. Semua orang pun akan merasa sedih ketika bertemu dengan kata perpisahan,” tanggap Habin.

Habin dan Jonghyun melanjutkan perjalanan mereka hingga sampai di tepi sungai Han. Angin yang cukup kencang tidak cukup mengganggu mereka menikmati keindahan yang ada. Habin menggenggam pagar pembatas yang terbuat dari besi. Dingin. Tapi Habin menikmatinya.

Jonghyun pun sama menikmati pemandangan kota Seoul di depan matanya.

Yeppeoseo,” ucap Habin.

“Karena itu aku menyukainya,” tanggap Jonghyun.

Senyuman masih mengisi wajah mereka berdua. Hingga tak sadar seorang namja sedang berjalan menghampiri mereka.

YA!” pekik namja itu.

Habin dan Jonghyun menoleh ke sumber suara.

Mata Habin membulat. “Mi–Minho? Apa yang kau lakukan disini?” tanya Habin. Badannya agak bergetar ketakutan dengan ekspresi Minho yang saat ini benar-benar sedang dilanda emosi. Minho menarik tangan Habin kasar menjauhi tempat itu. Habin meringis dan memberontak tapi tenaganya tak cukup kuat. “Ya, Minho! Lepaskan aku!” bentak Habin. Jonghyun berusaha membantu Habin melepaskan tangannya dari genggaman Minho tapi Minho melayangkan sebuah pukulan ke wajah Jonghyun. Habin memekik karenanya.

Minho-ya! Geumanhae jebal…” Habin berusaha memberontak lagi tapi tetap nihil.

Ya! Jangan kasar pada yeoja!” Jonghyun bangkit dan menghajar Minho. Tangan Habin tertarik dan terlempar hingga lengan kirinya membentur pagar pembatas lumayan kencang. Habin meringis-memegang lengannya yang sakit.

Minho bangkit dan menghajar Jonghyun berkali-kali. “Jangan pernah berbicara seakan kau tidak pernah salah. Kau sudah melakukan yang lebih parah dari ini!” bentak Minho dan memukul Jonghyun lagi. “Minho geumanhae!” pekik Habin. Habin berusaha menarik tangan Minho agar berhenti memukuli Jonghyun. Dan Minho mencengkram tangan Habin lagi.

“Jangan mendekatinya lagi atau aku akan melakukan lebih dari ini! Camkan itu!” bentak Minho pada Jonghyun sebelum menarik Habin menjauhi tempat itu–menjauhi Jonghyun yang masih tergeletak ditanah dan memegangi perutnya dan terbatuk berkali-kali.

Air mata Habin jatuh meliuk dipipinya karena melihat kejadian tadi. Lengannya pun masih terasa sakit akibat benturan tadi. Telapak tangannya digunakan untuk menutupi mulutnya agar suara isakkannya tidak didengar Minho.

“Minho! Kau ini sebenarnya kenapa? Mengapa kau melarangku untuk berinteraksi dengannya?!” tanya Habin penuh emosi dengan suara seraknya akibat menangis. Tangannya masih ditarik paksa oleh Minho.

Ya Minho! Apa-yo! Lepaskan aku!” Habin memberontak lagi. Minho yang merasa kesal mencengkram lengan Habin kuat. Habin meringis lagi karena rasa sakit pada lengannya yang belum mereda kini tertekan olah jari Minho.

“Sudah kubilang kan?! Jauhi dia! Mengapa kau begitu keras kepala Lee Habin??” Bentak Minho. Rahangnya mengeras. Air mata Habin keluar lagi dan terlihat oleh Minho. Minho mengusap pipi Habin–menghentikan aliran air matanya. Raut muka Minho berubah perlahan karena melihat mata Habin yang sembab dan wajahnya yang meringis kesakitan.

Mianhae Habin-ah, aku tidak bermaksud menyakitimu. Aku pun– Bukannya aku ingin egois, tapi… aku hanya tak ingin terjadi sesuatu padamu,” jelas Minho yang berusaha meredam emosinya. Habin hanya bergeming. “Dan sebenarnya aku masih punya 1 alasan lagi untuk menyuruhmu menjauhinya.”

“Aku tak peduli Minho. Kau terlalu berlebihan. Kau terlalu posesif.” ucap Habin.

Minho mengangkat dagu Habin lembut agar Habin menatapnya. “Aku tidak berlebihan Habin. Mungkin bagimu aku berlebihan.” Minho menarik napas panjang. “Tapi apa kau masih akan berpikiran sama jika kau tahu… Jika kau tahu bahwa dia itu adalah seorang pembunuh?“ Minho melanjutkan kata-katanya. Habin mengerutkan keningnya–tidak mengerti dengan apa yang Minho katakan.

“Habin… adikku… lebih tepatnya, adik kandungku… dia meninggal tahun lalu karena dibunuh… dan Jonghyun…” Rahang Minho mengeras lagi. “Dan Jonghyun adalah pelakunya.” Habin menatap Minho tidak percaya. Minho memutuskan untuk menceritakan kejadian yang ia alami.

-Flashback–Minho POV-

Aku baru saja sampai rumah. Tapi tidak ada tanda-tanda Sunhi –dongsaeng­-ku– disini. Ini tidak seperti biasanya. Senyuman gembira darinya tidak menyambut kepulanganku hari ini. Kupanggil namanya dan mencarinya ke setiap ruangan di rumah ini tapi nihil. Dia tidak ada. Apa dia masih bersama Jonghyun? Tapi tidak biasanya dia tidak berada di rumah pada jam segini.

Kurogoh saku celanaku untuk mengambil ponsel dan menghubunginya. Tapi ponselnya tidak aktif.

Kucari kontak Jonghyun dan menekan tombol ‘panggil’.

Jonghyun menjawab panggilanku dengan suaranya yang serak, gaya bicaranya yang tergagap.

Firasat buruk mulai menyelimutiku.

Begitu aku tahu dia masih berada di sekolah Sunhi, tanpa pikir panjang aku berlari keluar –kearah motor– dan pergi menuju sekolah Sunhi dengan kecepatan yang mungkin mencapai diluar batas kewajaran.

Tidak peduli dengan apa yang akan terjadi pada diriku, pikiranku hanya tertuju pada Sunhi dan kejadian apa yang menimpanya.

Padahal ini sudah sore, tapi kulihat masih banyak murid serta beberapa polisi dan sebuah mobil ambulan begitu sampai disana. Murid-murid itu menyebut-nyebut nama… tunggu… kedengarannya seperti Choi Sunhi?

Badanku menegang. Pupil mataku bergerak menuju kerumunan orang.

Aku berusaha menembus kerumunan itu, dan kulihat seorang yeoja tergeletak tak berdaya di tanah. Ku lihat yeoja itu dengan seksama.

“Sunhi???” teriakku kaget. Jantungku berdebar kencang. Kugerakkan tanganku yang gemetar untuk mengangkat tubuhnya. Setetes cairan bening keluar dari mataku.

Kondisinya benar-benar mengenaskan. Kepala yang masih mengeluarkan darah segar, seragam sekolah yang sudah dipenuhi bercak darah, tangan dan kaki yang dipenuhi memar dan luka, mukanya yang pucat dan tak sadarkan diri.

Air mataku mengalir deras dan berteriak histeris. Aku tidak mau kehilangan adikku secepat ini. Polisi berusaha menarikku dan membantuku berdiri. Beberapa perawat bekerja sama memasukkan tubuh Sunhi ke dalam ambulan.

Diam, aku tidak tahu harus melakukan apa. Pikiranku kacau. Aku mendongak melihat pagar rooftop yang rusak. Pandanganku tertuju pada seseorang diatas sana –di dekat pagar itu –.

Aku berlari menghampirinya. Menaiki tangga yang entah berapa anak tangga yang kuinjak. Dan astaga, hanya ada Jonghyun sendiri disana berdiri disana –membelakangi ku–. Pikiranku semakin kacau. Dengan langkah gemetar kuhampiri dia lalu menarik bahunya –agar mengarah kepadaku–. Mukanya pucat sekali.

“Apa yang terjadi?” Aku mengguncang-guncangkan tubuhnya. Dia menunduk dan menggelengkan kepalanya. Kuperhatikan tangannya yang dipenuhi bercak merah. Dan tak jauh dari tempat aku dan Jonghyun berdiri, terdapat cairan merah pekat yang tergenang di lantai.

Aku terkesiap. Aku menarik kerah kemeja Jonghyun kasar.

“Jawab aku! Apa yang telah terjadi?! Apa yang sudah kau lakukan!” Emosi menguasai diriku. Akal sehat tidak mampu membantuku berfikir. Tanpa basa-basi kulayangkan tinjuku pada Jonghyun berkali-kali hingga dia terjatuh dan tak mampu berdiri.

“Apa yang sudah kau lakukan padanya, brings*k!” geramku. Kaki yang menahan badanku bergetar hebat pun melemas. Air mataku menetes lagi karena tak kuasa kutahan.

“CHOI SUNHI!!” aku berteriak sekencang-kencangnya berharap waktu akan mundur.

-Flashback END-

Mata Habin terbelalak tak percaya mendengar cerita Minho. Mulutnya terkatup rapat tak dapat mengatakan apa-apa. Kerongkongannya terasa kering.

‘A–apa? Jadi Jonghyun…’

~*To be Continued*~

Gimana? Ada typo? Cerita ga nyambung? Ada part yang kurang jelas? Sekali lagi tolong komentar ya reader 🙂 Jeongmal kamsahamnida udah mau baca. Sampai bertemu lagi di ff selanjutnya 😀

 

Bagi yang lupa atau belum tau cerita sebelumnya~

Part 1 >>> disini

Part 2 >>> disini

©2011 SF3SI, Freelance Author.

Officially written by ME, claimed with MY signature. Registered and protected.

This FF/Post legally claim to be owned by SF3SI, licensed under Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License. Permissions beyond the scope of this license may be available at SHINee World Fiction

Please keep support our blog, and please read the page on top to know more about this blog. JJANG!

Advertisement

7 thoughts on “Let Me Love Him – Part 3”

  1. aah, agak lupa ini cerita yg mana, mian Hima, mungkin karena sudah lama..

    Jjong-Sunhi pacaran?
    belum keliatan jelas apakah Jjong-Habin saling suka atau nggak..
    Di sini Minho cemburuan banget ya.. 😉

    Ok Hima, ditunggu part selanjutnya.. jangan lama2 ya.. 🙂

    1. Iya, baru dapet inspirasi lagi di bulan ini. mianhae ㅠㅠuntuk part yang selanjutnya aku usahain ga terlalu lama~
      Jjong sama Sunhi itu pacaran 😉
      Jjong-Habin baru tertarik satu sama lain disini hehehe
      Kamsahamnida udah baca 😀

  2. Ndy… aku ga jd tidur nih, inget blom namatin ff ini.
    Aku mau muji dulu, part ini udah lbh baik drpada part 1 dan 2, narasinya juga udah agak banyakan.

    Waktu baca ini, aku mikir, lah knp minho ga mastiin klo jjong beneran ngebunuh adenya? Knp Jjong ga diperiksa poolisi klo minho emang curiga ama jjong? Trus udah aja gitu kasus pembunuhan macem itu dibiarin?

    Dan, pagar pembatas di sungai Han emangnya tinggi ya sampe bisa setara ama lengan? Klo yg pernah kuliat digambar mah pendek, apa krn gambarnya dr jauh ya?

    Ndy, semangat yah nulisnya… ayo dieksplor lagi narasinya. Soalnya aku suka aneh aja klo liat scene2 pendek. Fighting, pasti ntar makin oke!

    1. Hehehe gomawo eonni 🙂 tapi masih tetep banyak kurangnya –v

      Boleh aku jawab? Kekeke
      Pertama tentang kasus adiknya Minho, kenapa Minho ga lapor ke polisi dan selidiki kasus ini lebih jauh? Kasus ini masih misteri eonni, yg ditulis di part ini belum detail, baru dari sisi Minho kan yang ditulis 😉 Gimana kalo dari sisi Jonghyun? Atau apa ada pihak lain yang jadi ngeliat kejadiannya langsung? Semua masih misteri hehehe

      Kedua tentang Sungai Han, aku pernah browsing tentang Sungai Han, di fotonya ada orang (bukan anak kecil tapi) yg berdiri di deket pagar pembatas gitu dan tinggi pagarnya sekitar antara dada sama pinggang orang itu. Tadi aku browsing lagi, ternyata yg aku liat itu pagar pembatas salah satu jembatan di sungai Han. Jadi aku salah informasi. Lain kali aku lebih hati2 kalo masukkin detail suasana. Gomawo eonni kritiknya 😀

      Masih banyak yg perlu aku koreksi lagi hehe, aku masih lemah banget dalam nulis scene, kadang suka bingung manjanginnya gimana hehe, tapi aku lagi banyak baca cerita2 dari novel sama fanfic lain, semoga setelah ini tulisan aku bisa lebih meningkat lagi 🙂

      Jeongmal gomawo eonni~

Give Me Oxygen

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s