Mystery in Symphony

Mystery in Symphony

Mystery-in-Symphony

Author : Himahimawari

Main Cast : Kim Jonghyun, OC

Support Cast : –

Length : Stand Alone

Genre : Mystery, Romance, Friendship

Rating : G

Poster by : Bibib

A/N : All story in Jonghyun POV

warning : A bit horror, some introduction in the story may not the truth.

Happy Reading!

***

(01 Maret 2005)

Suara dentingan beberapa tuts piano mengalir menuju gendang telingaku. Not-not yang bertemu dan bercampur bersama menimbulkan harmonisasi piano klasik yang merdu dan nyaman untuk didengar. Suara itu adalah penyambut rutinitas pagiku. Mendengarkannya di teras atas rumah tingkat dua kepunyaanku–sambil menyantap sarapan pagi atau sekedar menghirup udara segar–menjadi kebiasaanku belakangan ini. Suara itu juga menjadi pelengkap menjelang tidurku di malam hari.

Kuedarkan pandanganku mencari asal suara dan lagi-lagi kudapati berasal dari tempat itu. Suara ini bukan berasal dari sebuah acara maupun para pianis gereja, melainkan berasal dari sebuah rumah tua tak terurus yang berada di seberang rumahku, yang berlokasi di kota Jeonju, Jeollabuk-do, Korea Selatan.

Tembok berlumut yang tersambung pada jeruji pagar rumah yang berkarat. Rumput liar yang sudah tinggi, mungkin sudah melebihi setengah tinggiku–hampir mencapai setinggi dadaku. Cat tembok luar yang sudah mengelupas. Dengan keadaan luar yang seperti itu, rumah tingkat satu itu benar-benar terlihat tak terurus sedikit pun.

Banyak orang yang mengatakan bahwa rumah itu dulu ditempati oleh sepasang suami-istri dan seorang gadis yang merupakan anak tunggal mereka. Tapi kini tak ada yang menempati lagi karena kabarnya sang pemilik rumah tersangkut kasus penganiayaan, dan suara dentingan piano yang kerap terdengar merupakan suara piano tua yang dulu sering dimainkan anak pemilik rumah itu–yang desas-desusnya adalah korban dari penganiayaan tersebut.

Suara dari tuts-tuts piano masih mengalun indah. Tunggu, sepertinya aku tau lagu ini. Ya, ini lagu Chanson de l’adieu yang diaransemen oleh  Frédéric Chopin tahun 1833 lampau. Aku pintar, bukan? Haha, tentu saja aku tahu karena aku selalu tertarik dengan hal-hal yang berhubungan dengan musik, bahkan aku bersekolah di Sekolah Tinggi Seni Jeonju. Terasa mengerikan ketika mengingat cerita mengenai suara piano itu tapi aku tetap senang mendengarkan nada-nada yang terhasilkan, mungkin karena jiwa musik memang mengalir dalam darahku.

Menit ke menit berlalu. Kini alunan nada indah itu berhenti. Aku harus menunggu hingga malam hari untuk mendengarnya lagi.

Aku menghembuskan napas panjang dan berusaha untuk tersenyum. Terima kasih pada alunan itu yang membuat suasana hatiku pagi ini menjadi lebih baik setelah tadi malam bertempur–mencari inspirasi untuk menghasilkan susunan nada yang baru. Kulirik sebuah jam yang menggantung pada satu sisi dinding di ruang depan. Jarum pendek yang menemani angka 7 dan jarum panjang kedua pada posisi angka 30 derajat sebelumnya. Aku harus bersiap-siap dan berangkat ke sekolah.

***

Sore menjelang malam, sepulang sekolah aku menghentikan langkahku di depan pagar rumahku dan menatap rumah itu. Rumput liar yang tinggi masih menutupi halamannya.

Aku melangkah menjauhi rumahku dan berhenti di depan pagar berkarat rumah itu. Dengan earphone putih yang masih menempel di kedua telingaku, kuperhatikan rumah itu. Walaupun samar-samar karena terhalangi rumput, melalui jendela yang tak terhalang tirai aku dapat melihat sebuah ruangan di rumah itu.

Didukung dengan lampu yang menyala, terpantul ke penglihatanku, gambar ruangan yang cukup bersih–dengan tembok putih yang melatari berbagai macam interior.

‘Apa rumah ini benar-benar tidak diurus? Bagian luar rumah ini memang menyeramkan, tapi bagian dalamnya? Tidak mungkin kalau tidak diurus sementara keadaannya akan terlihat bersih seperti ini. Interiornya saja masih bagus dan… debu? Sepertinya hampir tidak ada.’

Kuperhatikan rumah itu lebih seksama. Tiba-tiba terdengar suara–yang cukup keras–dari benda berat yang bergesekkan dengan lantai keramik. Kemudian disusul dengan bunyi kaca pecah yang membuatku terperanjat dan detak jantungku terpacu karenanya. Kupegang tengkukku karena merinding. Samar-samar, kulihat sosok wanita dengan tubuh mungil-kurus dan berkulit putih pucat mengenakan gaun putih selutut dengan rambut panjang yang tergerai berjalan melewati jendela lalu lampu ruangan itu pun padam. Aku menjauhi rumah itu dan kembali ke rumahku karena bulu kudukku mulai ‘berdiri’.

***

21:04

Empat angka itu tertera pada sudut kanan layar ponsel yang sedang kumain-mainkan dalam genggamanku. Walaupun aku duduk di depan sebuah meja yang penuh dengan kertas bertuliskan chord-chord musik, pikiranku masih terpusat pada kejadian tadi sore.

‘Ruangan itu sangat bersih. Aku yakin ada seseorang yang tinggal disana. Tapi bayangan tadi… Apa mungkin itu… Hantu?’

Aku mengacak-acak rambutku asal. Lalu suara denting piano terdengar. Tapi ada yang berbeda pada alunan malam ini. Kini lagu bernada sedih ‘When The Love Falls dikarang sekaligus dipopulerkan oleh Yiruma yang dimainkan olehnyaDengan rasa penasaran, aku membuka jendela kamarku dan melihat rumah itu lagi.

Dari jendela kamarku yang berada di lantai dua, kusaksikan lampu dari salah satu ruangan di rumah itu menyala. Seorang gadis dapat kulihat dari–tunggu… Seorang gadis?

Aku mencondongkan badanku. Ya, seorang gadis yang sedang duduk dapat kulihat dengan jelas dari tembusan kaca jendela rumah itu yang tidak tertutup tirai. Persis seperti sosok tadi sore, ia berambut panjang, mengenakan gaun putih selutut membalut tubuhnya yang mungil-kurus dan berkulit putih pucat. Jari-jari tangannya yang lentik menari-nari di atas tuts piano dengan lincahnya. Tapi gerakan itu berhenti. Gadis itu menundukkan kepalanya, aku tidak bisa melihat jelas wajahnya karena rambutnya yang panjang bergerak turun ke samping wajahnya. Bahunya naik turun tak beraturan, dia seperti sedang terisak… atau tertawa? Tidak, sepertinya ia tidak sedang tertawa. Sekarang wajahnya ditutupi kedua telapak tangan yang tadinya berada di atas tuts-tuts piano. Dia beranjak dari bangkunya dan menutupi jendelanya dengan tirai. Lalu lampu ruangan itu padam.

Apa itu wujud hantu?

Entahlah… Tapi yang jelas aku semakin penasaran.

Aku menutup jendela kamar dan beranjak ke ranjangku. Aku mencoba untuk tidur tapi tak bisa, lagi-lagi aku hanya memikirkan keberadaan seseorang di rumah itu yang kulihat hari ini.

‘Apa aku harus menyusup masuk ke dalam rumah itu? Tapi rasanya tidak mungkin. Lalu bagaimana aku memastikannya?’

“Tapi kalau dia bukan hantu, mengapa dia tidak pernah pergi keluar rumah? Apa mengurung diri di rumah merupakan salah satu hobi favoritnya?” gumamku tak menentu.

Kubayangkan ciri-ciri wanita tadi. Tubuhnya kurus dan putih pucat, apa dia mengidap suatu penyakit akut yang parah?

“Arrgggh, aku saja tidak tau dia itu manusia atau hantu. Dasar bodoh!”

Aku menutup mata lalu kuhalangi dengan telapak tangan. Mencoba tidur sekali lagi.

1 menit…

5 menit…

10 menit…

Tidak bisa…

Aku bangun dan memposisikan diriku duduk di ranjang.

Earphoneku… Aku butuh earphone

Kuambil earphone putih yang tergeletak di atas meja dan memasangnya ke kedua lubang telingaku dan kembali berbaring. Kuputar lagu ballad untuk membantuku masuk ke dunia mimpi.

***

(02 Maret 2005)

Jonghyun-ssi… Jonghyun-ssi…

Suara siapa itu? Mengganggu sekali!

Jonghyun-ssi… Ireona palli-juseyo…

Dengan malas aku membuka mataku. Dari suaranya sepertinya dia seorang gadis. Namun siapa yang mengganggu malam-malam begini?

Dengan mata setengah terbuka aku mencari sumber suara. Aku melihat ke arah jendela, kudapati sosok seorang gadis disana. Gadis yang selama ini membuatku penasaran. Tapi bagaimana dia naik ke jendelaku yang berada di lantai dua ini?

Jonghyun-ssi, dowajuseyo…  (Tolong aku…)”

Nne… (I–iya)” tanggapku ragu. Aku bergerak–beranjak dari  tempat tidur dan berjalan ke arah jendela. Darimana dia tahu namaku?

Museun il-iya? (Ada apa?)” Tanganku tergerak membuka jendela. Dia tidak menjawab pertanyaanku. Kepalanya pun tertunduk. Apa terjadi sesuatu dengannya?

Gwenchana-seumnikka? (Apa kau tidak apa-apa?)” tanyaku sekali lagi. Aku memegang tangannya–mencoba menariknya masuk. Terasa sangat dingin. Apa dia terlalu lama di luar?

Jonghyun-ssi,” ucapnya, menghentikan gerakanku.

Ne?” aku menaikkan kedua alisku. tapi wajahnya tiba-tiba berubah menjadi seram–berkeriput dan bewarna putih mendekati biru, juga matanya putih membelalak hampir terloncat keluar dan disekelilingnya yang dipenuhi luka, darah yang keluar dari mulutnya yang biru. Sontak aku melepaskan tanganku dan melonjak ke belakang.

Jonghyun-ssi, dowajuseyo… ” ucapnya lagi. Tapi suaranya tidak seperti tadi, suaranya serak dan seperti seorang wanita tua. Tangannya yang juga bewarna biru pucat dan kecil nyaris hanya tulang memegang pinggiran jendelaku untuk membantunya masuk ke kamarku. Jantungku terpacu.

Geumanhae! (Hentikan!)” teriakku spontan. Dia merangkak kaku ke arahku. Dia bukan wanita di rumah tadi.

Jonghyun-ssi!” Dia memanggilku lagi. Kupaksa kakiku yang bergetar untuk melangkah mundur.

“Tidak! Menjauh dariku!” teriakku lagi. Kakiku sudah mencapai dinding, namun dia tetap merangkak ke arahku.

Tak sempat aku melarikan diri, tangannya yang ternyata sangat dingin berhasil menggapai kakiku dan langsung menarikku hingga aku terjatuh.

“Jangan ganggu aku!” Aku memberontak dan berusaha melepaskan diri. Walaupun tangannya kecil tapi tenaganya lebih kuat dariku. Dan sekarang dia mencengkram bahuku. Wajahnya yang seram tadi sekarang hanya berjarak sekitar 10 senti di depanku. Mulutnya terbuka lebar menampakkan semua giginya yang tajam seperti ingin memakanku.

“Tidak! TIDAK! HENTIKAN!! JANGAAAN!!”

Aku membuka mataku dan spontan duduk. Ternyata hanya mimpi.

Napasku terengah-engah dan keringat membasahi tubuhku. Kulihat kearah jendela. Masih tertutup dan terhalangi dengan tirai yang tidak bergerak sama sekali. Kulepas earphone  putih dari kedua telingaku.

Kulihat angka jam yang tertera di layar ponselku. Jam 6 pagi. Aku beranjak dari kasur dan melangkah ke dapur  yang berada di lantai satu untuk mengambil segelas penuh air minum, untuk sekedar menetralisir debaran jantungku saat ini.

Sepertinya rasa penasaranku yang mendatangkan mimpi buruk itu.

Aku menarik salah-satu bangku di meja makan untuk duduk. Kutimang-timang gelas kaca yang kini kosong dan terasa ringan. Apa sebaiknya aku berhenti memastikannya?

Kuletakkan gelas itu di atas meja dan beranjak pergi dari dapur menuju ruang depan. Kutarik tuas daun pintu lalu menariknya agar benda persegi panjang berposisi vertikal itu terbuka, lalu membiarkan badanku bersandar di pinggirnya. Udara pagi menerpa tanganku, wajahku, tubuhku. Cukup dingin, tapi menyegarkan. Dari posisi saat ini, aku memperhatikan rumah tua itu lagi. Apa yang sedang sosok gadis itu lakukan? Apa dia kedinginan? Apa dia sedang tidur? Apa dia masih menangis? Entahlah.

Aku menatap langit semi biru sembari mengembuskan napas ke atas berharap segumpal asap akan terlihat olehku. Faktanya, udara pagi ini tidak cukup dingin untuk menimbulkan asap dari hembusan napas seseorang.

Cukup lama aku tidak beranjak dari posisiku sampai aku tersadar aku harus bersiap-siap pergi sekolah.

***

(03 Maret 2005)

Kutarik gerbang rumahku. Dengan sebuah gitar dan juga tas selempang di bahu, aku berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki. Jarak dari rumahku ke sekolah tidak begitu jauh, jadi dengan berjalan kaki sudah cukup untukku.

Aku melewati rumah tua itu, menatapnya dari jarakku yang mendekat hingga jarakku menjauh. Mengapa aku tidak bisa menghilangkan rasa penasaranku juga? Apa aku telah bertransformasi menjadi orang yang tertarik dengan misteri? Tidak tidak. Aku hanya tertarik menjadi seorang pemusik, bukan detektif atau semacamnya.

Tapi kenyataannya? Sampai siang ini aku masih memikirkannya. Sekarang seharusnya aku berada di kantin dan mengisi perutku, tapi aku tak melakukannya. Aku duduk di bangkuku, terdiam. Aku tidak bisa fokus pada pelajaran sejak tadi, pikiranku hanya tersangkut pada rumah itu dan sosok gadis di dalamnya saja. Aku menggerakkan bola mataku ke arah gitar yang berada di samping meja lalu mengambilnya. Kumainkan jari-jari tangan kiriku pada leher gitar–menekan senar-senar yang ada disana–membentuk kunci-kunci gitar dengan leluasa dan kugerakkan jari-jari tangan kananku memetik keenam senar di depan lubang suara, menyuarakan intro lagu dari Red Jumpsuit Apparatus, ‘The Acoustic Song‘.

Kugerakkan mulutku–menyanyikan lirik lagu–menyesuaikan dengan tempo permainan gitarku.

“When I see your smile, tears roll down my face… I can’t replace…”

Kubayangkan gadis yang membuatku penasaran itu sekali lagi. Saat dia menangis tadi malam, walaupun aku masih tak pasti dengan wujudnya.

“And now that I’m strong I have figured out… how this world turns cold and it breaks through my soul and I know…”

Kalau memang rumah tua itu sudah tidak ditempati sebelum tragedi itu terjadi, seharusnya sudah ada orang lain yang menempatinya, minimal mengurusnya. Kalau rumah itu adalah tempat terjadinya tragedi, mengapa aku tidak pernah melihat garis polisi yang melintang ataupun berserakan?

“I’ll find deep inside me, I can be the one…”

Mungkin dia bukan hantu. Dan ada sesuatu yang membuatnya tidak pernah keluar dari rumah. Tubuhnya juga kurus dan putih pucat, ada kemungkinan dia butuh pertolongan.

“I will never let you fall… I’ll stand up for you forever… I’ll be there for you through it all, even if saving you sends me to heaven…”

Sudah kuputuskan, aku akan memastikannya sendiri ke rumah itu. Mungkin saja dugaanku benar. Ya, aku harus memastikannya.

***

Warna jingga menggantikan warna biru cerah untuk menemani awan-awan yang terlihat tipis pada langit sore ini. Aku baru saja pulang dari sekolah. Seperti biasa, earphone kembali melekat di kedua lubang telingaku.

Dengan bawaan yang sama saat pagi tadi, aku berjalan menuju rumahku. Tapi sesuatu menghentikan langkahku sekitar dua rumah dari rumah tua itu.

Sepintas kulihat sosok seorang gadis mengenakan kaos abu-abu dan rok hitam memasuki gerbang rumah tua itu. Sayangnya, aku tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas.

Karena penasaran, aku berjalan mengendap-endap mendekati rumah itu. Dari balik dinding pagar berkarat, aku mengintip–melihat ke dalam rumah–. Samar-samar karena terhalang rumput, kulihat sosok gadis itu masuk ke dalam rumah tua itu dan menutup pintu tanpa menimbulkan suara. Siapa dia? Selama ini aku tak pernah melihat siapa pun masuk ke dalam ataupun keluar dari rumah tua itu. Apa dia adalah sosok gadis yang kulihat kemarin?

Kulangkahkan kakiku masuk ke halaman rumah itu tapi seseorang menepuk bahuku.

“Sedang apa kau disini?”

Aku membalik badan. Seorang pria paruh baya bertubuh kurus tapi tidak begitu kurus dengan tinggi rata-rata dan mengenakan jaket kulit coklat berada di depanku. Aku tidak dapat melihat wajahnya karena tertutup topi yang ia pakai.

“A-aku–”

“Sebaiknya kau pergi, rumah ini bukan tempat untuk dikunjungi,” ucapnya dingin.

Tak ingin terjadi apa-apa, aku segera melangkah pergi dari rumah itu, tapi diam-diam aku melihat ke arah pria paruh baya itu. Dia tetap berdiri disana–tidak bergeming–dan terus menatap ke arahku, seperti mengawasiku. Mengapa dia seperti tidak ingin aku mendekati rumah itu lagi?

Aku mencapai gerbang rumahku, melihat ke arah pria itu sekali lagi kemudian masuk ke rumah.

“Pria itu… dia menyuruhku pergi tapi dia sendiri tidak beranjak dari tempatnya,” aku menggerutu.

Aku menaiki tangga dan masuk ke dalam kamar–meletakkan gitar di samping tempat tidur–lalu menghampiri jendela kamar yang terbuka, memastikan apa pria itu masih berada disana.

Tidak ada. Kemana dia?

Kulihat rumah-rumah di sekitar sini. Tidak ada siapa-siapa.

‘Mungkin dia pergi ke tempat lain’

Aku membalikkan badan, ingin berjalan menuju kasur, tapi tiba-tiba kudengar jeritan seorang gadis.

Aku kembali melihat ke arah rumah tua itu melalui jendela, sepertinya jeritan itu berasal dari sana.

Benar saja, pintu rumah itu sudah terbuka lebar.

Aku berlari keluar dari kamar, menuruni tangga, dan keluar dari rumahku menuju ke rumah tua itu.

Sesampai di depan gerbang, kudengar suara kaca pecah yang disusul dengan teriak seorang pria.

“Jangan melawan ayahmu!” Kemudian terdengar suara seperti sebuah tamparan yang diimbangi dengan suara isak tangis.

Aku masuk ke dalam halaman rumah dan menatap sekeliling. Dimana mereka?

Suara sesuatu yang menabrak pintu di ruangan lain menarik perhatianku. Mereka pasti ada disana.

Aku berlari ke arah suara itu. Ternyata suara itu berasal sebuah ruangan dengan pintu tertutup.

“K-kau bu-bukan ayahku.”

Plakk

“Beraninya kau tidak mengakui ayahmu sendiri! Dasar anak tak berguna! Aku dan ibumu sudah membesarkanmu dengan susah payah, seharusnya kau membalasnya dengan memberikan kami kebahagiaan! Mengapa kau kabur dari pria itu?! Kau hanya menyulitkan kami saja!”

‘Apa maksudnya? Ayah? Kabur dari pria itu? Sebenarnya apa yang terjadi?’

Bugh

Sesuatu menghantam pintu yang tertutup lagi. Aku meraih tuasnya, mencoba membuka pintu itu. Tak bisa, terkunci.

“A-apanya yang susah payah… Kalian berdua… ha-hanya menyiksaku, menganiayaku.. kemudian kau menjualku… K-kau tidak layak disebut seorang ayah!”

“Beraninya kau berkata seperti itu!”

Plakk

“Arghhh”

‘Menganiaya? Menjualnya? Jadi ini yang terjadi dengannya selama ini?’

Aku mencoba menarik tuas pintu itu lagi. Tetap tidak bisa.

‘Aku harus membukanya’

Aku mundur beberapa langkah kemudian berlari ke arah pintu itu–membenturkan badanku berkali-kali–. Sialnya pintu itu keras sekali.

Kemudian aku mencoba menendangnya dengan keras.

Brakk

Sungguh, bukan pemandangan yang layak untuk dipandang.

Seorang pria–yang tadi menyuruhku pergi–berdiri beberapa langkah di depanku dan tepat di depannya, seorang gadis yang tadi sepintas kulihat terkulai di lantai dengan darah di sekitar wajahnya.

“Kau! Jangan menyentuh gadis itu!” aku berlari ke arah pria itu dan memukul wajahnya dengan cukup kuat hingga ia terjatuh ke pinggir ruangan.

“Ck ck ck, ternyata ini yang kau lakukan selama ini?” ucap pria itu.

“Jadi kau kabur dari pria itu untuk bersama pria ini? Haha, dasar murahan!” Pria itu berdiri dan berlari ke arahku–bersiap untuk memukulku.

“Jaga ucapanmu!” bentakku.

Aku menangkis pukulannya dan kembali memukulnya bertubi-tubi hingga seseorang menahan tanganku.

“He-hentikan… Ja-jangan…” pinta gadis itu.

Pria itu pun memanfaatkan kondisi perhatianku yang sedang teralih. Dia memukulku keras hingga aku terpelanting ke sudut ruangan. Untung saja aku tidak jatuh di tempat pecahan kaca yang berada beberapa senti di sampingku. Namun karena kepalaku terbentur tembok, aku merasa pusing.

“Ja-jangan…” teriak gadis itu dan mencoba menahan pria itu agar tidak datang ke arahku, tapi pria itu menamparnya lagi kemudian menarik rambutnya, menyeretnya, dan menjatuhkannya kasar di sampingku. Sepertinya dia terkena pecahan kaca.

“Kau tahu Hyesun… Orang yang tidak berguna itu lebih baik mati daripada menyusahkan orang lain. Dan maaf gadis manisku, Hyesun, sepertinya kau pantas mendapatkannya.”

‘Hyesun? Jadi gadis malang ini bernama Hyesun?’

Pria itu mengeluarkan sebuah pisau dengan tangan kanannya dari jaket kulit yang ia kenakan.

Aku berdiri–mencoba memukulnya lagi. Tapi dia berhasil menghindar dan memukulku dengan tangan kirinya hingga aku terjatuh.

“Apa kau ingin mati juga anak muda? Baiklah, akan kukabulkan,” ucapnya sebelum mengangkat pisau yang digenggamnya–bersiap untuk menikamku.

Aku menutup mata–mempersiapkan diri akan tusukan dari pisau itu. Tapi, mengapa tidak terasa sakit?

Aku membuka mataku, mendapati pria itu terjatuh terkelungkup dan gadis malang itu di belakangnya. Pecahan kaca menancap di punggungnya.

Gadis malang itu pun jatuh terduduk dan menangis terisak sebelum pingsan. Aku segera menghampirinya.

Agassi! Agassi, bangunlah! Agassi!” Aku menepuk-nepuk pipinya pelan–mencoba membangunkannya. Nihil.

Aku merogoh ponsel di saku celanaku lalu memanggil ambulan juga polisi untuk datang kesini. Aku harap dia bisa bertahan sampai ambulan datang.

***

Garis membentuk grafik-grafik tidak beraturan terlihat di elektrokardiograf.

Luka di sekujur tubuhnya sudah di bersihkan dan diobati tapi kondisinya masih lemah, begitulah yang dokter katakan kepadaku. Ya, sekarang aku berada di rumah sakit ter, tepatnya di ruangan 408, terduduk di sisi sebuah ranjang yang diisi oleh seorang gadis tak berdaya yang belum sadar juga. Banyak memar di tubuhnya yang kurus dan putih pucat.

“Ngh,” gumam gadis itu dan membuka matanya. Tatapannya kosong menuju langit-langit ruangan.

“Kau sudah bangun?” Aku mencoba mengajaknya bicara.

Dia mencoba untuk bangun, aku menahannya.

“Kau tidak boleh bangun. Tubuhmu masih lemah, kau harus istirahat,” aku memberitahunya.

“A-aku… aku dimana? K-kau siapa?” tanyanya dengan suara serak.

“Namaku Kim Jonghyun, panggil saja Jonghyun. Kau berada di rumah sakit. Tadi kau pingsan dan tubuhmu terluka, jadi aku membawamu kesini.”

Dia terdiam. Aku kurang menyukai situasi dingin seperti ini. Aku ingin membuka mulutku untuk berbicara tapi didahului olehnya. “Kau… terima kasih sudah menolongku. Maaf telah membuatmu sulit, Jonghyun-ssi.”

“Tidak, kau tidak menyulitkanku. Aku menolongmu karena ingin,” tanggapku. Dia terdiam lagi.

H-Hyesun-ssi… Sebenarnya apa yang terjadi padamu?”

“Aku… aku…” Dia tiba-tiba menangis.

Ma-maaf, aku tidak bermaksud”

“Tidak apa-apa,” ucapnya di sela tangis.

Dia terdiam namun matanya masih mengeluarkan air mata. Kasihan sekali dia.

“A-aku… sewaktu kecil aku sering dianiaya oleh kedua orang tuaku. Mereka bilang aku hanya menyusahkan mereka saja karena mereka harus meminjam uang banyak sekali untuk mengurusku tapi sulit untuk melunasinya, dan akibatnya rentenir mengejar-ngejar mereka.”

Gadis itu menghapus air mata yang mengalir menuruni pipinya sebelum melanjutkan ucapannya lagi.

“Dan ketika aku besar, mereka ingin menjualku untuk melunasi semua hutang mereka. Tapi aku tidak betah disana, karena itu aku melarikan diri dan berlari ke rumah. Tapi begitu aku sampai rumah itu sudah tak berpenghuni. Sepertinya orang tuaku pergi ke tempat lain. Tapi, karena aku tidak ingin mereka ataupun orang dari tempat aku dijual menemukanku, aku menempati rumah itu.”

Tega sekali orang tua gadis ini. Menganiayanya, menjualnya, dan terakhir ingin membunuhnya. Padahal dia pianis yang berbakat, apa mereka tidak menyadari bakat gadis ini?

“Lalu, mengapa kau tidak pernah keluar rumah dan mencari pertolongan?” tanyaku lagi.

“Aku mempunyai cita-cita sebagai seorang pianis. Maka orang tuaku membelikanku sebuah piano untuk berlatih. Tapi ketika aku ingin tampil di acara sekolahku untuk membuktikan aku mempunyai bakat disana, aku terlalu grogi sehingga orang tuaku mengatakan perjuangan mereka sia-sia. Karena itu mereka mulai menganiayaku dan di sekolah aku di-bully oleh teman-temanku. Karena itu aku berhenti dari sekolah dan takut untuk bersosialisasi.”

Dia melanjutkan, “A-aku takut tidak ada yang ingin menolongku.” Dia pun menangis terisak. Aku menatapnya iba dan memeluknya.

“A-aku takut…” Dia menangis di pelukanku. Aku mengusap punggungnya–mencoba menenangkannya.

“Tidak apa-apa. Aku akan menolongmu…”

.

.

.

“Aku akan menjagamu… Hyesun…”

***

-1 bulan kemudian-

(02 April 2005)

Aku duduk di teras atas. Hyesun berada di sampingku–bersandar di bahuku. Ya, kini dia tinggal bersamaku. Di luar dugaanku, ternyata dia adalah gadis yang riang. Aku menceritakan semua kejadian kepada orang tuaku, setelah memohon akhirnya mereka mau menyekolahkan Hyesun di sekolah yang sama denganku. Tidak kusangka, ternyata kami hanya berbeda satu tahun.

Oppa…

Ne?

“Aku ingin tahu, bagaimana kau bisa menemukanku disana?”

“Kau ingin tahu? Suara pianomu itu menarik perhatianku dan beberapa kali aku melihatmu memainkannya. Jadi pada intinya kau menarik perhatianku.”

Dia menggerutu. “Bukannya kau yang tertarik padaku? Mengapa aku yang menarikmu?”

Aku menjepit hidungnya dengan ibu jari serta telunjukku. “Kau yang menarik perhatianku, gadis kecil,” aku mengejeknya.

Dia menepis tanganku. “Aku bukan gadis kecil lagi.” Dia mengerucutkan bibirnya. Lucu sekali.

Aku menarik hidungnya lagi, kali ini lebih kuat.

Geumanhae! Apeuda! (Hentikan! Sakit!)” Dia memukul-mukul tanganku. Aku terkekeh.

“Bagiku kau tetap gadis kecil.”

“Ya, ya. Terserah kau saja. Tapi yang jelas aku ini Hyesun, Jung Hyesun berumur 14 tahun dan bukan anak kecil lagi.”

“Bukan, kau adalah Hyesun, Jung Hyesun. Gadis riang yang berumur 14 tahun tapi masih seperti anak kecil–”

“Terserah oppa saja!” dia beranjak dari kursi tapi aku menahannya.

“Aku belum selesai. Kau itu Jung Hyesun, gadis riang yang berumur 14 tahun tapi masih seperti anak kecil yang mampu menarik perhatianku dengan permainan pianonya. Dan yang terpenting…” Aku memeluknya dari belakang.

“Kau adalah gadis yang membuatku jatuh cinta.” Kurasakan badannya memanas di pelukanku. Sepertinya pipinya sudah merah merona sekarang.

“Tidak kusangka, kau pandai membual, oppa.” Dia melepaskan pelukanku lalu berjalan ke dalam tanpa melihat ke arahku. Sepintas kulihat senyum merekah di bibirnya.

Aku berlari kecil menyusulnya. “Aku tidak membual.”

“Kau membual.”

“Aku tidak bisa membual.”

“Kau baru saja membual.”

“Tapi kau menyukainya.”

“Haah, terserah kau saja!”

“Baiklah, kita akan makan apa hari ini?”

“Kau masak saja sendiri.”

“Ayolah Hyesun.”

“Tidak.”

“Baiklah, aku membual.”

“Sudah terlambat.”

“Ayolah Hyesun. Hyesun-ah! Hyesun-ah!

-The End-

***

Annyeong! Akhirnya bisa post lagi~

Mian LMLH-nya belum bisa aku lanjutin, aku lagi kena ‘author’s block’ alias inspirasi yang tertahan. Tapi aku lagi usaha buat nerusin FF itu, jadi mohon sabar ya…

Cerita sepintas, aku dapet inspirasi cerita ini waktu aku lagi suka banget dengerin musik-musik klasik. Sebenernya keseluruhan cerita di luar rangka yang pertama aku buat. Juga ga semua hal yang kutulis itu sesuai dengan kenyataan, contohnya Jonghyun tinggal dan sekolah di Jeonju. Jadi, kalo kurang memuaskan aku minta maaf banget *deep bow*

By the way, Happy Ied Al-Adha Everyone! Semua pada potong kambing? Alhamdulillah~

Maafin author kalo author punya salah ya..

Kabar baik lagi…

SHINee is back~ SHINee is back~

a4a7c8f589a58124a801e90cee6d409f

Everybody, wake up! wake up! 해가 뜬다!

dh9y7e

Hahaha, gimana uri-prince? Cool banget kan?

Kalian kalo mau download lagunya usahain di tempat legal ya, tapi kalo memang ga memungkinkan jangan dipaksain 😀

Yang belum denger >> disini <<

Mereka bener-bener membanggakan, baru dirilis 2 jam tapi udah berhasil geser semua peringkat di beberapa situs. Daebak!

Jangan lupa kalian nonton terus mvnya, biar makin nambah viewersnya~

Kalian juga jangan lupa voting di M!Coundown, Eat Your Kimchi, Star Sports Seoul !

Aduh author bawel banget. Yaudah deh, daripada makin panjang + lebar + tinggi author akhirin disini ya~

For readers, jeongmal kamsahamnida !

Ditunggu komentar ataupun pendapatnya *deep bow*

©2011 SF3SI, Freelance Author.

Officially written by ME, claimed with MY signature. Registered and protected.

This FF/Post legally claim to be owned by SF3SI, licensed under Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License. Permissions beyond the scope of this license may be available at SHINee World Fiction

Please keep support our blog, and please read the page on top to know more about this blog. JJANG!

Advertisement

22 thoughts on “Mystery in Symphony”

  1. cie, Jjong sok cool ih :3

    kirain cewek itu beneran hantu, tapi ternyata bukan ya, haha. Endingnya juga bahagia. Dialog terakhir itu juga romantis. Nice! 😀

  2. aku juga ngira tuh cewek hantu. em, nggak nyangka juga umur 14 tahun dah cinta-cintaan gtu #kalah jauh aku mah.
    lumayan greget dan bikin penasaran. nggak nyangka juga ternyata itu orang beneran.

    1. Aku tadinya nulis 16 tahun, tapi kepikiran kejadiannya tahun 2005 dan terpaut sama kejadian selanjutnya (yang mungkin bakal aku tulis) jadi aku ganti. Tapi pas udah dipost aku baru sadar umurnya terlalu muda ㅠㅠ

      Gomawo udah baca^^

  3. Nice FF 🙂 awalnya udah ngira ini bakal ff full setan2an XD eh trnyata mlenceng..hahaa tp keren kok~suka banget sama karakter jjong ,dn btw brrti dy umur 15th? eh awal2 aq Ngebayanginnya tbuhnya yg keker~tp pas d akir tau dy 15th jd gubrak #lolabaikan …keep writing author

    1. Kamu suka horror kah? Hehe
      Aku masukkin horror biar ngga full serius ke mystery-nya hehehe

      Anggap aja dia 15 tahun tapi badannya udah keker *w* #maksa

      Gomawo udah mampir kesini ya^^

  4. Ndyyy, maap baru komen….

    Karena dirimu minta dikritik, boleh ya aku nyampah dikit di sini, hehe ^^v
    Hmmm, dirimu masih sering nulis kata depan ‘di’, ‘ke’, tanpa spasi.

    Dari segi cerita, aku suka scene terakhir, berasa sweet aja di bayanganku.

    Cuma, di bagian pas ojong nolongin itu, berasa buru2 ndy, aku kurang ngerasa tegang kyk waktu baca scene awal2, yah, yg tempo hari aku bilang aku merinding. Aku acungi jempol buat bagian awal2, mantep!

    Ama ini, orang tuanya ngebeliin piano? Berasa timpang ndy di sini. Pertama, krn di sini ceritanya orang tuanya jahat, tp kok mau ya beliin piano. Trus, katanya mereka susah secara ekonomi, ampe utang2 kan? Apa iya keluarga yg spt itu mampu beli piano, yang notabene harganya mahal bgt?

    Keep writing! Tulisanmu makin oke ndy!

    1. Akhirnyaaaaaa~~~ *kantongin jjong (?)*

      iya eonni, aku masih bingung dengan kata ‘kesana’, ‘dimana’, ‘kemana’
      aku pernah dibilangin sama guruku juga kalo kata-kata yang menunjukkan tempat harus dikasih spasi, tapi karna cuma 1 orang makanya aku kira itu menurut dia aja, tapi ternyata emang harus pake ya? -__-v

      Aku… sebenernya… nulis adegan itu buru-buru………. :”

      mungkin karna itu aku juga ga bisa dapetin feelnya, sampe ngaruh ke tulisanku D:

      jadi ceritanya, orang tua si cewe beliin piano dengan harapan si cewe bisa jadi pianis besar yang otomatis gajinya banyak, jadi mereka bisa lunasin semua hutang. Tapi ternyata di event pertama si cewe (di acara sekolah) dengan dihadiri pencari bakat untuk pianis, yang harusnya dia bisa ngebuktiin ke orang tuanya, malah gagal gara-gara grogi.

      Masalah beli piano itu, mereka minta kesempatan sama bandar hutang buat minjem uangnya lagi buat beli piano buat si cewe dengan nyeritain peluang si cewe buat jadi pianis. Dan mereka minta waktu sampe si cewe besar buat lunasin semua hutangnya tapi si bandar utang itu bilang kalo mereka ga bisa nepatin janji, waktu besar mereka harus jual si cewe itu ke dia.. kurang lebih kaya gitu

      Gomawo eonni~ jangan bosen kritikkin karyaku yaa

  5. Kereeeennnn min ❤ ❤ ❤
    Baru liat judulnya aja udah tertarik, poster FF.a juga bagus :*
    Isinya kereeennn 😀 Tapi umur si yeoja yang baru 14 tahun masih terlalu muda hihihihii… 🙂

    1. iya hehehe, tapi angka 15 buat image badan berotot dia jatuh kah?
      Gomawo udah mampir ^-^
      Mian baru sempet bales komen *deep bow*

Give Me Oxygen

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s