[WFT D] Lotus [1.3]

 Tittle                  : Lotus

Author                : Lee Hana

Main cast            : Lee Taemin and Cha Yoonha

Support cast       : Kim Kibum

Genre                 : School Life, Hurt and Romance

Length                : Sequel

Rating                 : PG

“Tuhan, jika kau memang benar ada, maka biarkanlah aku melihat Yoonha dalam keadaan yang bahagia.

Note                   : Terinspirasi dari bacaan tentang kehidpan sekolah Korea yang Ekstrem, dan bagaimana kehidupan orang muslim di sana sebagai minoritas.

*Lotus*

Aku memandangi seorang gadis dengan wajah tenangnya, atau haruskah aku mengatakan wajah sendu yang ia tutupi dengan sedikit senyuman tipis? Entah apa yang merasuki hatiku, aku seperti melihat setangkai bunga, dan aku pikir dia memanglah bunga …, ‘teratai’. Sebuah bunga yang terlalu putih di antara kubangan lumpur yang begitu keruh. Ya, memang begitulah, semakin keruh kubangan lumpur itu, maka akan semakin cerah warna sang bunga. Namun, bukankah itu sebuah kemalangan?

Aku pikir aku hanyalah seorang Lee Taemin. Seorang siswa biasa yang sedikit tidak beruntung. Tidak beruntung? Sudahlah, semua orang begitu, merasa tak puas dengan kehidupannya dan selalu menuntut lebih. Aku hanya ingin pergi dari kehidupan sekolah yang memuakkan ini. Bagiku, ini bukan sekolah, hanya penjara yang menjadikan kami para siswanya sebagai pelampiasan obsesi pemerintah yang ingin mejadikan negara ini jauh lebih maju. Lebih dan lebih. Kami seperti robot input data. Kehidupan kami dijejali dengan buku serta hapalannya. Sungguh, aku ingin meledak sekarang juga!

Tetapi, bagaimana bisa? Bagaimana bisa ia sekuat itu? Tak hanya memiliki beban buku seperti kami, tetapi …, teman satu sekolah—tidak termasuk aku—yang terus saja memberikannya masalah. Kau tahu kenapa aku menyebutnya teratai? Karena kami para lumpur itu, dan dialah teratai itu. Sayangnya, di kubangan kecil ini, dialah satu-satunya teratai yang tumbuh. Teratai putih kecil yang terlihat rapuh namun kuat. Ketika melihat teratai itu, entah …, aku benar-benar tak tahu, perasaan macam apa yang bergejolak di hatiku. Teratai yang melukis kesenduan dengan tatapan yang tenang. Padahal, dia datang dengan senyuman cerah di musim paling indah yang pernah ada, musim di mana bunga akan tumbuh dan mekar…, musim semi.

Bahkan kini aku melihatnya tengah diganggu …, lagi. Mungkin, aku terlalu sering melihatnya. Dan, mungkin …, dia selalu menarik perhatianku. Karena itu, aku menjadi kasihan padanya akhir-akhir ini. Tetapi, meski begitu, tetap saja ….

“Yah, kau sombong sekali, sih?! Kami hanya ingin melihatnya saja!”

“Tidak boleh!”

“Kau botak, ‘kan? Jujur saja!”

“Aniyo!!

“Aku bilang buka, ya, buka?! Kau tidak mengerti bahasa manusia?!!”

“Aku bilang ti—AARGH!!”

Ya, kini jeritannya sampai pada hatiku. Padahal aku dengan jelas melihatnya dengan mata kepalaku, tepat di hadapanku—di persimpangan lorong ramai ini dengan lorong kosong itu—mereka mem-bully-nya lagi. Tapi, rasanya ini terlalu keterlaluan. Namja itu menarik penutup kepalanya hingga dia menjerit kesakitan, hanya karena ia ingin melihat apa yang ada di balik kain putih itu bukan berarti dia bisa melakukan itu seenaknya. Meskipun sejujurnya aku tak menyangkal, aku—ingin—melihatnya—juga. Dan sekarang aku menyesali memiliki hasrat itu. Keingintahuan yang harus dibayar dengan tangisan. Ya, dia menangis sekarang.

Aku melihat genangan bening itu di pelupuk matanya. Keluar sedikit demi sedikit seperti bendungan yang tengah dilanda banjir bandang kuat. Aku pikir rasa sedihnya itu terlalu kuat, atau dia marah, karena itu dia menangis? Karena marah dia mengambil kainnya kembali dengan kasar dan berujar “Puas?!” dengan nada yang cukup tinggi. Berlari dengan wajah yang ia tutupi. Ditutupi dengan kain—yang biasanya ia gunakan untuk menutupi kepalanya—karena malu akan air matanya sendiri. Dia berlari ke arahku. Tidak. Dia berlalu melewatiku.

Apa kami puas? Kami telah melihat apa yang selalu orang-orang satu sekolah ingin lihat. Apa yang ada di balik penutup kepalanya, rambutnya yang hitam, panjang, dan indah. Apa aku puas? Tidak! Sedangkan orang itu, aku tidak bisa menebak mimik itu. Aku hanya mengerti bahwa ia tengah terpaku diam dalam beberapa waktu yang ia lewati bersama dua pengawal bodohnya. Kim Kibum, aku tidak bisa mengerti anak itu. Aku hanya tahu bahwa aku jengah dengan ekspresinya yang suka berjalan dengan mengangkat dagu, dan selalu saja melakukan sesuatu yang ia suka tanpa harus memikirkan konsekuensinya. Bagaimanapun juga, dia adalah anak dari penyumbang dana terbesar di sekolah ini, Seoul National School.

Kini, lagi-lagi dia berjalan dengan caranya itu, seperti tanpa dosa. Melewatiku tanpa memandangku sama sekali, meskipun aku memandangnya dengan tatapan tak suka, tampaknya itu bukan masalah sama sekali untuknya. Dia benar-benar hebat. Benar-benar hebat dalam membuat masalah, karena itulah tak banyak anak yang menyukainya. Sekalipun ada, itu hanya mereka yang mengharapkan sesuatu seperti uang atau apapun yang mereka pikir lebih berharga dari sebuah harga diri. Sejujurnya, Kibum bukanlah orang yang bisa dengan mudah menghargai. Mereka yang mendekati Kibum hanya memakai topeng mereka saja.

Dan aku tetap teguh dalam posisiku. Tanpa bergeser atau melangkah. Hanya terdiam sebentar pada tempat yang terlihat kosong—tempat yang menjadi saksi bisu kejadian yang baru saja berlalu di depan mataku—dan tanpa sengaja menangkap sebuah kuncir rambut berwarna terang tergeletak pada lantai marmernya.

Tetap saja …. Tetap saja hingga detik ini aku hanya berperan sebagai penontonnya. Aku hanya menonton dan tak melakukan apapun. Aku, mungkin …, terlalu egois karena berusaha untuk acuh? Aku menyesali sekali lagi diriku, bahwa aku tak mampu. Tak mampu merubah hidupku, dan tak mau pula berusaha sedikit lebih keras. Mungkin …. Huft! Aku lupa, aku bahkan belum mencobanya. Aku belum berusaha …, sedikitpun.

____

Bersandar pada tembok putih di samping sebuah pintu kayu berwarna cokelat tua; ujung kakiku menghentak pada lantai marmer koridor sepi dan sunyi, menimbukan bunyi ketukan kecil; wajahku menatap bosan benda di tanganku dan sesekali mengintip dari celah kecil pintu yang di dalamnya terdapat seorang gadis. Sebuah ruangan dengan ruangan besar dengan lantai kayunya yang berkilap ketika diterpa cahaya lampu di atasnya.

Ya, aku memang sedang menunggu. Menunggunya selesai melakukan hal aneh yang tak aku mengerti, dengan pakaian putih yang hampir menutupi seluruh bagian tubuhnya kecuali wajahnya. Menunggu hampir setengah waktu istirahatku. Huft! Benar-benar membosankan. Hal yang paling kubenci dan selalu aku coba untuk menghindarinya, menunggu.

Aku mengintip lagi untuk ke sekian kalinya. Dan, sepertinya ia sudah selesai dengan kegiatannya. Apa sekarang waktunya aku menunjukkan diri? Baiklah, aku sudah berjamur di sini, karena itu aku membuka pintu dan menyapanya, “An—yeong,” ucapku dengan nada tertahan pada suku kata terakhir. Hampir tidak terdengar. Itu karena ketika aku membuka pintu dan menunjukkan diriku di hadapannya, aku malah melihatnya …, ingin tidur di lantai? Aku memandangnya dengan tampang heran, sedangkan ia segera bangkit dengan raut malu.

“Kau—mau—tidur?” tanyaku dengan nada bingung.

“A—aku hanya ingin tidur-tiduran saja. Di sini …, di sini nyaman,” jawabnya kikuk.

Aku melihatnya. Melihatnya yang tampak tak nyaman membuatku sadar bahwa aku harus mengendalikan diriku sekarang. Aku segera membalas jawabannya dengan anggukan lalu menghampirinya. Berdiri di hadapannya dan menyodorkan barang miliknya. Kini tatapannya terlihat takjub kepadaku dan benda yang ada di tanganku. Tatapan yang ia lempar bergantian. Tatapan yang tersirat ekspresi bingung di dalamnya. “Ini milikmu, ‘kan?”

Dia menyambutnya dan berucap, “Gomaweo,” dengan sedikit anggukan. Tetapi aku hanya membalasnya dengan sedikit senyuman kecil, hampir tidak terlihat sama sekali bersamaan dengan anggukan balasannya.

“Emm …, tidak makan siang?”

“Aniyo.”

“Diet?”

“Aniyo.”

“Lalu?

“Puasa.”

“Puasa?”

Oh, baiklah. Satu hal yang lupa aku katakan, sebuah alasan kenapa ia begitu tidak disukai di sini. Semua itu karena dia berbeda, atau sesuatu yang sempat aku anggap sebagai sebuah keanehan. Tidak! Bukan sebuah, tetapi terlalu banyak hingga ia selalu membuat otakku digenangi pertanyaan-pertanyaan seputarnya. Sepertinya tak hanya aku, tetapi kami, kami semua.

Dia, sang teratai memakai pakaian tertutup di musim panas. Dia tak pernah mau menunjukkan apa yang ada di balik penutup kepalanya. Dia selalu mengatakan hal yang tak bisa kami mengerti, yang aku ibaratkan bagai tulisan anak yang baru bisa memegang pinsil. Dia tidak makan daging tetapi memakan ikan, dan dia bahkan menukar waktu istirahat yang bagi kami seperti seonggok emas dengan menghilang dan melakukan hal yang kami tak tahu, atau mungkin tak aku mengerti sekarang ini, karena aku baru saja melihatnya. Dan sekarang, apakah aku harus bertanya apa itu puasa? Mungkin jika mendengarnya aku akan semakin bingung. Karena itu aku hanya terdiam dalam diamku dengan wajah berpikir.

“Aku tak boleh makan dan minum sebelum matahari tenggelam,” ujarnya menimpali.

Hah? Aku mengerti. Tapi kenapa harus menyiksa diri? Karena itu aku hanya tersenyum aneh. Karena itu justru membuatku semakin bingung. Benar, kan, dia membuatku bingung?

“Dari mana kau mendapatkan ikat rambutku?” tanyanya membuyarkan lamunanku seketika.

“Itu terjatuh, ‘kan? Aku memungutnya. Mianhae, aku melihat Kibum tak sengaja menjatuhkannya ketika dia ….” Aku tak mau melanjutkan. Kata-kata selanjutnya rasanya terlalu kasar hanya untuk sekadar diucapkan.

Gomaweo. Lalu, kenapa kau bisa di sini? Atau …, bagaimana kau tahu aku di sini?”

“Hah?!” pertanyaan itu benar-benar membuatku terkejut dan takut.

“Tidak ada yang tahu aku di sini, lagi pula tak ada orang di sini pada jam istirahat, ” ujarnya semakin membuatku tersudut. Itu adalah kata yang tidak terpikirkan olehku ketika menunggunya di sebelah pintu. Sekarang aku tidak tahu bagaimana menjawabnya, karena itu aku meringis seperti orang bodoh. Tentu saja aku tak boleh jujur. Mau dikemanakan harga diriku?

“Kau mengikutiku?”

“Mwo?!”  pekikku dengan mata membulat. “Aniyo~! Te—tentu saja tidak. Aku—aku bukan penguntit!” bantahku pada akhirnya, tetapi dalam sekejap aku tersadar. Aku rasa, reaksiku terlalu berlebihan. Tetapi jujur, kata-katanya benar-benar menghantam jantungku seperti tongkat kasti ketika memukul bolanya. Bagaimana bisa ia mengetahuinya? Ah, aku bahkan benci untuk jujur bahwa kini aku menjadi penguntit. Apa aku berubah aneh? Aku bahkan begitu sadar sekarang, bahwa dia sudah mencuri semua perhatianku. Aku tak pernah tahu aku akan jadi begini, dan aku tak mengerti perasaanku sendiri. Aku mengikutinya hingga ke mari.

“Mianhaeyo!”

Hah? Kini seketika wajahku berubah bingung mendengar lontaran kata-katanya yang terasa seperti siraman air es di teriknya musim panas.

“Aku tidak bermaksud menuduh. Pikiran itu merasuk begitu saja di otakku. Aku tidak bermaksud membuatmu tersinggung. Jeongmal!” lanjutnya seraya membungkuk kepadaku. Aku melihat raut wajahnya yang merasa benar-benar bersalah.

“Em …, tidak—tidak apa-apa,” jawabku dengan kikuk, dan aku merasa dia benar-benar bodoh karena begitu mudahnya percaya padaku.

Dalam perbincangan kaku kami—tiba-tiba saja perutku berbunyi. Di tempat yang sunyi seperti ini suara sekecil itu tentu akan sangat mudah untuk tertangkap indera pendengarnya. Itu memalukan. Membuat gadis di hadapanku menatapiku dan seketika membuat wajahku memerah karena malu. Aku benar-benar malu. Kenapa kau berbunyi di saat seperti ini?

“Kau tidak makan siang?” tanyanya segera.

“Makan? A, ne, araseoyeo. Aku makan siang. Aku baru mau pergi ke kantin. Sampai jumpa,” ujarku hampir tanpa jeda kemudian segera pergi dari hadapannya. Dalam langkahku yang cepat aku terus saja merutuki perutku yang tak bisa tahan untuk tidak berdemo. Tetapi tiba-tiba aku berhenti melangkah karena sesuatu tersirat di otakku, ‘Yah! Kenapa aku tak tanyakan namanya?’

_______

Matahari baru saja meluncur hilang. Warna terang langit sudah menggelap, dari merah menyala menjadi kehitaman. Kerlipan ribuan berlian dilangit mengiringi keluarnya sang raja malam dari persembunyian, tetapi gemuruh di ruang kantin seolah enggan terbawa suasananya. Melenyapkan sunyi senyap yang seharusnya ada. Gurauan, tawa dan celoteh bercampur membisingkan ruang hingga ke tempat tersudut.

Sedang aku yang baru saja mengambil makanan di atas nampan melihatnya tengah makan sendirian. Berdiri diam di tengah orang-orang yang berlalu lalang, menatap satu titik dengan tatapan tenang tanpa sedikitpun pergerakan, karena, kini dialah satu-satunya yang terlihat penglihatanku. Entah sadar atau tidak, kakiku berjalan mendekati sosok yang tengah makan dengan lahap itu. Ia seperti melupakan semua masalahnya, dan begitu serius dengan semua makanan di atas meja besarnya …, sendirian. Melupakan kesepiannya karena diasingkan serta kesakitan karena lontaran kata kasar, cerca, tawa sinis, atau sikap yang benar-benar tak menyenangkan. Semua itu seperti seperti tak pernah terjadi.

Aku berhenti tepat di hadapannya. Menebar senyum tipis yang terus terukir tanpa aku bisa hentikan, karena aku bahagia, entah karena apa. Dia yang menyadari keberadaanku segera menatapku heran. “Boleh aku duduk bersamu?” tanyaku.

Dia mengangguk lalu melanjutkan acara makannya, namun, kini ia terlihat tak nyaman, atau …, dia tak suka aku di sini? Ya, suasananya benar-benar kaku, meski begitu, aku tetap ingin bicara dengannya.

“Bo—boleh aku tahu namamu?” tanyaku yang terlihat gugup. Sebenarnya aku sedikit gengsi dan juga …, malu. Tetapi aku ingin tahu sesuatu tentangnya. Apa aku pernah mengatakan itu sebelumnya? Dia mengendalikan diriku dengan merasuki otakku dan membuatku terlalu penasaran.

“Mwo?!” tanyanya seketika teralih ke arahku setelah sekian lamanya ia menatapi mangkuk nasinya.

“Namamu!” jawabku dengan nada meninggi karena kesal. Karena dia harus membuatku mengucapkannya dua kali. Tidak tahukah ia bahwa sulit untuk mengucapkan itu? Tetapi …, mungkin seharusnya aku tak perlu membentak, ‘kan?

“A, ne. Cha Yoonha imnida.”

“A~,” jawabku kemudian mengangguk, lalu terdiam. Baiklah, seharusnya sekarang dia yang bertanya namaku.

“Maaf, apa kau Lee Taemin?”

Mwo?! Dia sudah tahu namaku?! “Ka—kau tahu namaku?”

Dia tersenyum. “Anak-anak perempuan suka membicarakanmu di kelas, dan …, karena aku sering melihatmu. Aku mendengar mereka menyebut namamu ketika mereka melihat ke arahmu.”

“A, mereka.”

“Ngomong-ngomong terima kasih karena mengembalikan ikat rambutku.”

“Bukan masalah.”

“Tetapi maaf, aku harus pergi sekarang.”

“Mwo? Ta—tapi, kan ….” Kita baru saja mengobrol.

“Tapi aku harus pergi sekarang. Sampai nanti,” ujarnya seraya beranjak dan mulai melangkah pergi dari tempatnya.

“Mau ke mana?” tanyaku membuatnya berhenti sebentar dan menatapku.

“Ke ruang teater,” jawabnya dan benar-benar berlalu.

Ia pergi meninggalkan aku di meja sendirian. Berlalu dengan setengah berlari. Dia memang benar-benar terlihat terburu-buru. Memang apa yang ia ingin lakukan lagi di sana? Baiklah, cukup memikirkannya dan saatnya makan malam.

_______

Di luar sana mungkin jangkrik dan kodok sudah ribut di sekitar rawa. Para hewan nokturnal berkeliling untuk mencari mangsa, sebagian yang lain musti terlelap dalam kelelahannya. Sunyi senyap di pekarangan sekolah bisa aku rasakan hanya dengan melihat dari kaca jendela kelas, itu pun beberapa jam lalu. Aku benar-benar iri dan lelah. Harusnya kami telah berada di atas ranjang yang nyaman seperti yang dilakukan sebagian besar manusia pada belahan bumi yang sama.

Buku dan barang sebangsanya menggelepar di atas meja kayuku asal. Kugunakan sebagai pajangan agar aku tetap terlihat belajar. Tapi, sudah cukup hari ini. Kini aku bahkan tak bisa melihat dengan jelas baris-baris dan deretan huruf serta angka pada bukuku yang terbuka, tetapi tetap kuusahan untuk melihat—dengan mata yang di sekitarnya tergurat garis-garis keletihan—ke arah jam tanganku yang tercatut angka nol nol Sembilan belas. Itu membuatku tersenyum lebar.

Seketika aku membuka tasku dan menaruh semua yang ada di meja ke dalamnya asal. Aku terlalu bersemangat ketika mengingat rumah, meskipun di sana aku harus kembali bergumul dengan buku dan catatanku karena pekerjaan rumah yang harus dikumpulkan dengan segera.

Dan berselang beberapa detik kemudian bel pun berbunyi nyaring. Suara terindah pada hari ini. Membuat seketika kelas yang tadinya ramai menjadi kosong dan menjadikan koridor yang tadinya kosong menjadi penuh sesak dengan anak-anak yang berhambur dari kelas masing-masing seperti lebah yang keluar dari sarang.

Aku berjalan menuju halaman sekolah dan …, aku melihatnya lagi. Ia tengah berjalan di hadapanku tanpa menyadari kehadiranku yang tak jauh darinya. Tapi aku tak mengikutinya, aku hanya terdiam di tempat seraya memandangi punggungnya yang tengah menjauh dariku.

“Oppa!” panggil seseorang riang seraya menepuk pundakku tiba-tiba. Membuatku tersontak dan segera berbalik menatap seseorang yang membuat jantungku melompat kuat. Aku merlihat seorang gadis tengah tersenyum di hadapanku dengan senyumannya yang lebar.

_______

“Masuk. Tidak. Masuk. Tidak. Masuk. Tidak. Masuk.” Langkahku terhenti setelah sejak tadi mondar-mandir dengan tangan yang sibuk mencabuti kelopak-kelopak bunga dandelion yang aku temukan di pekarangan sebuah gedung besar di hadapanku. Kini tak tersisa satu pun. “Baiklah, apa aku harus benar-benar masuk?” gumamku.

Baiklah, aku tak mungkin terus menerus mengotori pekarangan ini dengan patahan-patahan kelopak bunga dan terus-menerus mondar-mandir seperti orang gila sebelum orang-orang yakin bahwa aku benar-benar gila ketika melihat tingkah anehku itu.

Aku mulai melangkah dan menanjaki anak tangga yang lebar berwarna hitam. Sebuah jalan memasuki sebuah gedung yang beratapkan kubah besar berwarna hijau tua; temboknya yang bercat putih dan berpadu dengan warna abu-abu; pintu-pintu yang besar dengan penyanggahnya yang berjejer rapi; serta tulisan yang terpampang di atasnya, yang bahkan aku tak mengerti tulisan apa itu dan bagaimana harus membacanya.

Berada di puncak anak tangga kini aku tahu betapa besar dan megahnya tempat ini. Tempat yang orang-orang di sekitarnya sering menyebutnya sebagai Masjid Itaewon. Katanya ini tempat ibadahnya orang Islam. Seperti gerejanya orang Kristen dan wiharanya orang Budha. Tapi apa yang mereka lakukan di sini? Aku hanya bisa melihat karpet hijau bertebaran dengan tiang-tiang besar yang menyanggahnya. Ya, aku tahu, karena kini aku sudah berada di dalamnya.

Aku memutari tempat tersebut dengan tatapan kagum dengan arsitekturnya yang baru kali ini kulihat. Di sini cukup dingin meski tak ada pendingin ruangan ataupun kipas angin yang menyala. Kenapa bisa begitu? Lalu, beberapa orang aku lihat ada yang duduk saja, ada juga yang tertidur lelap. Rasanya mereka sangat nyaman, dan …. “Akh!” pekikku pada akhirnya seraya mundur karena seorang gadis secara ajaib muncul di hadapanku ketika aku berbalik. Membuat jantungku serasa ingin keluar dari rongganya, dan kini aku masih memegangi dadaku yang berdegup dengan tatapan takjub ke arah pemandangan di hadapanku.

Aku melihatnya, lagi. Kini tengah menatapiku dengan mimik heran. “Apa yang kau lakukan di sini?”

“Aku?” tanyaku seraya menunjuk diriku sendiri. “Hanya lihat-lihat,” sambungku dengan santai.

“Lihat-lihat?”

 “Kau sendiri?” tanyaku padanya dan sejurus kemudian aku melihat beberapa buku dan sebuah tas kecil berada di pelukannya, “Kau …, belajar?” terkaku cepat.

“Ne.”

 

“Ne?!”

“Ne, aku belajar.”

“Lagi? Di—di sini?”

“Ne.”

Ya, ampuuun! Kenapa dia harus seperti ini? Kenapa dia menambah sempit ruang lingkup otakku karena pertanyaannya yang sudah terlalu menunpuk. Wae?! Aku mengerti kenapa orang-orang mengatakannya aneh, tetapi aku sama sekali tidak mengerti kenapa dia aneh. Dan yang lebih tidak dan tidak aku bisa mengerti, terlebih lagi menerimanya, kenapa aku harus memusingkannya?

Selama lima belas jam dari dua puluh empat jam. Enam hari dari tujuh hari. Dari setahun …. Ah sudahlah! Intinya kami saja sudah frustasi, kenapa ia malah menambahnya di hari minggu?

“Aku suka belajar bersama teman-temanku. Kami bicara banyak hal dan kami mempelajari banyak hal, sesuatu yang tak aku dapatkan di sekolah kita,” imbuhnya tiba-tiba. Dia, sepertinya menangkap yang tersirat diwajahku dengan cepat. Apa aku benar-benar terlihat bingung?

_______

“Bolehkah aku bertanya? Tapi aku mohon, jawablah dengan kata-kata yang bisa aku mengerti. Jujur saja, kami tak mengerti banyak tentang apa yang kau katakan. Kami tak tahu arti sebutan-sebutan asing itu. Bisakah kau menjelaskan dengan cara yang paling sederhana?”

Dia mengangguk dan tersenyum sedikit hingga aku mulai memberanikan diriku lagi untuk bicara. “Kenapa kau seperti ini? Kenapa? Kenapa kau berbeda?”

Dia mengernyit bingung dalam tatapannya padaku. Aku tahu dia yang sekarang tak mengerti kata-kataku.

“Kenapa kau tak makan daging tapi makan ikan? Kenapa kau berpakaian tertutup di musim panas? Kenapa kau bicara aneh? Kenapa? Ya, maksudku itu tidak normal. Bukankah kau dengar orang-orang mengolokmu aneh?”

Dia tersenyum sayu dan terdiam sesaat dalam tundukan. “Aneh, ya?” ujarnya lalu terdiam beberapa saat membuatku terdiam juga dan harus sabar menunggu dia menjawab. “Aneh itu bukan sesuatu yang mutlak. Itu hanya terjadi ketika kau menjadi kaum minoritas, seperti kami. Di belahan bumi lain, kami normal dan kalian yang berbeda, bukan aku. Apa yang aku katakan adalah kesalahan? Apa berbeda itu kesalahan? Jujur saja, aku tak suka mereka mengolok kaumku seperti itu,” ujarnya sendu.

“Mi-mianhae. Aku tak bermaksud membuatmu tersinggung.”

“Makanan yang dibungkus rapat tidak akan dapat disentuh tangan jahil atau lalat karena dia tertutup dan tidak menimbulkan rangsangan bau. Dia bersih. Itulah pengandaian yang diberikan appa padaku, dan aku bangga seperti ini. Yah, meskipun ada konsekuensi yang harus aku tanggung. Aku punya tanggung jawab Taemin, terhadap diriku dan laki-laki yang melihatku. Kami harus menjaga nafsu sendiri dan menjaga laki-laki di jalur yang aman. Jika masalah makanan, itu kewajiban sama halnya seperti aku menutupi tubuh, dan bicara aneh, itu karena apa yang aku tahu dan kau tahu saja. Aku terlalu sering bicara seperti ini pada teman-temanku, mungkin aku tidak terlalu pintar dalam membawa diri,” ujarnya lalu terkekeh.

“Tapi …, tunggu! Laki-laki? Apa tanggunganmu terhadap laki-laki? Kenapa kau harus menjaga laki-laki? Bukankah laki-laki yang harus menjaga wanita?”

Aku lihat dia tersenyum geli. “Sepertinya kau tak terlalu mengerti. Apa kau senang melihat tubuh ramping dan mulus seorang wanita, Taemin?” tanyanya.

“Em, ne,” jawabku sedikit malu-malu.

“Bagaimana menurutmu jika aku memakai pakaian seperti girlband, yang pendek dan terbuka?”

Aku terdiam dan mulai membayangkan. Dalam imajinasiku dia …, sangat cantik, juga seksi, dan itu membuat pipiku mulai merona merah tanpa kusadari, sedang dia memperhatikan aku.

“Apa kau suka?”

“Ah?!” Aku tersadar dan aku melihatnya tersenyum simpul. “Aku ….”

“Aku tak suka seperti itu. Itu membuat lelaki terlalu mudah menyukainya. Bukan karena apa yang ia rasakan, tetapi apa yang bisa ia lihat di sana. Sesuatu yang membuat lelaki menginginkan lebih dan mulai kerasukan. Laki-laki akan menjadi serigala ketika seharusnya ia menjadi anjing yang menjaga para dombanya. Wanita tak bisa memperbaiki apa yang telah ia lakukan, karena itu dia hanya bisa menjaganya. Seperti gelas yang telah pecah, ia takkan bisa direkatkan kembali seperti sempurna. Ketika wanita telah menangis, maka langit juga akan menangis. Nyawa yang sudah tumbuh di dalam rahim takkan bisa terhapus meski ia telah mati sekalipun.”

Aku tertegun dan menatapnya dalam. Dia …, benar. Aku tersenyum tenang dan terdiam menatapnya sesaat. “Tapi …, karena itu, kau harus mendapatkan perlakuan buruk dari mereka.”

“Tak perlu kasihan. Inilah hukum alam. Setiap manusia memiliki masalahnya masing-masing. Tuhan memberikan cobaan dan ujian yang berbeda kepada masing-masing makhluknya. Bukankah kau memilikinya juga?”

Aku terdiam dan dia benar. “Ne.” Dan perasaan itu kini berubah menjadi rasa peduli yang berlebih. Yoonha, aku tak suka kau menerimanya dengan cara seperti ini. Setelah itu, kami hanya terus duduk di bawah pohon besar—di taman masjid—yang tanpa enggan memberikan keteduhan. Angin juga berbaik hati dengan sesekali menerpa lembut di kala siang menjemput. Kami terdiam dan merasakan kesejukan dan kenyamanan ini.

_______

Aku berjalan mendekati sebuah meja yang diisi oleh beberapa teman sekelasku. “Anyeong, yarobun. Bolehkah aku berga ….” Tetapi bahkan belum selesai aku berucap mereka beranjak dari kursi mereka dan menjauh dari ruangan ini seraya membawa makanan mereka. Aku terdiam dan berpikir sejenak. Baiklah, optimis, Taemin.

Aku kini berjalan kembali. Kali ini aku mendekati sekelompok anak yang aku kira sudah menjadi teman baikku, tetapi …, bahkan baru mulutku terbuka ingin menyapa—mereka sudah kabur. “Yah!” teriakku kesal pada mereka. Tetapi mereka berlalu saja tanpa menoleh dan peduli.

Aku berdecak dan duduk di atas kursi yang tadi mereka singgahi. Ini menyebalkan! Duduk sambil menyilang tangan, tentu saja mimikku tidak enak untuk sekadar dilihat.

Seseorang menepuk pundakku tiba-tiba seraya memamanggil dengan caranya yang tidak sopan seperti biasanya, “Yah!”

Itu membuatku tersentak kaget dan berbalik menatap sosok menyebalkan yang memiliki mimik paling menyebalkan sedunia. Mimik yang dimiliki Kim Kibum, angkuh.

Aku menatapnya tak suka, namun ia tak terlihat tak peduli. Ia malah duduk di hadapanku dengan santai seperti tanpa masalah. “Sebenarnya apa yang ingin kau tunjukkan pada mereka? Tentu saja mereka pergi, mengingat apa yang terus saja kau katakan tentang anak aneh itu selama beberapa hari ini. ”

“Berhentilah mengatakan dia anak aneh, Kibum!” ujarku serius.

“Wae?! Kau tak suka? Jangan-jangan rumor itu benar, kalau kau—pacaran—dengan—dia?” tanyanya penuh dengan tatapan merendahkan.

“Apa pedulimu? Kau bukan ibuku,” balasku dengan ketus.

“Pabo! Kau tak sadar mereka mulai menjauhimu?!” bentakknya padaku dengan mata melotot.

“So?”

 

“Ya kau jauhi saja dia!”

“Hah?” Yah, siapa dia? Sejak kapan dia peduli padaku? Dia hanya bicara padaku jika butuh sesuatu, tak pernah lebih dari dari dua kalimat. Dia mimpi?

“Kau tak sadar sudah berubah menjadi aneh juga seperti dia? Anak-anak membicarakanmu. Kau menjadi gosip panas di sini.”

“Aku tidak peduli. Mereka hanya tak mengerti.”

Kibum mendengus dan mulai menusukkan tatapan tak sukanya padaku. “Kau itu bodoh atau apa? Apa sulitnya menjauhi anak aneh itu sebelum kau benar-benar terkucil juga?”

“Sejak kapan kau peduli padaku? Lagi pula, apa urusannya denganmu?”

Dia memukul meja dengan sedikit keras lalu berbicara dengan penuh penekanan, “Aku bilang jauhi dia!” Setelahnya ia berlalu seraya bersungut-sungut.

_______

Aku terdiam dalam sunyiku. Senyap seakan menghantarkan lambai riang sang tirai putih ke arahku yang teracuh. Bersandar pada kepala ranjang yang bertumpukkan bantal. Aku menatap sebuah buku dengan tatap kosong. Buku pemberiannya, yang membuat aku tahu, ada seorang gadis dari bagian kecil golongannya tak mendapat perhatian dari dunia. Dia di dekatku. Orang-orang salah paham. Orang-orang tak mengerti. Karena orang hanya tahu ketika orang memberi tahu.  Sekarang aku tahu, bahwa dunia begitu kejam kepada mereka. Karena itu, aku berinisiatif untuk memberitahu teman-temanku untuk beberaa hari lalu. Aku tak berpikir jika mereka menolakku mentah-mentah dan menjauh. Aku rasa mereka bukan tak mengerti, namun benar-benar tak mau mengerti.

__Author POV__Flashback

Dia tak pernah tahu. Dia tak tahu karena dia selalu terkucil. Dia sendirian dan dia memilih menjauh. Yang dia tahu saat ini dia bahagia. Bahagia yang datang karena seorang teman yang membentangkan tangannya lebar akan kehadirannya. Mau menerimanya dengan tangan terbuka, terlebih lagi itu adalah Taemin, seorang namja yang Yoonha pikir cukup menjadi idola. Terlalu sering ia mendengar gadis-gadis membicarakannya. Terlalu sering juga Yoonha melihatnya dikerubuti sang yeoja di saat ia hanya menatap dari kejauhan.

Yoonha tak pernah berharap bisa berbagi sedikit kisah sekolah dengan Taemin …, sedikitpun. Dia hanya berharap ada seseorang yang bisa dia ‘sandari bahunya’ ketika dia kelelahan menyelimuti hatinya yang mulai berkabut. Baginya berteman dengan namja itu seperti mimpi yang jadi nyata. “Aku punya teman sekarang,” kata-kata itu yang selalu ia ucapkan dengan bubuhan senyum lebar dan merekah. Tetapi …, bahkan ketika usia jalinan kecil itu berumur jagung masalah sudah datang silih berganti.

“ARGH!!” Pekikkan itu pecah tatkala penglihatannya menangkap bercak-bercak merah telah memenuhi lokerku. Yoonha terbelalak lebar dengan dentum-dentum ketakutan menghantam kuat jantungnya. Ia  tertegun di tempat dengan wajah memelas yang ia perlihatkan ketika kesadarn mulai merasuk lagi dalam otaknya.

Yoonha melirik ke arah bagian dalam pintu lokernya. Di sana, ia dapat menemukan secarik kertas tertempel. Tanpa ragu ia segera  mengambil dan membacanya dengan kedua tangan— memicingkan mata—ketika membacanya, meski sejujurnya tulisan itu hanya berisikan dua buah kata pendek yang ditulis dengan tinta berwarna merah terang.

“Aniyo. Aku tidak mau. Dia …, sahabat terbaikku saat ini. Aku tidak mau melepaskannya,” gumamnya lemah.  Apa yang ada di surat itu terasa terus berputar-putar dan membuat kepala terasa berdenyut. Tersirat kekhawatiran, takut dan khawatiran bercampur dalam mimik wajahnya.

“Yoonha!”  tiba-tiba suara itu menggetarkan gendang telinganya dan membuatnya tersentak. Seseorang yang tengah berlari kecil ke arahnya.

 Terseret kesadarannya setelah beberapa lama melamun dalam tudukkan sendu. Yoonha yang sudah memiliki kesadaran penuh segera meremas kertas di tangannya dan melemparkannya ke dalam loker. Setelahnya buru-buru ia menutupnya pintu lokernya hingga menimbulkan sedikit suara keras, namun ia tidak memperdulikan itu karena ia harus berbalik menghadap Taemin kini telah berdiri di hadapan Yoonha seraya memamerkan senyum cerah. Yoonha juga tersenyum. Dijadikannya senyum itu sebagai sapaan kecil sekaligus untuk menutupi kegundahan yang mungkin akan sangat jelas terlihat.

“Kenapa masih di sini? Kau lama sekali. Aku bosan menunggumu tahu,” protes Taemin.

“Maaf,” ucap Yoonha dengan sedikit merengut.

“Arraseo. Tapi tadi apa yang kau baca?”

“Bukan apa-apa. Bukan hal yang penting.”

Author POV— Flashback—End

To be continued ….

©2011 SF3SI, Freelance Author.

Officially written by ME, claimed with MY signature. Registered and protected.

This FF/Post legally claim to be owned by SF3SI, licensed under Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License. Permissions beyond the scope of this license may be available at SHINee World Fiction

Please keep support our blog, and please read the page on top to know more about this blog. JJANG!

25 thoughts on “[WFT D] Lotus [1.3]”

  1. wahahahaaa *o*
    kaak, ini berasa…waaw kak..
    entahlah, mungkin krna la juga suka dgn hal2 sperti di cerita ini, tapi ini seru banget. gak nyangka kk ngegarap cerita dg ide ini *o*

    Suka gmna kk menyetting cerita si Taemin yg penasaran, si Kibum yg songong banget, Yoonha yg seperti itu. Kayaknya klo pengen keluar negeri, aku juga harus belajar gmna cara menjawab rasa penasaran org2 di luar sana..;)

    la lbih suka cerita kk yg ini. la tunggu lanjutannya dipublish dulu y kak ya, baru ntar la komen lagi 😀

    1. nggak usah ngarep-ngarep banget deh dhila. aku aja cukup kaget ini bener-bener di publish. terlalu banyak typo. feelnya juga kurang dapet banget menurut aku.
      tapi thx dah komentar, ya?

  2. Aih, aku suka banget. Nggak nyangka ada yang bikin cerita yang temanya seperti ini, relevan banget dengan kondisi nyata di sana. Penokohannya juga bagus, bahkan Kibum yang antagonis di sini, aku menikmati adegan dan dialog yang dia lakukan. Dan yang jelas, aku suka dengan karakternya Yoonha yang berpendirian teguh itu 🙂
    Kutunggu lanjutannya 🙂

  3. aaaa cerita ini, cerita ini yang aku tunggu tunggu. Aku pengen banget baca fanfic yang beginian alur ceritanya, karena jarang banget yang buat atau mungkin belum pernah ada???
    terima kasih terima kasih udah buat cerita yang begini~ 😀

    1. em, aku nggak tahu. munkin ada, mungkin udah #ah molla.
      makasih, ya. semoga ini bias terus menjadi penyemangat aku.

      1. okok tetep semangat, awalnya aku juga pengen buat fanfic beginian. tapi aku pikir mungkin terlalu ‘berani’ terus gak bisa mutusin harus gimana endingnya. tapi ini pertama kalinya nemuin ff yang begini alurnya selama aku jadi reader disini.

        1. ya, udah besok-besok buat aja. it’s okey.
          mungkin selain aku banyak juga yang mau buat model beginian. cuman seerti yang kamu bilang. butuh ‘keberanian’ berlebih.
          ade aku aja bilang ini mengandung unsur ‘sara’ dan itu buat akku sedikit takut. padahal aku aja nggak terlalu ngerti apa itu sara. #sinting
          ya, dengan kemampuan seadanya dan modal nekat jadilah ff ini. entah pada akhirnya menang atau kalah, saya mah sudah pasrah. tai alhamdulillah, seenggaknya belum ada komentar negatif. sebenernya agak nggak enak juga kirim ini, masalahnya kan di bllog ini bukan cuma muslim yang baca. semoga mereka nggak tersinggung ya?

  4. salut banget deh buat author yg bikin ff mengenai gadis muslim yg atu atunya di sekolah (?) Wuiih sempet kesel tuh, jilbabnya dibuka paksa ama Kibum -_- dan bukan kebetulan lagi aku juga make jilbab kemana-mana jadi berasa gitu, gmna keselnya pas adegan buka-bukaan jilbab (?) dan untung alhamdulillah ya…di sekolah aku seluruh siswinya udh make jilbab, bahkan nonmuslim pun wajib make meski di sekolah doang, tmen2 yg lain gtu, jadi jilbab itu udah dari bagian dr hidup saya #eh, pokoknya sampe sekarang ngeh bgt keluar klu gk make jilbab, soalnya udah mendarah daging #insya allah..

    hahaha napa jadi curcol plus sok alim gini ya? abaikan~ hehehe..
    oh ya, ide ceritanya gk nyangka banget, rupanya masih ada org yg buat crita semenarik ini dn mengaitkan Islam didalamnya, aku bener2 salut dan terhura *??. dan doyan beeeet sama ff ini. FF yg pertma kali aku baca yg memasukkan unsur islam plus ini bisa mengenalkan Islam kepada org banyak, membacanya aja aku udh jd bangga bgt jd seorang muslim *sombong.. 😮 ups
    tapi emng ada ya FF yg mengarah ke Islam, seperti FF special ramadhan, tp yg aku tahu, ff kyk gtu menjurus utk lawakan aja bukan yg ini, mengandung kisah2 seorang muslim yg bersekolah yg mana hanya dia sendiri yg brbeda, dan dibumbui dg kisah2 sekolah di korea yg emng sering bnyk bully-bullyan gtu, kyknya udh tradisi bgt ya di korea itu -.-

    pokoknya dua jempol deh buat ff nya, mungkin ini satu satunya ff WFT yg paling aku suka dan idenya sgt menarik, menurutku ^^
    ditunggu part selanjutnya
    Realllly good ff ^^

    1. ya ampuuuuuun! stop pujiannya!! aku malu #tutup muka pake tangan
      jujur aja, aku pake jilbab juga belum total kok. sebenernya, terlalu banyak perbedaan dalam cara hidup orang korea dan muslim. tetapi, karena K-pop mendunia sekarang mungkin sudah cukup terbiasa melihat wanita berjilbab. lagi pula, kehidupan mereka terkesan cuek. bully-bully-an itu kurang tahu. mungkin pengucilan yang paling kentara.
      wah thx atas komentarnya yang buat kepala saya menjadi gede #Eh?

  5. Woow…
    agak bingung mo komen apa, gak nyangka sama bakalan baca alur cerita yang seperti ini. Jarang banget author ngambil ide cerita begini, apalagi dibaca di bulan puasa, gimanaaa gitu rasanya.. 😉

    Bagi saya ini gak mengandung usur sara, hanya menjelaskan, kewajiban2 seseorang sebagai muslimah, dan gak ada kesan memojokkan agama lain..

    Dengan dialog yang ringan Yoonha menjelaskan ke Taemin bagaimana Islam memuliakan wanita.. Sukaaa.. 🙂

    apalagi bisa bikin Taemin penasaran sampe dateng ke Masjid Itaewon..

    Ok Hana, penasaran sama part selanjutnya, ditunggu ya.. 🙂

  6. Wah… Idenya keren bgt! Baru baca df kayak gini nih. Meskipun ceritanya ttg org muslim di sekolah, mana satu2nya, tapi ga mengandung unsur sara. 🙂

    Ya ampun, key pengen aku cekik rasanya. Setauku buka jilbab itu kan g boleh. Itu kan sama aja ngeliat aurat org. Ckck kibum *lempar key pake batu bata

    ditunggu nextnya ya 🙂 btw maaf kalau komenku ada kesalahan .-.

    1. nggak, itu bener kok. itu ‘dosa’. orang mah nggak luput dari dosa.
      jangan gtu sesil, kasihan kan Key. aku jadi merasa bersalah nih sama dia. #hehehe
      tunggu, ya! jangan lupa koment lagi ya!

  7. dimana-mana nasibmu Key, nanti aku bikin nasibmu mujur lain kali Key, lain kali ga bolh gitu yaahh..

    ayo lanjuuutt penasaran sama ceritanyaaaa ><

    1. hehehe, bener lah. nanti kamu akan sedikit terkejut di part ke-2. pede gila. eh, part duanya dah dipublis ya? #hehehe

  8. Kibun kejammm *jewer kibum* taemin jga.. kepo bgt ampe masuk ke masjid … *jitak taem* waahh… bru pertama kalo ini liat ff bgni… cocok gtu ma suasananya.. ramadhan… lanjut..

    1. kibum boleh dijewer tapi tetem jangan dijitak #peluk tetem.
      hehehe, silakan baca part selnjutnya okey?
      thx, dah mampir nih.

  9. baru kali ini aku nemu ff yg mengangkat tema kayak gini. keren banget!!!
    jadi ngebayangin gimana perasaan Yoonha disana, ya ampun tegar sekali dia :”
    berlanjut baca next part~~

  10. TEMANYA KEREN *_* !!!~~~~~~~~~~~~~
    aduh ceritanya bagus banget~~ jjang author^^!!

    betewe kita org muslim kan jg masih makan daging sapi&kambing yg enggak cuman babi kan’-‘)
    oiya thor, disitu kan ditulis “Matahari baru saja meluncur hilang..” brrti itu tandanya waktu maghrib kan? kok yoonha-nya udh buka sih.. kan dikorea bukanya baru jam 8 malem.___.

    1. ya, bener, tapi kan dengan cara pemotongan atau pengolahannya yang nggak memenuhi syariat islam itu bisa jadi haram. sedangkan itu nggak termasuk sama ikan.
      maghrib kan nggak berarti jam enam juga. maghrib itu nggak terikat jam, tetapi terikat dengan waktu terbenam matahari seluruhnya. kayak model jadwal shalat, bisa berubah sesuai pergerakan matahari.
      semoga mengerti. thx!!

  11. 대박!!!!

    AAAAAA KEREN BANGET!!! *gelindingan*
    Aahhh aku telat baru baca sekarang…
    Ihh author hebat bgt..bisa buat ff dgn tema yg g biasa dg cerita yg luar biasa #prokprok

    Ahh..aku agak curiga nihh sama kibum..ada angin apa dia tiba2 dtengin taemin trs nyuruh taemin ngejauhin yoonha?? JANGAN2….. *ngacir ke part 2

Leave a reply to Anonymous Cancel reply