Never Ever After – Part 1

Never Ever After

 

Author : Bella Jo

Main Cast : Key SHINee as Keyx | Liana Jo (OC)

Support Cast : Onew SHINee as Lucifer | Vera Zoldieck (OC) | Henry SJ as Henry | etc…(find it by yourself^^)

Length : sekuel Genre : romance, action, fantasy, tragedy, supernatural, adventure

Rating : PG-15

Summary : Mungkin angin yang membawa harumnya padaku…

Gelap.

Cepat.

Hanya itu yang berkutat dalam pikiranku. Hutan luas dengan sedikit sinar yang mampu menembus rimbun mulai kutinggalkan dan langkahku memasuki kawasan hutan yang tampak jelas dengan terpaan cahaya matahari. Nafasku ringan namun tajam, tapak kakiku terpacu cepat, mengejar langkah sepasang kaki yang telah jauh mendahuluiku. Tapi dapat kupastikan, posisi ini takkan berlangsung lama. Angin serasa mengiris tajam kulit dan pakaianku, pengaruh dari kecepatan yang kugunakan dalam pengejaran ini. Aku tak lagi dapat memikirkan warna daun dan tanah yang kupijak saat ini, namun aku tahu sebentar lagi aku akan memasuki kawasan pemukiman manusia yang biasa mereka sebut desa.

“Tidak, sebisa mungkin aku tidak melakukannya di desa. Sebisa mungkin aku dapat menghabisinya di dalam hutan…”

Manusia benar-benar makhluk yang sangat merepotkan. Mereka tamak, serakah, dan penuh nafsu. Aku tidak yakin apa mereka semua masih memiliki hati seperti yang selama ini mereka bicarakan. Mereka menyebut-nyebut perbedaan mereka dengan kami adalah hati yang ada pada diri mereka. Cih, apa mereka bercanda? Jika mereka memang punya hati, seharusnya moral mereka tidak seburuk kami.

Mencuri, membunuh, menyiksa, memperkosa… Semua bukti perilaku itu takkan bisa memperlihatkan bahwa moral mereka labih baik. Di balik tampang polos itu mereka menyimpan kebencian dan berbuat keji atas nama kebenaran. Benar-benar membuatku jijik, apa bahkan mereka memakai akal saat mengatakannya? Makhluk-makhluk bodoh yang menyebalkan, namun itu pula yang membuat mereka menarik. Tingkah mereka yang sulit ditebak membuatku kadang tidak bosan bermain bersama mereka. Dan aku penasaran sampai kapan mereka dapat membuatku tertawa dengan tingkah mereka.

“Jangan lari kau!!” geramku.

“Ampuni aku, Tuan Iblis!! Tolong jangan bunuh aku!!”

“Jangan bercanda! Walau kau mengemis sambil menciumi kakiku pun kau takkan kumaafkan!”

Manusia keji. Bisa-bisanya ia meminta ampun setelah berusaha menipu kami, kaum iblis. Dia kira dirinya siapa? Setelah menghasut beberapa iblis untuk melawanku, dia mengambil harta rampasan kami yang tersimpan di dalam gua kami lalu berusaha kabur begitu saja. Apa dia mengira aku tak pernah mengawasi tindak-tanduknya? Dia pikir bisa melawanku, iblis penguasa daerah ini dengan hasutan busuknya yang rendah itu. Hah! Menggelikan, benar-benar menggelikan.

Si bodoh ini tidak tahu kalau bukan karena aku maka desa tempatnya hidup pasti sudah habis dihancurkan kaumku…

Kami sudah semakin desa dan aku sudah bisa melihat tempat manusia itu ramai karena berisik kedatangan kami. Hah, kumpulan manusia. Walau mereka menggalang kekuatan sekalipun, keadaan takkan berubah. Lelaki sialan yang sedang kukejar ini harus habis hari ini juga.

“Kau kalah, Iblis!” teriak si lelaki dengan suaranya yang terdengar mengejek. Dengan segera aku mempercepat gerakku dan aku langsung sampai di hadapannya. Tubuhnya menghantam keras diriku namun aku sama sekali tak berkutik. Ia memandangku penuh ketakutan, heran akan kecepatanku yang berubah drastis. Luka gesek batu dan ranting tampak membaluri kulitnya, sepertinya ia menghantamku terlalu keras hingga terseret begitu jauh.

Ekspresinya berubah ketakutan. Berkali-kali ia mohon ampun seperti cicitan tikus di hadapan kucing. Ya, akulah predator yang akan mengakhiri hidupmu! Teruslah mencicit, teruslah menangis seperti bayi. Semua terdengar sangat indah bagiku. Semakin ia memohon dan menyembah sujud saat aku mendekat, semakin ingin kurobek tenggorokannya. Dan dengan satu gerakan, kuhantam ia ke arah desa.

BAM!! BRAKK TRAK TAK

Suara yang cukup hebat. Apa mungkin sakit? Entahlah, aku tidak peduli. Kutapaki langkahku memasuki areal desa. Persetan dengan kesepakatan bergencat senjata dengan mereka. Mereka juga takkan menangisi kematian manusia tak berguna seperti laki-laki itu. Aku membiarkan wujud manusiaku tampak di hadapan mereka, agar setiap orang di desa ini dapat mengingat jelas dengan siapa mereka mencari masalah jika mereka berbuat salah dengan kaumku. Dapat kulihat berbagai senjata sudah tergenggam dalam tangan beberapa orang di sini, sementara beberapa orang lainnya cepat-cepat berlari pergi.

Hunters.

Cih, lagi-lagi kawanan itu. Apa mereka tak tau bahwa tak ada gunanya memburu kaumku? Toh kami tak mudah mati dan jumlah kami tak sedikit. Bahkan banyak manusia yang menjadi sekutu kami. Aku bisa melihat sebersit rasa takut dan ragu di mata mereka untuk menyerangku. Dan benar saja, mereka tak juga menyerang walau langkahku sudah sampai di depan bangunan runtuh, tempat si manusia laknat terlempar tadi.

KRAK KRAK

Aku menarik tubuh manusia itu begitu saja. Ia berteriak kesakitan dan aku hanya tersenyum dingin mendengarnya. Aku menikmati setiap detik ia menjerit dan menggelepar sakit saat cakar-cakar beracunku menancap tajam di pergelangan tangannya. Dan aku kembali melempar tubuh manusia itu begitu saja, membuat bangunan lain rubuh karena terjangan tubuhnya.

“Iblis sialan! Hentikan perbuatanmu!!”

Ah, salah seorang hunters itu cukup berani ternyata. Aku menoleh dan tersenyum miring padanya. “Kenapa? Bukankah kalian juga merasa laki-laki ini tak berguna?” tantangku. Ia menelan ludah. “Aku sudah mencari tahu dengan pasti dan aku mendapat informasi bahwa lelaki itu salah satu buronan desa kalian. Ia pencuri, pembunuh, penjudi, pemerkosa, dan pembuat kerusuhan dalam desa. Apa lagi yang kau pertahankan darinya? Aku bahkan ragu ia masih memiliki hati…” ejekku. Mereka memandangku dengan ekspresi gamang dan aku senang menciptakan kelabilan dalam pikiran manusia. Makhluk ini terlalu lemah, terlalu mudah dimanipulasi.

“Ta..tapi, dia masih bagian dari kami! Dia bermasalah denganmu, berarti dia memerangi iblis bersama kami!!” sahut salah seorang lain. Dan saat itulah aku tertawa hebat mendengarnya. Mungkin tawaku terdengar begitu gila karena kawanan hunters di hadapanku semakin merapatkan barisan pertahan diri. Aku bahkan menahan kepala dan perutku saat tertawa, menyibak rambut hitam lurus asimetris yang menutupi mata kiriku. Tanpa ragu aku kembali mendekati tubuh lelaki sialan itu. Bisa kulihat ia batuk darah dan bagian kiri tubuhnya sudah membiru, tak dapat digerakkan lagi. Aku meraih lengan kanannya yang masih berfungsi dan menariknya tanpa ampun.

“Kalian benar-benar bodoh!” ejekku. “Kalau ia memang tidak mau mencelakai kalian, ia takkan menggiringku ke dalam desa. Ia tahu aku dapat mencelakai kalian, dan ia tetap berlari ke arah sini. Ia sama sekali tak memikirkan kalian! Ia hanya memikirkan keselamatannya sendiri!”

Peluh mengalir deras di permukaan dahi hunters tersebut, membuatku semakin tersenyum puas. “Sekarang aku akan menawarkan pilihan pada kalian. Kalian mau ia mati cepat atau perlahan? Aku yakin racunku sudah menyebar luas dalam tubuhnya. Bukankah begitu, Tuan?”

“AAAAAKKKKKHHH!!!” Ia hanya mampu berteriak saat aku meremukkan lengan kanannya, menancapkan kembali cakar-cakarku di lapisan ototnya.

“Atau kalian mau aku mempercepat kematiannya? Aku akan langsung meremukkan tenggorokannya dengan senang hati…” senyumku tersungging ramah saat mengatakannya. Dan peluh mereka semakin mengalir deras. Sambil mengalihkan tanganku ke leher calon korban, aku meneliti kawanan yang sudah mengepungku dalam lingkaran manusia. Masing-masing membawa senjata, kebanyakan busur dan panah yang dianggap dapat meyerang dalam jarak jauh, selebihnya menggenggam pedang dan pisau. Tak hanya laki-laki yang ada di antara barisan dinding manusia itu, ada juga beberapa perempuan. Sepertinya umur mereka juga bervariasi. Tapi menurut perhitunganku tak ada yang berumur kurang dari delapan belas tahun.

“AKKKKHHH!!! TOLONG! TOLONG LEPASKAN AKU!!! TOLONG!! CEPAT BUNUH IBLIS BEJAT INI!!”

Laki-laki ini bahkan tak dapat diam dalam cengkramanku, membuat telingaku sakit saja. Aku semakin mengeratkan cengkramanku pada batang lehernya. Ia mulai meronta-ronta sekuat sisa tenaganya. Dan senyumku kembang indah karenanya.

“Kenapa kau terus-terusan memanggilku dengan sebutan Iblis? Jangan seenaknya. Aku juga punya nama. Sebut aku KEYX dalam tarikan nafas terakhirmu…” gumamku tenang ke arah telinganya, namun kupastikan semua hunters di sini dapat mendengarkan ucapanku.

Para hunters mulai mengangkat busur dan menarik senarnya dengan panah runcing, semua tertuju padaku. Aku semakin puas tertawa, cengkaramanku juga semakin erat.

“KkK…hhh… Hen..ti-UHUK-kan….”

Nafas lelaki itu semakin habis. Aku masih ingin dia memohon dengan menyebut namaku. “Ups, kau masih belum menyebut namaku.”

“Akk..hhh..m Tuan…KEYX… HEn..ti-UHUK UHUK UHUK- kan…”

“Aku sudah bilang padamu…,” bisikku tepat di telinganya, “sebut namaku di tarikan nafas terakhirmu….”

“LIANA! MENJAUHLAH!!! DI SINI TERLALU BERBAHAYA!!”

Cih, suara siapa itu? Mengganggu kesenanganku saja. Apa tadi katanya? ‘Liana’? Gadis biasa mana yang terlalu bodoh hingga mendatangi tempat kelahi sekaligus eksekusi seperti ini? Aku menolehkan kepalaku dengan kesal ke asal suara. Yang kudapati hanyalah seorang gadis berkuncir tinggi tengah memegang busur dan panah yang terbidik ke arahku. Namun sepasang matanya menatap cemas ke arah seberang.

Dan aku langsung menatap arah yang ditujunya. Entah kenapa seluruh duniaku terhenti saat melihat sosok itu…

Aliran waktu seakan statis di sekitarku. Terjangan angin yang tajam berubah menjadi sapuan udara yang resah. Seluruh gerak melambat. Di antara seluruh indra wujud manusiaku, hanya sepasang mataku yang dapat bekerja sementara aku tak sanggup berpikir lagi. Terang mentari seakan menyinari dirinya dengan kemilau yang paling terang, menarik pandanganku untuk tetap tertuju padanya. Aliran debu membeku, oksigen enggan berlalu. Dan seluruh bagian diriku terfokus pada dirinya.

Sepasang mata coklat yang kecil, hidung yang tak terlalu mancung, pipi berisi, wajah bulat dan rambut hitam panjang bergelombang. Sungguh, aku sudah pernah melihat begitu banyak makhluk yang jauh lebih cantik darinya. Tapi kenapa nafasku sampai terhenti hanya karena sepasang iris coklat itu menatap lurus ke arahku? Wujud itu tampak rapuh, namun kenapa dengan mudah membungkamku? Dan seakan di dunia ini hanya ada aku dan dirinya, tak ada satupun hal yang dapat mengalihkan diriku darinya. Seakan pikiran kami saling terhubung tanpa kata, yang ada hanya kebisuan semata. Tiba-tiba aku sadar apa yang terjadi padaku. Dan bibirku ingin sekali berbisik…

“Aku menemukanmu…”

“INI KESEMPATAN KITA!! TEMBAK!!”

Tubuhku terangkat otomatis saat mendengar aba-aba serangan itu. Dalam gerak kilat, aku berusaha menemukan lagi sosok yang tadinya begitu memanjakan mataku. Namun entah kenapa aku tak dapat menemukannya, rasa panik yang ganjil mencengkram dada dan pikiranku. Di mana dia?

“Sial! Iblis itu berhasil lolos!! Cepat! Bidik lagi ke arahnya?”

Seluruh kesadaranku kembali. Kuraih tubuh manusia yang sempat terlepas dari cengkramanku. Ah, sepertinya serbuan panah yang tadi diarahkan padaku malah tertuju penuh pada dirinya. Sayang sekali, aku tak sempat meremukkan tenggorokannya. Ia malah mati karena orang-orang yang mengaku ingin menyelamatkannya. Aku kembali tersenyum miring. “Seperti ini cara kalian menyelematkan seseorang yang kalian akui bagian dari kalian? Lihatlah, berapa anak panah yang tertancap di tubuhnya. Aku bahkan malas menghitungnya…”

“SERANG!!”

“Eit, kurang cepat~”

Aku berdiri di atas pedang salah seorang hunters. Tubuh yang tadi kupegang kembali diserbu puluhan anak panah. Si pemilik pedang menatapku ketakutan, keringat membanjiri dirinya. Aku tersenyum ganjil, membiarkan pedangnya lenting ke bawah karena berat tubuhku. Sebelum ia berhasil merangkai sebuah kalimat, aku langsung menghentak kaki dan berlalu dari tempat itu. Semua hunters berseru nyaring, membuatku perutku geli dan ingin tertawa keras karenanya. Mereka menghujamkan puluhan panah ke arahku, sayangnya tak ada satupun yang mengena. Ah, kalau kena sekalipun, mereka tak dapat melukaiku. Perbuatan yang sia-sia.

Sepetik harum angin membuaiku. Membuatku teringat pada sosok gadis tadi. Saat mataku kembali berusaha mencarinya, aku tak dapat menemukannya. Harum cemara dan kayu basah yang manis, harum yang kutangkap dari dirinya saat kami bertemu pandang tadi. Harum yang spesifik menurut indra penciumanku. Namun indra penglihatanku tak dapat menangkap sosoknya. Perlahan aku mendesah ringan.

Mungkin angin yang membawa harumnya padaku…

***

Iblis tidak bisa merasakan cinta.

 

Rimbun dedaunan memenuhi pandanganku, bersamaan dengan warna coklat tanah dan ranting. Daun-daun itu membisikkan kegelisahannya dalam gesek yang tak berirama. Bebatuan kering memekik pelan begitu hentak kaki memecahkannya. Angin menyapu rindu, menghempas tiap kelopak mawar hitam yang tumbuh liar membentuk belukar indah nan tajam. Warnanya tersenyum ceria dalam kesenduan, melukis sepi dalam kebimbangan. Tiap helai kelopak yang jatuh karena tersapu angin menarik memoriku akan bayangnya.

Tidak, tidak boleh! Sama sekali tidak boleh!!

Ingin rasanya kuhenyakkan tubuh dalam peluk belukar mawar itu. Ingin rasanya tiap balutan duri yang halus dari bunga yang menggoda itu mengoyak seluruh jengkal memori tipis akan dirinya. Harum tubuhnya yang dibisikkan angin pada indra penciumanku serta cahaya matanya yang begitu membuaiku, tak bisakah dikikis aroma pekat mawar-mawar hitam ini? Namun semakin ingin aku melupakannya, semakin ingin pula aku menyimpan tiap titik kenagan akan dirinya dalam pikiranku.

Dan karena itulah aku ingin belukar mawar ini mampu merobek diriku, menghilangkan bayangannya yang selalu tampak saat aku memejamkan mata walau sesaat.

Aku ingin mengingatnya.

Tidak bisa! Kau harus menghapus dirinya dalam bayangmu!

Aku ingin bertemu dengannya.

Tidak! Kau pasti akan semakin diombang-ambing dirinya!

Aku mulai merindukannya.

Tidak! Tidak! Tidak! Tidak boleh!!

Dan tubuhku pun jatuh dalam peluk semak mawar hitam di hadapanku. Durinya yang tajam serasa menyayat, namun tak satupun bagian dari gadis itu yang lepas dari pikiranku. Baru kali ini aku merasa kepalaku sangat sakit hanya karena memikirkan seseorang. Dua suara seakan bertempur dan bergaung dalam telingaku, melontarkan kalimat-kalimat yang saling bertolak belakang. Aku menutup telinga, namun kedua suara itu tak juga berhenti. Akhirnya aku hanya bisa terbaring lemas di atas kumpulan duri tajam itu. Ingin rasanya aku menutup mata.

Iblis tidak boleh merasakan cinta.

Dan yang mampu terlontar dari bibirku hanyalah tawa gila yang tak mampu meredam semua rasa.

“Ya, aku bahkan tak tahu apa itu cinta…”

***

“Keyx, dari mana saja kau?”

Aku hanya mampu tersenyum tipis saat kawanan iblisku menyambut di kastil kami. Sungguh berbeda dengan senyum penuh percaya diri yang biasa kutunjukkan. Dan dapat kulihat kebingungan terpancar dari berbagai pasang mata kumpulan makhluk malam itu. Ingin aku menertawakannya, tapi bibirku bahkan tak mampu terangkat lebih tinggi. Yang keluar hanya desah nafas resah yang terhembus ganjil dari bibirku. Sudah berapa lama aku tidak merasa resah?

“Apa yang terjadi padamu?”

Aku tidak tahu siapa yang melontarkan kalimat itu tapi aku dapat membayangkan betapa menyedihkannya diriku di mata mereka. Aku melambai tangan sekilas dan berkata, “Tidak ada apa-apa. Aku hanya baru kembali dari desa untuk memburu tikus kecil yang menyusahkan.”

“Dan kau gagal?”

Cih, kalimat itu membuatku kesal. Namun entah kenapa rasa marah itu teredam seketika. Aku hanya menghenyakkan tubuhku di atas sofa merah yang empuk dan membiarkan kepalaku yang luar biasa sakit memanjakan diri dalam damai hamparan bantal. Sebelah lenganku terangkat menutupi wajah, menghalangi sinar apapun yang menusuk mataku. Suasana berubah berisik. Apa mereka benar-benar berpikir seorang Keyx gagal berburu tikus kecil?

“Tidak, ia berhasil kusiksa dengan cara yang menyakitkan. Bahkan aku tidak perlu turun tangan menghabisinya. Para manusia –hunters– itu yang membunuhnya. Yah, walau dengan tidak sengaja…” bisikku berat. Dapat kurasakan pandangan mereka menghujamku heran, menambah rasa sakit di kepalaku. Ayolah, iblis-iblis aneh, bisakah kalian tinggalkan aku sendiri?

Hening terdengar, tak ada satupun tanggapan. Nafas lega keluar dari mulutku dan aku berusaha memejamkan mata untuk sekedar mengistirahatkan pikiran.

Sial.

Mataku langsung terbuka dalam sekejap. Bayangan akan gadis itu kembali mengisi pandanganku walau mataku hanya terpejam sekilas. Sampai kapan ini akan terus terjadi. Aku benar-benar tidak tahan. Sudah berjam-jam lamanya aku menenggelamkan diri dalam semak mawar, kaktus, bahkan hamparan bebatuan tajam. Namun tak sedikitpun aku melupakan dirinya. Ingin sekali aku menjambak rambutku, berharap semua bagian dari dirinya lenyap begitu saja. Namun sama sekali tak berhasil. Tidak sama sekali. Aku masih belum percaya bahwa aku telah menemukan…

“Keyx…”

Seseorang memecah keheningan. Aku mengerang pelan, berusaha menarik tubuhku yang berat untuk duduk santai seperti biasa. Seketika aku mendapati Henry, salah satu iblis yang tinggal cukup jauh dari kawananku, telah duduk tak jauh dariku. Aku menatapnya heran. Sudah sangat lama sejak terakhir kali ia bertandang ke kastilku. Anehnya lagi, wajahnya tampak tidak senang, seperti ada masalah yang hendak disampaikannya padaku.

“Ada ap-“

“Aku kehilangan sejumlah kawananku,” ujarnya, suaranya yang halus terdengar tajam di telingaku. Alisku langsung berkerut. Kawanan Henry dikenal sebagai kawanan yang sangat kuat, mereka menguasai musik sebagai senjata mereka. Tak kusangka hal ini dapat terjadi. Ia menarik nafas panjang dan dengan ekspresi yang rumit akhirnya ia mau menjelaskan.

“Semua karena ‘soulmate‘ mereka…”

DEG

Tiba-tiba aku kehilangan lebih dari separuh tenagaku. Semua karena satu kata sakral itu. Ya, soulmate.

“Kau tahu bagaimana kita dikutuk untuk memiliki soulmate yang tidak hanya sebagai sumber kekuatan, tapi juga sebagai pusat dari perasaan kita, Keyx. Soulmate yang selalu menjadi kelemahan tiap iblis dan hanya ada satu soulmate selama iblis itu hidup. Ya, kawananku terjebak perasaan mereka yang terlalu menomorsatukan soulmate mereka,” jelas Henry. Aku tertegun di tempatku. Kedua bola mata Henry yang merah menyala tampak begitu bimbang, begitu menyayangkan seluruh takdir yang mengikat kaum kami. Dan aku mengerti akan hal itu.

Karena hampir tidak ada iblis yang bernasib baik jika terkait akan ‘soulmate‘-nya.

“Apa mereka… dibunuh?” tanyaku, kuusahakan agar nadaku tidak ikut bergetar terbawa perasaan. Tatapan Henry menyendu walau ekspresinya masih tampak keras. Dan dengan gerakan sederhana ia mengiyakan ucapanku. Aku menelan ludah dengan susah payah. “Tapi bukan mereka target awalnya. Mereka hanya ingin melindungi soulmate mereka,” sambung Henry lagi.

Soulmate mereka… bukanlah manusia baik-baik. Para prianya merupakan buronan dunia hitam sementara gadis-gadisnya adalah pencuri dan pembunuh bayaran. Tapi kenyataan itu tetap tak bisa membuka mata kawananku,” jelas Henry agak emosi. Ia menggeram pelan, mengeluarkan amarahnya yang amat sulit tersalurkan. Ia menggenggam erat tangannya, membuat buku-buku jarinya tampak semakin putih. Aku semakin mencondongkan badan, menatap serius dirinya yang semakin tampak gelisah.

“Krystal bahkan tak mau mendengar ucapanku dan tetap berusaha melindungi soulmate-nya dengan berbagai cara,” sesal Henry, suaranya yang halus semakin terjepit emosi. Ia menampung kepalanya dengan kedua belah tangan. Bibirnya semakin kemerahan karena gigitannya. Entah kenapa, mungkin karena selama ini Henry memiliki perhatian khusus pada Krystal, salah satu iblis kawanannya itu. “Begitu pula dengan Luna, dan bahkan Amber.”

“Siapa yang membunuh mereka?” tanyaku tak sabaran. Henry langsung menatapku dengan sepasang matanya yang cekung karena terpangkasnya jam tidur. Bara berkobar tampak di kedua bola merah yang memantulkan bayanganku tersebut saat ia berkata, “Soulmate mereka.”

Apa?

Soulmate merekalah pelakunya, yang merampas nyawa mereka hanya untuk mendapatkan uang yang dijanjikan di pasar gelap. Manusia-manusia jahanam itu yang menyia-nyiakan perasaan kawananku demi setumpuk uang yang sama sekali tak sebanding! Mereka membunuh kawananku, menukarkan nyawa, pengorbanan dan cinta tak berujung itu dengan beberapa kantung koin emas. Dan mereka tertawa-tawa puas setelah melakukannya. Kau tidak tahu betapa marahnya aku saat itu, Keyx…” ucap Henry lamat-lamat. Aku bisa merasakan amarah yang terpancar dari suara, tatapan mata, dan gerak tubuh iblis berbadan sedang dengan pakaian rapi di depanku ini. Aku menatapnya tak percaya, ternyata manusia memang bisa lebih kejam daripada iblis seperti kami.

“Akhirnya aku sadar tak ada gunanya selama ini kami menjaga hutan agar binatang-binatang tak banyak mengamuk dan mengganggu kehidupan manusia. Tak ada gunanya selama ini aku menjinakkan para binatang dengan melodiku demi berkurangnya nyawa manusia yang berjatuhan. Manusia itu makhluk yang kejam, picik, dan munafik. Mereka memasang wajah tidak bersalah sementara tindakan mereka terus-terusan mencerminkan dosa. Memang sebaiknya kita menghancurkan mereka sebelum kaum kita semakin berkurang karena sesatnya tipu daya mereka…”

“…Harusnya kitalah yang menyesatkan mereka. Hah, ternyata dunia sudah berbalik sekarang!!”

Aku menggenggam tanganku erat-erat. Dua suara kembali bertempur dalam kepalaku. Keduanya saling menggema seakan ada dua orang yang berbicara di tiap sisi telingaku, menancapkan kata-kata yang keras dan tegas di tiap kalimatnya.

Lihat, kau akan hancur jika membela manusia!

Tapi aku yakin gadis ini berbeda.

Semua manusia sama! Sama-sama munafik dan menjijikkan!

Tapi gadisku tidak mungkin melakukan itu.

‘Gadismu’? Hah! Sejak kapan ia menjadi gadismu?!

Ia berbeda.

Kau akan semakin terperangkap olehnya!!

Kepalaku terasa berdenyut keras. Dan dadaku terasa begitu sesak, seperti ada puluhan balok kayu yang memukulinya tanpa ampun. Kepalan tanganku semakin tergenggam erat dan ingin rasanya aku menumpahkan semua rasa ini dengan menghancurkan sesuatu. Aku sudah hampir mencapai batas. Benar-benar hampir tidak sanggup lagi.

“Key, kau belum menemukan soulmate-mu kan?” Pertanyaan Henry semakin mencabik dadaku, membuat lidahku kelu, tak mampu mengatakan satu kalimatpun. Bola matanya yang tampak kosong menatap langsung ke dalam mataku, menusuknya dengan tatapan khasnya yang mengerikan. Wajahnya yang tanpa ekspresi itu semakin menyudutkanku.

“Kalau kau menemukannya, bunuh dia! Sama seperti saat aku membunuh manusia-manusia jalang yang entah kenapa ditakdirkan menjadi soulmate kawananku itu. Bunuh dia sampai tak bersisa, sampai kau tak merasakan sesal karena telah bertemu dengannya.”

DEG

Ucapan Henry menembus ulu hatiku. Dan sebuah suara lantang bergauang hebat dalam kepalaku.

Henry benar! BUNUH DIA!!

Seketika berbagai rasa yang kupendam meledak begitu saja, membiarkanku menghancurkan seisi ruangan tersebut, memaksaku mengeluarkan semua kegelisahanku sampai tak bersisa. Dan begitu seluruh kesadaran mampu kukumpulkan kembali, dan nafasku yang tak beraturan mulai mengalir seperti biasa lagi, hanya satu hal yang memenuhi pikiranku.

AKU HARUS MEMBUNUH GADIS ITU SEBELUM IA YANG MENGHANCURKANKU…

***

Bunuh dia! Bunuh dia!

Suara itu memenuhi isi kepalaku dan mengaburkan pandanganku. Setelah membuat keributan dalam kastil dan mengantarkan Henry pergi, aku segera bergerak menuju desa tersebut. Setiap pasang mata iblis memandangku tidak mengerti namun tak ada satupun yang melarangku pergi. Padahal kami dan manusia di desa itu sudah pernah sepakat untuk tidak saling melanggar batas wilayah, tapi untuk kali ini aku tidak peduli.

Ingatan akan gadis itu terekam jelas di otakku, berputar seperti rekaman rusak di tiap deru nafasku. Langkahku yang berat membawa tubuhku yang kaku melewati hutan yang gelap di sisi daerah kami menuju hutan yang terang. Saat melewati anak sungai, bisa kulihat pantulan diriku di atasnya. Yang tampak di sana adalah seorang pria berpakaian serba hitam dengan rambut hitam pendek asimetris dan warna kulit yang putih pucat. Lembar-lembar kain dari pakaianku melambai garang tertiup angin kencang sementara kedua mataku yang merah menyala malah tampak kosong tak berisi. Begitu kakiku menginjak aliran air itu, membuatnya memercik ke mana-mana, barulah pikiranku mulai jernih.

Jika aku ingin membunuh gadis itu, aku harus tahu segala hal tentang dirinya.

Dan dengan pikiran itu, aku menyamar dengan mengubah wujudku sebagai lelaki tua renta. Aku akan mencari tahu berbagai hal tentang dirinya, dan saat dia lengah, aku akan menghabisinya. Dengan modal rencana itulah aku kembali melangkah cepat ke arah desa, berniat untuk memperlambat langkah begitu hampir sampai di desa itu.

Gadis itu hanya akan menjadi kelemahanku, aku tidak akan punya kelemahan lagi saat ia tiada. Oh, dan ingatkan aku bahwa iblis memang tidak bisa dan tidak boleh merasakan cinta.

Karena cinta adalah omong kosong.

Lalu lalang manusia, derit roda kereta kuda serta ramai teriakan-teriakan pengantar penjaja dagangan. Cih, sulit sekali menemukan gadis itu di tengah desa ini. Seingatku tempat ini tak begitu luas dan penghuninya tak begitu banyak. Kenapa bisa jadi sesulit ini hanya untuk menemukan satu orang saja? Semakin aku memasuki tempat itu, semakin jelas alur kehidupan di sana. Desa ini didominasi para hunters sementara sisanya adalah penduduk biasa. Ada semacam pasar di desa ini, pasar yang cukup ramai, dan hampir semua orang berkumpul di sana.

Sial, di mana gadis itu?

“Anda butuh bantuan, Pak?”

Aku agak terkejut saat seseorang menyapaku, seorang lelaki paruh baya yang tampak jauh lebih muda dari umurnya. Ia tersenyum ramah. Tangannya yang kekar menepuk pelan bahuku tadi. Wajahnya kusam dan tirus, memperlihatkan garis-garis halus perjuangan hidupnya. Namun senyumnya terkembang lebar, membuat kesan ceria yang kekanakan dari dirinya. Aku kembali teringat akan penyamaranku dan berusaha untuk berlaku seperti laki-laki tua.

“Aku sedang mencari seorang gadis,” ucapku dengan suara bergetar khas kakek-kakek. Ah, kenapa sulit sekali? “Namun aku sama sekali tidak tahu nama maupun tempat tinggalnya, aku hanya tahu wajahnya…”

“Oh, benarkah?” tanggap pria itu, ia menggiringku ke kedai makan terdekat dan mempersilakanku duduk. Mungkin ia berpikir lelaki yang tampak renta seperti sosokku takkan mampu lama-lama berdiri. Ia manggut-manggut sejenak sambil menopang dagunya, mungkin sedang berpikir. Ingin sekali aku memutar bola mata dengan malas karena begitu banyak waktuku yang terbuang untuk menunggunya berpikir. Tapi kutahan diriku sebisa mungkin. Ayolah, jangan perlambat gerak iblis ini!

“Setahuku hanya ada lima orang gadis di desa ini. Sisanya adalah wanita yang sudah menikah dan anak-anak,” ujarnya. Ah, bahkan dia memesan minuman pada pelayan. Sepertinya ia akan menahanku di sini dalam waktu lama. “Yah, kau tahu bahwa desa ini memang tidak terlalu besar dan hampir seluruh penduduknya adalah hunter. Jadi tak heran jika jumlah gadis di sini sedikit.”

“Siapa saja mereka?” tanyaku tak sabar.

Lelaki itu mulai menjelaskan satu persatu tentang gadis-gadis itu dan menceritakan asal usul mereka. Aku tidak perlu mencatatnya, aku dapat mengingat semuanya dengan sempurna, sama seperti saat aku mengingat tiap detail yang ada di pakaianku. Setelah menjelaskan panjang lebar tentang gadis ketiga, ia menarik nafas panjang dan minum sejenak. Hei, hei! Apa kau baru ikut marathon?

Tiba-tiba pandangannya terhenti saat melihat seseorang di seberang, orang yang mungkin kupunggungi. Dengan mata tetap melihat pada titik tersebut, ia seakan memaksaku untuk ikut melihat ke arah tersebut. Ia kembali menjelaskan, “Yang keempat dan kelima adalah dua gadis yang tengah berjalan di seberang sana. Vera Zoldieck, gadis bertubuh sedang yang tengah membawa panah, pedang, dan pisau. Ia yang memakai pakaian serba hitam. Ia salah satu bagian dari hunters. Dan yang kelima…”

Oh, nafasku seakan terhenti.

Angin seakan kembali menghembuskan harum dirinya ke arahku dan mati-matian aku berusaha tidak terpikat olehnya. Dia tengah berdiri di sana, hanya melempar senyum ke arah gadis yang bernama Vera. Rambut panjangnya yang hitam bergelombang, kedua iris matanya yang berwarna coklat, serta bibir tipisnya yang terlihat penuh saat ia tersenyum. Tidak salah lagi. Itu dia.

“Namanya Liana Jo,” jelas si lelaki. Aku tak menoleh ke arahnya, mataku hanya terpaku pada kedua gadis yang terus berjalan dan akhirnya hilang di sisi jalan. Sempat Liana bertemu mata denganku dalam waktu sepersekian detik dan aku merasa dunia terhenti dalam rentang sempit waktu. Si lelaki menggumamkan tawa dengan suara rendahnya dan berkata, “Sepertinya kau sudah menemukan orang yang kau cari.”

“Liana Jo,” aku mencoba nama itu di mulutku dan rasanya ganjil. Baru kali ini aku merasa bersemangat untuk mengetahui identitas seseorang. “Seperti apa dia?”

“Ah, dia yatim piatu yang ditinggal mati orang tuanya belasan tahun lalu. Penyendiri dan tak mudah ditebak. Tak banyak yang kuketahui tentangnya. Setahun lalu ia masih ikut latihan sebagai hunter dan lulus dengan nilai yang anehnya cukup memuaskan. Dia tinggal di pinggir desa, di dekat tempat terakhir iblis menyerang desa ini. Ah, apa kau tahu tentang penyerangan kemarin? Salah seorang buronan desa ini mati setelah dikejar-kejar iblis.”

Oh, ayolah. Aku tahu cerita itu. Aku ada di sana dan meremukkan lehernya dengan tanganku sendiri. Aku hanya perlu cerita tentang gadis itu, gadis bernama Liana itu!

“Dan… Liana?”

“Oh, tempat tinggalnya tepat di samping rumah yang hancur. Tapi sepertinya tak ada yang aneh dengan dirinya. Ia juga masih menemani Vera berlatih di hutan seperti biasa. Yah, walau aku tidak yakin apa yang dilakukannya di sana,” jelas si lelaki lagi. Ia meminum tetesan terakhir dari gelasnya dan tersenyum puas dengan penjelasannya.

Aku heran, kenapa dia bisa tahu banyak hal tentang gadis-gadis di desa ini. Apa dia maniak?

“Jangan heran dengan penjelasanku,” ucapnya seakan mengerti isi kepalaku, “Aku hanya merasa perlu mengetahui hal-hal yang ada di sekitar putri semata wayangku. Itu tugasku sebagai seorang ayah.” Sebuah kebanggan terpancar dari matanya. Ia tersenyum lebar.

“Kau ayah salah seorang dari mereka?”

“Ah, aku belum memperkenalkan diriku padamu,” gumamnya bodoh, seperti baru ingat hal yang paling penting. Ia menyodorkan tangan kanannya padaku dan tersenyum lebar, “Namaku Zoe Zoldieck, aku ayah dari Vera Zoldieck.”

Oh, pantas saja.

***

Liana Jo

Liana

Nama itu terus berputar-putar dalam kepalaku, begitu pula gambaran nyata sosoknya yang baru benar-benar kulihat tadi. Berbekal namanya, aku berhasil mencari tahu beberapa hal tentang dirinya. Namun tidak banyak, semua penjelasan tentang dirinya hampir sama dengan yang dikemukakan pria bernama Zoe Zoldieck itu. Selain itu, aku juga hampir tidak bisa menemukannya di manapun di desa ini. Dan tempat terakhir di mana aku bisa melihat jelas dirinya lagi adalah di rumahnya. Walau begitu, aku tidak yakin aku akan sabar menunggu sampai ia pulang ke rumah.

“Tuan, apa yang sedang kau lakukan di sini?”

Aku tertegun sekilas saat seorang gadis menyapaku. Aku memandang sekeliling dan barulah aku sadar bahwa aku sudah berada di depan pagar mungil rumah Liana. Tunggu, sejak kapan aku berada di sini?

“A…aku mencari seseorang,” jelasku dengan suara gugup. Tunggu, kenapa suaraku tidak seperti kakek-kakek lagi? Gawat, gadis ini pasti curiga! Tapi anehnya aku tidak menemukan keganjilan dalam ekspresi wajahnya. Gadis itu hanya tersenyum sekenanya sambil menatapku. Ah, tatapannya seakan ditujukan pada orang sebaya. Memangnya penampilanku sedang seperti apa, sih?

“Kau pasti sedang mencari Liana, ya?” tebaknya langsung, membuatku sempat meredam debar jantung. Ia tersenyum saat menyadari perubahan ekspresiku. “Tumben ada pria muda yang mencarinya. Kalau boleh tahu, kau siapa? Kekasihnya? Waaaah… Liana tidak pernah cerita kalau dia punya kekasih setampan dirimu..!”

Kekasih? Aku bahkan ingin membunuh gadis itu.

Aku menyadari bagaimana penampilanku sekarang. Wajahku sudah tidak dipenuhi kerutan dan keriput lagi. Rambutku juga sudah berwarna hitam seperti sedia kala. Tampilanku normal layaknya pemuda-pemuda biasa. Hanya saja aku masih bisa membanggakan wajahku yang jauh lebih layak pandang dibanding wajah pemuda lainnya. Seringaian muncul di bibirku saat ingat kata yang diucapkan oleh gadis ini. Hah, kekasih?

“Sejak kapan kalian saling mengenal?” tanya gadis yang akhirnya dapat kuingat sebagai Vera Zoldieck. Ia tampak antusias, mengingatkanku pada gadis-gadis berisik yang selalu heboh jika sudah menyangkut tetang cinta. Aku berusaha menahan tawa dan tersenyum normal. Ee… Liana belum mengenalku, bukan? Yah, aku bisa menciptakan cerita seolah-olah aku bertepuk sebelah tangan.

“Aku mengenalnya sejak…ah, entahlah. Aku tidak begitu ingat kapan waktunya. Yang bisa kuingat jelas hanya sosoknya.” Dan dengan bekal itu pula aku ingin membunuhnya. “Mungkin dia tidak kenal siapa aku, tapi aku ingin semakin mengenalnya.” Untuk membunuhnya.

“Oh, manis sekali. Liana benar-benar gadis yang beruntung!” Reaksi Vera membuatku tak dapat menahan seringaian. Gadis di hadapanku ini mulai tenggelam di dunianya sendiri. Aku yakin dia pasti membayangkan betapa indahnya petemuan aku dan Liana, lalu berujung pada romantisme yang…yah, hanya ia dan imajinasinya yang tahu.

Padahal aku datang dengan niat yang jauh dari itu.

“Jadi, apa mungkin kau tahu di mana dia sekarang?” tanyaku memecah hening. Tentu aku tak tahan berlama-lama menunggu gadis itu kembali ke alam sadarnya. Ia tersentak dan mengembangkan senyum yang sangat lebar, aku jadi takut sendiri melihatnya. Ia bertepuk tangan gembira nan heboh. Tangannya menunjuk ke arah hutan dengan sumringah dan ia pun berkata, “Liana selalu berbaring di hutan timur, di bawah teduh pepohonan mapple. Kalau kau ke sana sekarang, ia pasti tengah terlentang di atas gundukan daun mapple. Ia sangat suka berada di sana. Kalau kau mau mendekatinya, ini saat yang tepat!”

“Apa benar tidak apa-apa jika aku ke sana? Bisa saja ia terganggu karena kedatanganku,” ucapku pura-pura resah. Namun hatiku benar-benar puas mendengar kicauan gadis di hadapanku. Dia tidak tahu bahwa mulut besarnyalah yang akan menghantarkan sahabatnya ke alam kubur.

“Tidak apa-apa! Justru akan semakin romantis!” desaknya lagi. Aku tersenyum lebar penuh kemenangan, “Baiklah kalau begitu. Terima kasih atas informasinya.”

“Terima kasih kembali. Sungguh, akhirnya ada pemuda yang menunjukkan keseriusannya untuk mendekati Liana. Aku harap kalian berdua bisa menjadi pasangan yang baik. Aku sudah tidak sabar melihat semua sepi itu terhapus dari wajah Liana,” jelas Vera lagi. Aku tercenung mendengarnya.

Gadis itu kesepian?

“Sudah saatnya Liana memiliki orang yang mampu menopang kehidupan serta beban hatinya. Aku tidak tahan melihatnya seperti itu terus. Ia juga berhak bahagia.”

Apa keadaannya sebegitu menyedihkan?

“Oh! Oh! Aku harap kau bisa membahagiakannya. Jaga dia untukku, oke?”

Aku hanya terdiam mendengar tuntutan itu. Bibirku mampu menyunggingkan senyum paksa saat melihat ekspresi penuh harap Vera. Ia tampak sangat senang, seakan-akan ia yang mendapat semua kebahagiaan itu. Padahal aku sama sekali tidak berniat baik pada Liana. Aku ingin membunuhnya, kau tahu?

“Nah, cepatlah. Jangan membiarkan semua kesempatan terbuang begitu saja.” Vera menepuk bahuku dan mendorong pelan punggungku. Aku menatapnya seperti orang linglung. Gadis ini benar-benar serius menyerahkan sahabatnya pada orang yang baru dikenalnya sepertiku. Apa tipuanku tampak begitu meyakinkan? Bahkan aku tidak yakin pada diriku sendiri. Ia menunjukkan arah yang harus kutempuh untuk bisa bertemu dengan Liana lalu menyemangatiku dengan senyumannya. Seharusnya aku merasa senang, tapi kenapa semua malah menjadi begitu berat?

Sebelum aku benar-benar pergi dari hadapannya, ia berseru dan membuatku menoleh. Dengan wajah polosnya ia berkata, “Kita bahkan belum saling kenal. Namaku Vera, kau?” serunya, cukup memaksa agar suaranya sampai padaku dari jarak yang cukup jauh.

“Aku Key,” gumamku sekenanya dan segera berbalik pergi.  Seringai muncul menghiasi bibirku. Dan dua suara kembali bertempur di dalam kepalaku.

__Tbc__

©2013 SF3SI, Bella Jo

bella-jo-signature

Officially written by Bella Jo, claimed with her signature. Registered and protected.

This FF/Post legally claim to be owned by SF3SI, licensed under Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License. Permissions beyond the scope of this license may be available at SHINee World Fiction

Advertisement

15 thoughts on “Never Ever After – Part 1”

  1. First, I should make an apology since I can’t keep my words
    Okay, finally I can write an appropriate comment (I’m triyin’) after calming myself down
    I ain’t suppose to wake up late—like I’ve said on yesterday’s text—but insomnia and jinki’s side distracted and took me down

    Second, please excuse my mishap with words since my brain doesn’t work properly

    how much I should say that I’m madly in love with bum’s raven hair? and this RDD’s style is successfully weaken my knees
    but rather than a devil, I see him as a guardian
    the one that protect them instead ruin their life with soul-selling contract
    *excuse my devilish-cunning-mind*
    but you’re right, people is somewhat much much evil than the devil itself

    actually, I wished that the fight part would last longer
    but it seems like you didn’t want us to focus on the spurting blood but the awed Bum
    I demand for more fight scene, more wound and much blood
    okay, it ain’t thriller btw
    *throwing myself to the nearest wall*
    but the first meeting at warfield was a good start *thumbs up*

    aah, I see
    this devil-soulmate thing will lead them into some uncertain event that make them break down little by little right?
    hehehe I can’t wait the feeling-flipping moments
    and I can’t say more for the first part since the devil Bum just ruined my mind with blood on his hand

    okay, before I ruin your comment box even further
    I really should go for wash and prevent myself from the nearest wall
    *like really I can’t stop imagining how attractive cockydevil!Bum and frustrateddevil!Bum are*
    the second part really should be posted as soon as possible
    count it as my bday present, will you? *slapped*
    OKAAAYYY I SHOULD STOP FOR REAL
    can’t wait for next part, bel ^^

    ps.
    I should tell you that it somewhat funny to realize that I was jamming into SHINee Dangerous while reading yours and commenting in this box
    like the devil-soulmate relationship, dangerous
    so dangerous~

    1. first, i’d like to say that it doesn’t matter to give comment not as soon as you’d said before. I woke up late too so we’re even. kekeke….
      and, i should make apology to you cuz i didn’t reply your text yesterday. so much happened and they scrambled in my head, made me really dizzy. so, i even couldn’t think of any right thing to tell you…

      i really love Bum with his raven hair. it’s sexy. kekeke…
      oh, maybe i have to tell you that Never Ever After has a before story called Butterfly. if you want to know how Bum acted as a guardian-devil, it’ll be good to check it in this site’s library. keke…
      as a devil, Bum did have heart. he even cared for human although he didn’t realize it. and that’s one of his cute parts.^^

      yup, i want to tell readers how surprised Bum was. he found his soulmate in a warfield, when he wanted to kill someone. but, if you like much blood and thrilled thingy, i’ll try it next time^^

      next part the story will become more complicated, like i always do with my stories. and i hope you’ll enjoy it.
      oh, when is ur b’day? i hope i can make it in time.

      thanks a lot, Chrys. and btw, i really love Dangerous and Bum’s image with that song. it’s good to know you enjoyed this story with one of my favorite song.
      i hope you’ll come back next time. thanks for dropping by here~

      1. hahaha nevermind, bel
        have a good rest, okay?

        Bum’s raven hair is sexy as hell *sorry my words*
        aah, I think it was for taem’s bday, right?
        gotta read ’em after the first round of mid term

        I like to be all bloody and yeah you shouldn’t do it if you feel uncomfortable
        that’s only based of my preference
        okaaaay, I know that we should wait for the third part to get it better
        since the third is charm hehehe

        mine is right before jjongie’s 25th bday 😀

        and basically the moves in Dangerous is pretty dangerous too
        I’ve watched it the night before throwing myself to the nearest wall with this fic
        yeay, I dunno that you like the song
        I dooooo
        I’ll be back for the next part ~

  2. wah…. pertarungan antara iblis dan manysia lagi y? sepertinya Key dah ketemu soulmate-bya deh..
    sebenarnya Liana itu orangnya seperti apa sih??? masih penasaran ma kàrakternya…
    dan Key dh jatuh cinta duluan ma Liana, kira2 gimana reaksi Liana klo tau Key mau membunuhnya y??
    bener2 penasaran ma next part
    I’ll wait your next part…
    Keep writing!!
    Fighting!! 🙂

    1. yups, ini masih bagian dari cerita devil’s game, makanya masih berkisar akan hal itu^^

      Liana itu….intinya dia g mudah ditebak n kamu pasti akan tahu setelah baca habis cerita ini. kekekek….

      thank you for dropping by~

  3. Akhirnya keluar jg part 1 nya… langsung seru ja nih ceritanya…
    wah…. pertarungan antara iblis dan manysia lagi y? sepertinya Key dah ketemu soulmate-nya deh..
    sebenarnya Liana itu orangnya seperti apa sih??? masih penasaran ma kàrakternya…
    dan Key dh jatuh cinta duluan ma Liana, kira2 gimana reaksi Liana klo tau Key mau membunuhnya y??
    bener2 penasaran ma next part
    I’ll wait your next part…
    Keep writing!!
    Fighting!! 🙂

  4. Key galou berat nih.hihi.
    Segeralah pertemukan mereka berdua, Bella. aku udah ga sabaran berbagi imajinasiku sama Vera tentang romansa Key dan Liana.ahahahah.
    Aku juga penasaran sama latar belakangnya Liana.
    Terus nanti mereka bakalan jatuh cintanya gimana? Kepo abis.

    Oh ya, pengegmbaranmu soal aroma Liana itu, aku tiba2 ngebayangin aroma sandalwood gitu.hihi. *agak ga penting*

    oKEY, next part please…. 😉

    1. iy, kk. sengaja bikin key galau dsini, d dunia nyata kn dia katanya g mau dket2 ama cinta dulu krn bakal ganggu kerjaan hah, dasar lelaki #curcol

      silahkan berimajinasi dulu utk romansa mereka berdua. hahaha… jatuh cintanya? tunggu part selanjutnya, y~

      sandalwood? kok bisa? karena dhutan2 gt?

  5. ini lanjutannya Butterfly ya Bella?
    yang si Taemin kasih kutukan ke iblis biar punya soulmate, dan aku inget karena nama Keyx itu^^

    gak sabarnya si Key mau ketemu Liana kyknya bukan karena mau ngebunuh si Liana deh, tapi karena udah jatuh cinta 😀

    ditunggu part selanjutnya Bella^^

    1. hihihi… kk tau aja. iy, ini lanjutan Butterfly. ada beberapa yg minta untuk bikin cerita key-liana makanya bella buat. tapi nggak tau deh yg pda minta kmrn itu udh kmana -_-”

      si key itu…hehe… rasa memang sulit dimengerti kn, kk?

      ok, kk. tunggu aja y~

  6. keren banget kata-kata nya, penasaran sama Key waktu nanti ketemu sama Liana nya, gimana reaksi si Liana nya
    gak sabar nih..lanjutin dong ke part 2. di tunggu ya~

  7. Heh?! Jadi ini cerita kelanjutan dari judul sebelumnya?! Harus baca yg sebelumnya lagi dong?! Kok aku kayak baca cerita alur mundur…

Give Me Oxygen

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s