Last Blossom
Author : Himahimawari
Main Cast : Lee Taemin, Shin Hwayoung (OC)
Support Cast : Kim Jonghyun as Kim-uisa, Jung-ganhosa, etc
Length : One Shot
Genre : Romance, Fantasy, Drama, Sad
Rating : Teen
Warning : very long oneshot, get a comfortable position before read it. Read and Comment are recomended, thanks.
* * *
Taemin..
Dia seperti seorang utusan Tuhan kepadaku..
Tak mengenaliku, tak peduli seperti apa kisahku..
Tapi dia menolongku..
Mengukir kenangan manis untuk pertama dan terakhir untukku..
Di sisa detik yang akan direnggut jua..
Bersama roman picisan yang tak pernah disangka..
Aku tak akan pernah menyadarinya..
Tak akan bila aku tidak lihat ada sayap tipis di punggungnya..
Sayap yang putih karena suci..
Dan lembut karena hati..
–Shin Hwayoung, Last Blossom
.
.
.
Seoul, Spring 2014th
-Taemin POV-
“Taemin… Lakukan tugasmu dengan baik selama seminggu ini…”
“Tapi bagaimana aku menemukan gadis itu? Dimana aku harus mencarinya?”
“Kau akan tahu… Dia mempunyai ciri yang berbeda dari yang lain…”
“Perbedaan itu relatif… Bagaimana-“
“Lakukan lah yang terbaik.”
Mataku terbuka.
Aku terbaring di atas sebuah kasur di dalam ruangan kecil ber-parquet merbau berwarna coklat tua dan tembok yang berwarna soft-cream. Ruangan yang selalu kutempati selama aku menjalankan tugas-tugasku di Bumi, tepatnya selama 200 tahun aku menjadi seorang utusan untuk menolong orang lain.
Tugas baru?
Tanpa keterangan?
Berbeda dari yang lain?
Bagaimana aku menemukannya?
“Aku butuh petunjuk yang lebih spesifik.” Aku menggaruk kepala belakangku yang tidak gatal. “Perbedaan apa yang harus kulihat?”
Lebih baik aku mulai mencarinya.
-Hwayoung POV-
“Hwayoung-ssi, kau harus check-up hari ini. Cepat habiskan sarapanmu!”
Kupingku memanas setiap mendengar kalimat yang sama, kalimat yang diucapkan berkali-kali oleh perawat di sini.
“Shin Hwayoung, kau-“
“Ya.. Ya.. Kau tidak perlu mengulangnya, Jung-ganhosa.” Aku menegakkan badanku untuk menggapai nampan yang berisi sarapan runtin. Seperti biasa, aku dihidangkan semangkuk bubur, segelas susu dan tentu saja sebutir vitamin.
Aku melirik ke arah perawat yang masih berdiri di dekat jendela dengan papan yang mengalasi puluhan kertas berisi data perkembangan pasien per hari. Matanya menatap ke arahku tanpa berpaling sekalipun.
“Kau boleh keluar, Jung-ganhosa. Kau tidak perlu berprasangka buruk padaku.”
“Tidak perlu kalau kau menghabisan buburmu setiap hari. Kau tahu Kim-uisa sering mengomeliku kalau ia melihatku keluar ruangan dengan kondisi mangkuk buburmu yang utuh? Apa kau tidak peduli kalau sewaktu-waktu ia akan memakanku?”
Aku terkekeh mendengar gerutu perawat itu. Jung-ganhosa, aku dirawat olehnya selama aku berada di rumah sakit ini. Rupanya masih terlihat lebih muda walaupun umurnya sudah mencapai kepala 3. Walaupun perawat ini selalu menggerutu setiap gilirannya merawatku, tetapi dia tetap merawatku sebaik yang ia bisa.
“Tapi percuma saja aku menghabiskan bubur di mangkuk ini kalau aku akan mengeluarkannya kembali. Tubuhku sudah berkali-kali menolak makanan ini,” ucapku seraya mengaduk-aduk bubur di dalam mangkuk.
Jung-ganhosa berjalan ke arahku. Ia meletakkan papan yang ia pegang di atas meja lalu duduk di depanku.
Dia menghela napas dengan kasar sebelum berkata, “Jika begitu, maka ia akan menyuruhku mengambilkanmu bubur yang baru. Kau akan membuatku bekerja dua kali.”
Aku hanya tersenyum.
Seandainya perutku tidak menolak, aku akan menghabiskan semangkuk bubur bahkan dua mangkuk setiap pagi.
“Jadi, karena aku masih harus memeriksa banyak pasien disini tetapi Kim-uisa tidak mungkin memberiku ijin keluar dari ruangan ini jika kau belum menghabiskan buburmu itu, sebaiknya kau lekas menghabiskannya.” Jung-ganhosa menunjuk mangkuk bubur yang tengah kuaduk-aduk.
Aku pun menyendok bubur dan memakannya, menahan rasa mual di perutku. Selalu saja seperti ini. Setiap makan pagi, siang maupun malam, makanan yang masuk ke perutku pasti akan langsung keluar lagi. Kim-uisa menjadi sangat disiplin ketika ia melihat angka pada data berat badanku yang berkurang setiap harinya.
4 suap..
5 suap..
Aku menutup mulutku dengan telapak tanganku, menahan bubur yang lagi-lagi ditolak oleh perutku.
Jung-ganhosa mengusap-usap punggungku. Ia mengambil air mineral dari atas meja dan memberikannya padaku.
Aku meneguk air mineral itu beberapa kali sebelum memberikannya ke Jung-ganhosa. Air ini tidak akan membantu.
Tidak bisa menahannya lagi, aku pun segera berlari ke toilet yang masih berada di ruangan ini dan mengeluarkan bubur yang baru saja kumakan.
Kudengar suara pintu ruang rawatku terbuka dan percakapan terjadi setelahnya.
“Kau lihat? Sebanyak apapun kau memaksaku untuk membuatnya menghabiskan sarapan pagi rutinnya, tubuhnya akan tetap menolaknya,” Jung-ganhosa menggerutu kembali.
“Tapi agar kondisi fisiknya tidak memburuk, dia harus tetap diberi asupan, ‘kan?” Suara berat milik Kim-uisa terdengar.
“Tetapi memakan dan memuntahkannya setiap hari hanya akan semakin menyiksanya,” balas Jung-ganhosa.
“Tidak jika itu demi kebaikannya.”
Kadang aku merasa bersalah sudah merepotkan kedua orang paling baik di hidupku sampai detik ini.
Aku membersihkan mulutku dengan air dan mengelap bibirku dengan tissue sebelum keluar toilet.
“Kalian tidak perlu berdebat seperti itu, vitamin cukup untukku hari ini,” ucapku seraya melangkah ke arah ranjang. Jung-ganhosa memberikan vitamin padaku lalu mengangkat nampan yang berisi semangkuk bubur serta susu yang berada di atas meja yang tersambung pada ranjangku.
“Letakkan susunya di atas meja. Biarkan Hwayoung meminumnya.”
Tak banyak bicara, Jung-ganhosa melakukan yang Kim-uisa minta lalu segara keluar beranjak ruangan.
“Kau tidak perlu mengomelinya, uisa-nim.”
“Aku hanya ingin kondisimu membaik. Liat tubuhmu yang semakin kurus setiap harinya.” Kim-uisa menarik kursi ke samping ranjangku untuk duduk.
“Aku sangat khawatir dengan kondisimu, Hwayoung.”
Pening di kepalaku terasa lagi. Lebih baik aku kembali istirahat sebelum check-up siang ini.
-Taemin POV-
Aku mengunjungi taman terdekat untuk melihat bermacam aktivitas orang-orang di pagi hari. Ada yang sedang berlari dengan seekor anjingnya, ada yang sedang menghabiskan sarapannya, ada juga yang memainkan gitarnya seraya menggumamkan nada-nada indah.
Aku duduk di kursi kosong dan menghirup udara segar di pagi hari. Dengan mata tertutup kusenderkan punggungku pada kursi dan kutenggakkan kepalaku agar bisa menghirup semakin banyak udara segar.
Ketika aku membuka kembali mataku kulihat seorang gadis kecil berlari-lari dengan sebuah lolipop pelangi di genggamannya. Tak memperhatikan jalan, akhirnya anak itu terjatuh dan lolipop yang semula ia genggam jatuh ke tanah. Ia pun bangkit dan mengambil lolipop yang kini sudah tidak terlihat lezat lagi dan menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
Aku merogoh saku celanaku. Dengan sulap ataupun sihir jenis lolipop yang sama berada di genggamanku. Aku menghampiri gadis itu yang masih terdiam di tempatnya lalu berlutut di depannya.
“Gadis manis, lolipop itu sudah kotor, kau bisa sakit kalau memakannya. Aku punya lolipop yang sama, apa kau mau?”
Aku menunjukkan lolipop ke depan wajahnya. Ia ingin mengambilnya, tapi sorot mata keraguan tetap terlihat. Mungkin karena dia tidak mengenalku.
“Tenang saja, aku bukan orang jahat. Namaku Taemin. Aku tidak akan meminta apapun darimu.”
Anak kecil itu memandangku dengan sorotan mata berbinar lalu menjatuhkan lolipop kotor di tangannya ke tanah, entah dengan sengaja atau tidak, lalu ia mengambil lolipop di tanganku.
“Kamsahamnida, oppa-nim.” Dia pun berlari meninggalkanku.
Oppa-nim?
Bukan kosakata yang benar, tapi tetap saja terdengar lucu bila gadis kecil itu yang mengucapkannya.
Aku mengambil lolipop kotor itu lalu menutup mataku, begitu aku membuka mata, lolipop itu sudah bersih kembali seperti semula. Bahkan sudah terbungkus kembali. Aku bangkit dan pergi meninggalkan taman seraya memutar-mutar lolipop di tanganku.
“Berbeda, huh?”
-Hwayoung POV-
Kesekian kalinya aku memuntahkan makanan yang baru saja kutelan. Makan malamku sia-sia.
“Uisa, mengapa kau tidak memberiku suplemen saja? Bukankah aku tidak perlu berlama-lama memakannya dan setelah itu aku bisa kembali tidur agar tidak memuntahkannya?” ucapku pada Kim-uisa begitu aku keluar dari toliet.
Kim-uisa melihatku dengan senyuman sedih seraya menuntunku. “Kalaupun aku bisa, aku tetap tidak akan melakukannya. Kau tidak bisa bergantung pada butiran suplemen setiap harinya.”
Ia membantuku berbaring di ranjang, mataku berkunang-kunang. Sepertinya kondisi fisikku melemah. Begitu pun yang dikatakan pada hasil check-up siang ini. Berat badanku kembali turun.
Tak lama, Nam-ganhosa masuk dengan kereta dorong yang berisi peralatan infus.
Tidak, jangan jarum itu.
“Uisa, kau tahu bagaimana rasanya ketika jarum infus menusuk venamu? Aku membencinya,” aku bergumam dengan suara parau.
“Sakit? Tapi kalau kau tidak bisa menahannya, tidak mungkin kau menghabiskan berliter-liter stok cairan infus di rumah sakit ini.”
Nam-ganhosa berhenti di sampingku, dengan telaten ia membungkus kedua telapak tangannya dengan sarung tangan karet lalu menyiapkan alat infus yang tentu saja sudah disterilkan terlebih dahulu. Ia membungkus lenganku dengan sebuah tourniquet, bertujuan untuk menahan aliran darah di pembuluh tanganku yang mengalir turun ke pergelangan tangan secara sementara agar tak banyak darah yang keluar saat proses penginfusan.
Aku memejamkan mataku ketika pergelangan tanganku dibersihkan dengan kapas alkohol dan kapas betadine. Ibu jari Nam-ganhosa menekan kulit yang dekat dengan letak pembuluh venaku sebelum jarum panjang menembus kulitku. Ngilu, tapi aku tidak bisa melawan. Aku tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi.
Setelah selesai dengan tugasnya, Nam-ganhosa meninggalkan ruang rawatku membawa kereta dorongnya kembali.
Aku merasa mengantuk. Mungkin karena aku kelelahan.
Sebelum aku tenggelam ke dalam bunga tidur, Kim-uisa mengelus kepalaku dan samar kudengar ia berkata, “Seandainya ada cara yang lebih baik yang bisa kulakukan untukmu…”
.
.
.
-Taemin POV-
Hari kelima pada tugas baruku. Aku belum bisa menemukannya.
Aku kembali menelurusi jalan di kota besar dan super sibuk ini. Kali ini bukan di taman, tapi di tempat pejalan kaki di tengah-tengah kota.
Sedang menikmati suasana kota, tiba-tiba seorang wanita menjerit, “PENCURI!!!”
Baru saja aku ingin berbalik badan, seseorang menabrakku. Tapi tak cukup kuat untuk membuatku jatuh. Si penabrak menghiraukanku, tanpa meminta maaf atau mengeluarkan sepatah katapun ia berlari menjauh dariku. Beberapa detik aku baru menyadari bahwa orang yang menabrakku tadi yang diteriaki sebelumnya.
Aku berlari mengejar orang itu. Larinya cukup cepat dan dari postur badannya bisa kusimpulkan dia bukan seorang yeoja.
“Hey, tunggu! Jangan lari kau!” Aku meneriakinya.
Beberapa blok ia berlari sebelum ia berbelok dan menabrak seorang yeoja. Cukup keras, karena yeoja itu terjatuh. Untungnya, si pencuri itu pun terjatuh. Aku langsung menghampiri copet itu dan menghajar rahangnya sebelum aku mengambil tas putih yang ia genggam.
“Pencuri! Kembalikan tasku!” teriak wanita tadi selagi berlari dengan napas yang tersengal-sengal. Namun dia berhenti begitu melihat adegan di depannya. Orang-orang yang semula berlalu lalang rela menghentikan langkahnya untuk melihat kejadian ini dan berbisik-bisik.
Tak ingin terlalu lama diperhatikan, aku menghampiri wanita yang baru saja datang. “Apa ini milikmu, Agassi?”
“Ah iya, terima kasih. Terima kasih banyak,” ucap wanita itu seraya membungkukkan badan setelah menerima tasnya kembali, lalu pergi.
“Ada apa ini?” Suara berat berbicara.
Aku melihat polisi jalanan menghampiri kami. Mungkin karena keramaian yang mulai mengganggu para pengguna jalan lainnya.
“Namja ini telah mencuri tas seorang wanita,” sahutku pada polisi itu.
“Benarkah? Baiklah, aku akan membawanya ke kantor polisi terdekat. Terima kasih sudah membantu,” ucap polisi itu sebelum memborgol tangan si pencuri ke belakang lalu membawanya pergi, sudah pasti ke kantor polisi.
Perlahan keramaian memudar. Orang-orang kembali menjalankan aktivitasnya masing-masing. Aku teringat pada yeoja yang ditabrak oleh si pencuri ketika berlari tadi. Dia masih terduduk di jalan.
Bingung, dialah satu-satunya orang yang terduduk di tengah-tengah kesibukan orang-orang tapi tidak ada satupun orang yang melihat ke arahnya ataupun membantunya. Mengapa?
Melihatnya kesusahan berdiri aku pun menghampirinya. “Kau tidak apa-apa, Agassi?” tanyaku dengan sopan.
“A-aku tidak apa-apa,” jawabnya tanpa melihatku. Tetapi dia terjatuh lagi ketika mencoba berdiri.
Aku mengulurkan tanganku, sontak ia menatapku. Wajahnya yang semula tertutup topi dan rambut panjangnya kini dapat terlihat olehku. Mata coklat, hidung mungil, bibir mungil. Tapi ada masalah dengan warnanya. Ia terlihat pucat dan sedikit kuning. Bibirnya pun pucat. Apa dia sakit?
Genggaman tangannya pada tanganku menyadarkanku. Aku pun membantunya berdiri dan melepaskan tanganku. Ia menepuk-nepuk baju baby-pinknya yang kotor. Badannya kurus sekali.
Dia mencoba berjalan tetapi hampir terjatuh kembali kalau saja aku tidak menahannya dengan cepat.
“Sepertinya kakimu terkilir, biarkan aku membawamu ke dokter,” ucapku.
“Tidak, terima kasih. Aku baik-baik saja,” jawabnya dengan menunduk, menyembunyikan wajahnya.
“Kau lihat? Jalan saja kau masih terjatuh. Biarkan aku membantumu. Kalau kau tidak ingin dibawa ke dokter, biarkan aku mengantarmu pulang.”
“Tidak apa-apa. Aku bisa pulang sendiri. Kau tidak perlu merepotkan dirimu sendiri.”
Keras kepala sekali yeoja ini. Kebanyakan orang akan menerima pertolongan ketika mereka memang membutuhkannya. Merepotkan? Tugasku di sini menolong orang, mana mungkin merepotkan?
“Baiklah, kalau begitu biarkan aku memanggilkanmu taksi,” ucapku menyerah.
“Y-ya. Terima kasih.”
Aku memberhentikan taksi tanpa penumpang yang lewat di jalan raya lalu menuntun yeoja itu masuk ke dalam taksi.
“Terima kasih banyak,” ucapnya sebelum menutup pintu taksi itu, lalu pergi.
“Ya, hati-hati di jalan,” jawabku. Lebih seperti bergumam karena taksi yang ia tumpangi sudah pergi menjauh.
Dia terlihat seperti orang sakit. Tapi mengapa dia berkeliaran di jalan? Bukankah seharusnya dia beristirahat di rumah sakit ataupun rumahnya? Apa tidak ada yang menjaganya?
-Hwayoung POV-
Namja itu… Dia baik sekali…
Mengejar pencuri…
Mengembalikan tas wanita tadi…
Menolongku…
Sementara orang-orang hanya menatap kami tanpa ada tindakan yang membantu…
Orang ketiga berkarakter baik yang kutemui dalam hidupku…
Aku menyuruh supir taksi untuk membawaku ke rumah sakit. Aku yakin para perawat dan Kim-uisa akan mengomeliku sewaktu aku bertemu mereka. Apalagi dengan kondisi kakiku yang terkilir seperti ini.
“Kita sudah sampai, Agassi,” ujar supir taksi.
“Terima kasih.” Aku membayar taksi itu dan keluar. Dengan jalan terpincang-pincang aku memasukki rumah sakit.
Tak beruntung, Jung-ganhosa sedang berada di lantai dasar. Matanya langsung membesar begitu melihatku.
“Kau! Tidak kah kau bisa melihat kondisimu?! Kau itu masih lemah, mengapa kau diam-diam pergi keluar?! Kau tahu Kim-uisa akan mencekikku kalau aku tidak menemukanmu dalam satu jam ke depan?!” omel Jung-ganhosa dalam langkahnya menghampiriku.
“Maaf… Berada di ruang rawat seminggu ini membuatku jenuh,” jawabku.
“Kondisimu baru saja membaik kemarin siang, Hwayoung-ssi. Tolong jangan membuat semua orang khawatir. Tidakkah kau tahu aku adalah orang pertama yang dikejar oleh Kim-uisa kalau sesuatu terjadi padamu? Tolong pikirkan kondisimu, Hwayoung-ssi,” lanjutnya seraya membawaku ke ruang rawat. Dia menyadari langkahku yang terpincang.
“Apa yang terjadi pada kakimu?”
“Terkilir,” jawabku singkat.
“Terkilir?? Matilah aku.” Jung-ganhosa memegang kepalanya.
Tanpa mengeluarkan kata-kata ia membawaku ke ruang rawat, membantuku bergantu pakaian dan menuntunku hingga berbaring di ranjang. Ia memeriksa kakiku yang membiru pada pergelangan kaki. Jung-ganhosa menghela napas kasar sebelum pergi keluar ruangan dan kembali dengan sekotak kaca berisi gel, segulung kain perban, sebuah gunting dan segulung perekat.
Ia duduk di pinggir ranjang dan mengobati kakiku yang terkilir. Setelah selesai ia pergi keluar ruangan. “Lebih baik sekarang kau istirahat atau Kim-uisa akan lebih khawatir lagi,” katanya sebelum menutup pintu.
.
.
.
-Taemin POV-
Seminggu. Seminggu setelah kejadian itu dan aku masih bingung mengapa tidak ada orang yang menatapnya, bahkan menolongnya? Dan mengapa dia menolak pertolonganku?
Wangi segar dari pohon yang berada di dekat jendela kamarku tercium olehku yang sedang berbaring di atas kasur.
Apa dia orangnya? Apa dia yang kucari? Apa aku akan bertemu dengannya lagi?
Dengan pertimbangan sebentar, aku memutuskan untuk berjalan keluar lagi. Kalau aku bertemu dengannya lagi, maka memang dia orangnya.
.
.
Taman lebih ramai dari biasanya, mungkin karena ini weekend.
Jalanan pun lebih ramai dari sebelumnya. Memang, cuaca cukup cerah untuk diisi dengan ber-refreshing.
Aku berhenti di pinggir jalan. Menunggu lampu tanda ijin menyebrang menyala hijau. Garis-garis hitam-putih di depanku.
Lalu seorang namja yang sibuk memainkan ponselnya menerobos jalan begitu saja. Apa ponselnya jauh lebih menarik dibanding hidupnya sendiri?
Tak beruntung takdir namja itu, sebuah mobil sedan hitam melaju kencang dari arah kiri. Orang-orang berteriak mengingatkan namja itu. Tapi bagaikan angin, ia menghiraukannya.
Sekejap, bunyi benturan keras menggelegar ke setiap penjuru jalan hingga orang-orang yang berlalu-lalang berhenti. Teriakkan panik juga terdengar. Orang yang semula hanya menatap ponselnya kini sudah tergeletak di tengah jalan. Cairan merah menodai beberapa bagian jalan di sekitarnya.
Aku berlari ke arah orang itu. Apa aku gagal menolongnya?
Gagal?
Tidak, aku tidak boleh gagal.
Aku berlutut dan menggoyang-goyangkan badannya. Tidak sadar.
Aku memeriksa napas pria itu. Tidak ada.
Aku memeriksa mata pria itu. Kosong.
Apa aku terlambat?
Aku memeriksa denyut nadinya. Beruntunglah ia, masih berdenyut.
“Cepat panggilkan ambulan!” teriakku pada orang-orang di sekitarku.
Tak lama ambulan pun datang membawa namja itu pergi. Aku diminta untuk ikut.
.
.
Hari sudah sore. Pada akhirnya aku hanya duduk di kursi penunggu dan tidak bertemu dengan yeoja itu lagi. Ternyata dia bukan orang yang kucari. Sia-sia aku memikirkannya seminggu ini.
Namja yang ditabrak mobil tadi sudah sadar dan anggota keluarganya sudah dihubungi oleh pihak rumah sakit. Uisa bilang padaku kalau saja aku tidak segera membawanya ke rumah sakit, nasib namja itu tidak akan beruntung. Aku hanya berharap namja itu lebih cinta pada hidupnya dibandingkan ponselnya selepas dari kejadian ini.
Aku beranjak dari kursi dan berjalan ke pintu keluar, tiba-tiba keributan terdengar dari belakangku.
“Dimohon semua ke pinggir! Tolong jangan menghalangi jalan!” teriak seorang perawat yang sedang berlari dengan mendorong sebuah ranjang bersama dengan beberapa orang perawat lagi dan seorang uisa, terlihat dari pakaiannya.
Ketika mereka melewatiku, kulihat orang yang terbaring di atas ranjang itu. Hanya sepintas, tetapi sesuatu menarik perhatianku.
Aku mengingat wajah yeoja yang kutemui seminggu lalu.
Wajah yang sama.
Aku berlari mengejar perawat-perawat itu. Tapi tak berhasil ketika mereka sudah memasuki ruang ICU dan aku tidak diperbolehkan masuk.
Terdiam di depan pintu ruang ICU, aku mendengar seseorang berkata, “Sekarat lagi? Aku heran mengapa ia bisa bertahan sejauh ini.” Aku berjalan ke arah suara yang ternyata berasal dari 2 orang perawat yang sedang mengobrol. Atau sebut saja, bergosip?
Aku berjalan menghampiri mereka. “Sekarat lagi? Apa yeoja itu selalu seperti ini?” tanyaku.
“Ah iya, dia selalu seperti ini. Kesehatannya selalu langsung turun drastis beberapa saat setelah kondisinya membaik. Hal ini sudah terjadi berulang-ulang kali. Ah, apa kau mengenalnya? Syukurlah kalau memang iya, sudah 5 tahun ia dirawat di sini tanpa ada keluarga ataupun kerabat yang mengunjunginya. Untung saja Kim-uisa berbaik hati ingin merawatnya selama ini hingga ingin membayar seluruh biaya rumah sakitnya.tapi aku bingung Kim-uisa yang kurang ramah pada orang bisa berbuat baik pada yeoja itu. Aku curiga mereka mempunyai hubungan khusus,” jelas salah-satu perawat.
“5 tahun? Memangnya dia sakit apa?” tanyaku lagi.
“Aku tidak tahu pasti, tapi kudengar yeoja itu mengidap penyakit langka yang belum ada penanganannya. Hmm, biar kutebak… Hepatitis? D, E, G? Ah ya, Hepatitis X.”
Aku terdiam. Hepatitis? Pantas saja badannya kurus sekali dan kulitnya pucat tapi sedikit kuning.
Aku menunggunya di depan ruang ICU. Hari sudah malam tapi dia tidak kunjung keluar juga. Aku mulai khawatir.
Sekitar 15 menit kemudian aku menunggu akhirnya perawat dan juga uisa yang sama keluar dari ruang ICU dengan mendorong ranjang menjauhi pintu ICU. Di atas ranjang itu terdapat yeoja itu. Aku mengikuti mereka. Entah apa alasannya, tapi kakiku seperti bergerak sendiri.
Mereka membawanya ke lorong yang sama dengan ketika aku mengikuti mereka. Setelah beberapa panjang lorong dan beberapa kali berbelok, akhirnya mereka masuk ke sebuah ruangan yang kuyakin pasti ruang rawat.
Tak yakin untuk masuk, aku hanya berdiri di depan pintu ruang rawat itu hingga seorang perawat keluar dari dalam ruangan.
“Mengapa kau berdiri di depan pintu? Apa kau mempunyai urusan dengannya?” tanya perawat itu.
“Yeoja itu. Apa dia baik-baik saja?”
“Ah, ya. Kondisinya sudah mulai normal kembali. Mengapa kau bertanya seperti itu? Apa kau mengenalnya?”
“Tidak, aku tidak mengenalnya.”
“Ah, begitu? Kukira akan ada seseorang yang mengenalnya berkunjung ke sini. Sepertinya dia tidak mempunyai kerabat ataupun keluarga lagi di sini. Selama 5 tahun tidak ada seorangpun yang mengunjunginya. Yang kudengar terakhir kali semua keluarga kandungnya meninggal di hari kedua ia dirawat di sini ketika mereka ingin mengambil pakaian untuk menginap. Mobil yang mereka tumpangi menabrak pembatas jalan ketika menghindari truk besar yang melaju kencang ke arah mereka,” jelas perawat itu.
Kemudian beberapa perawat lagi serta seorang uisa keluar dari ruangan itu. Semua perawat langsung pergi menjauh dari pintu sedangkan uisa itu, dia menghentikan langkahnya di depanku dan perawat yang sedang berbicara denganku.
“Jung-ganhosa, tolong periksa kembali kondisinya 3 jam ke depan,” perintah uisa itu kepada perawat di hadapanku.
“N-ne,” jawab perawat itu. Lalu uisa itu pun pergi.
“Ah, maaf aku masih harus memeriksa beberapa pasien lain. Kalau begitu aku mohon pamit. Kau boleh menjenguknya tapi tolong jangan membuat keributan.” Lalu perawat itu juga pergi.
Aku menatap pintu ruang rawat di depanku. Haruskah aku masuk? Tapi apa yang akan kulakukan di dalam bersama orang yang sedang koma?
Tapi kau berhasil menemuinya yang kedua kali.
Aku memutar tuas pintu lalu mendorongnya. Dari pintu, aku bisa melihat seorang gadis terbaring di atas ranjang rumah sakit dengan wajahnya yang damai. Berbeda sekali dengan dia yang tengah kutolong di jalan waktu itu.
“Jadi, kau benar orangnya?” aku bertanya pada diriku sendiri.
“Kondisimu sangat lemah, tapi aku akan merawatmu, menolongmu dan menjadi temanmu mulai detik ini.”
.
.
Hari pertama setelah aku menemukannya kembali.
Sebuah vas bunga berisi bunga lily berada di genggamanku yang sedang berjalan ke ruang rawatnya.
Ia belum juga terbangun. Wajahnya masih terlihat damai. Aku menjenguknya hingga sore dan kemudian aku pulang. Sepi memang ketika tidak ada orang yang bisa diajak bicara. Tapi aku ingin sekali berbicara dengannya.
Hari berikutnya aku melakukan hal yang sama, tapi tanpa vas bunga.
Hari ketiga
Hari keempat
Hari kelima
Hari keenam
Hari ketujuh
Hari kedelapan dan dia masih belum sadar.
Seperti biasa, aku menukar bunga di dalam vas yang terletak di dekat jendela setiap 3 hari sekali.
Baru saja aku ingin membuang bunga lily yang kubawa 3 hari yang lalu, pintu ruang rawat terbuka. Seorang uisa masuk ke dalam ruangan.
“Ah, kau sudah berada disini?” tanyanya begitu melihatku.
“Y-ya. Aku memang selalu datang pada pagi hari,” jawabku.
“Kudengar kau mengawasinya beberapa hari ini. Terima kasih,” ucapnya seraya berjalan ke arah Hwayoung. Ia menatap wajah Hwayoung yang terlihat damai. Sangat damai.
Senyuman sedih terukir di wajahnya. “Seandainya ada hal lain yang bisa kulakukan untuknya. Seandainya aku bisa melihat wajahnya yang damai ketika ia sadar. Seandainya aku bisa menarik penyakit yang diidapnya sedari kecil. Seandainya-“
“Aku paham maksudmu…” potongku.
Uisa itu memejamkan matanya dengan kening yang berkerut. Ia menahan tangis.
Aku menarik napas. “Tapi aku tidak paham mengapa kau selalu merawatnya dengan sabar. Kau selalu mengunjunginya sesering yang kau bisa. Tapi kau tidak melakukannya pada pasien lain. Mengapa-“
“Aku punya alasan sendiri.” Uisa itu menatapku beberapa detik lalu menarik napas dalam dan menarik kursi untuk duduk.
“Dulu… Sekitar 8 tahun lalu, aku juga merawat pasien yang mengidap penyakit Hepatitis X,” ia mulai bercerita. Aku berjalan ke arah ranjang dan duduk di sisi kanan ranjang itu, bersiap untuk mendengarkan ceritanya.
“Saat itu, aku lelah mendengarkannya mengeluh. Tapi dia tidak mau membiarkan dirinya menyerap asupan makanan untuk tubuhnya. Dan aku tidak memperhatikannya dengan baik karena aku membenci orang yang menginginkan sesuatu tapi tidak berusaha. Hingga akhirnya… ia pun koma. Kondisinya sangat memprihatinkan.” Ia mengusap wajahnya lagi, mengaburkan bayangannya di hari itu.
“Saat itu aku sedang mengunjungi ruangannya dan menemukan buku catatan yang terjatuh di sisi ranjang. Aku membacanya. Ternyata dugaanku salah. Ia bukan tidak mau berusaha, tapi tubuhnya selalu menolak makanan yang ia makan. Dia berusaha memanggilku untuk ke ruangannya setiap aku berjalan melewati ruangannya, tapi dia terlalu lemah. Dan dia sangat merasa bersalah terlalu menyusahkanku, membuatku kesal. Aku pernah mencoba memberinya suplemen agar dia bisa langung istirahat. Kukira suplemen itu akan bekerja. Tetapi ternyata tanpa kuketahui, dia selalu memuntahkannya lagi. Bahkan, suplemen itu membuat kondisinya semakin parah. Terakhir kali dia menulis di catatan itu, dia tidak hanya memuntahkan makanan yang ia makan, tapi juga darah. Setelah itu dia koma. Aku menangis setelah membaca catatan itu, lalu aku ingin menghampirinya yang dirawat di ruang ICU. Tapi begitu aku sampai disana, layar pendeteksi detak jantung sudah mengeluarkan garis lurus.” Uisa itu mengepal tangannya, kepalanya tertunduk.
“Setelah itu aku menyesali, aku tidak bisa mengetahui kondisi pasien yang sebenarnya. Tak lama setelah itu, Hwayoung dinyatakan mengidap penyakit yang sama dan di rawat di sini. Aku tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama, maka aku selalu memperhatikannya paling awal. Dia bagaikan pasien nomor satu dalam daftarku. Untunglah, ia bertahan sampai sekarang, tahun ke limanya.” Ia bangkit dari kursinya.
“Belakangan ini aku sering menangani banyak pasien, jadi aku tidak punya banyak waktu untuk mengawasinya. Terima kasih sudah membantuku.” Ia menatapku dengan senyuman.
“Oh ya, aku sering mendengar tentangmu tapi baru kali ini aku bertemu langsung. Namaku Kim Jonghyun, tapi panggil saja aku Kim-uisa.” Kim-uisa mengulurkan tangannya padaku untuk berjabat tangan.
“Taemin,” aku menyambut uluran tangannya.
.
.
.
Aku terbangun dari tidurku dan mendengar dering ponsel yang menggema di kamarku.
“Yeoboseyo?”
“Taemin-ssi?”
“Ne?”
“Ini dari rumah sakit, aku hanya ingin memberitahumu, Shin Hwayoung sudah sadar.”
Aku segera melompar dari tempat tidur dan bersiap-siap ke rumah sakit.
Hari ke-16 semenjak ia koma.
Aku berlari di koridor rumah sakit dengan senyum yang merekah di wajahku. Aku tak peduli orang akan menyangkaku sebagai orang gila. Aku hanya ingin bertemu Hwayoung secepatnya.
Langkahku terhenti di depan pintu kamar rawatnya. Baru saja aku ingin masuk, pintu terbuka dan Jung-ganhosa keluar dari ruangan
“Oh, Taemin-ssi. Kau sudah datang?” Ia menyambutku.
“Ya, aku langsung ke sini begitu mendengar dia sudah sadar,” tanggapku.
“Ah ya, dia sudah sadar.” Jung-ganhosa berjalan pergi.
Aku membuka pintu ruangannya. Hwayoung terduduk di ranjang. Tangannya bergerak mengaduk-aduk sarapan pagi sudah terletak di meja.
“A-annyeong,” sapaku kaku.
Dia menoleh ke arahku.
.
.
.
-Hwayoung POV-
Aku terbangun dari tidurku. Ruang rawatku masih sepi. Sarapan pagi belum terpampang di atas meja. Mungkin aku bangun lebih awal.
Aku menatap ke arah jendela yang tertutup tirai. Tiba-tiba aku ingin melihat pemandangan di baliknya.
Aku bangkit dari ranjangku dengan susah payah lalu berjalan mendekati jendela dan menarik tirainya. Cahaya mentari pagi menerpa wajahku. Hangat, tapi tidak membakar.
Ruang rawatku hanya berada di lantai 2, jadi untuk melihat jalanan yang mulai dipenuhi kendaraan yang berlalu-lalang tidak akan menyeramkan.
Sedang asik memandang keluar, sehelai daun hijau lewat di depan mataku dan aku menoleh ke kanan untuk melihat pohon besar dengan dihiasi banyak daun hijau sehat. Apa sudah musim semi?
Suara pintu terbuka terdengar olehku. Sontak aku melihat ke belakangku. Jung-ganhosa masuk ke dalam dengan nampan berisi sarapan pagiku di tangannya.
“Bagaimana keadaanmu? Mengapa kau turun dari ranjang?” ucapnya seraya meletakkan nampan itu di atas meja.
“Aku baik-baik saja. Aku hanya ingin melihat ke luar.” Aku berjalan meninggalkan jendela dan duduk di atas ranjangku dibantu oleh Jung-ganhosa.
“Kau baru saja sadar, lebih baik kau tidak turun dari ranjangmu dulu.”
“Tak apa, aku merasa baik-baik saja.”
“Baiklah, tapi kau tidak boleh pergi kemana-mana. Arraseo?” tanyanya.
“Ne,” jawabku singkat.
“Aku harus memeriksa pasien lain dulu, aku harap sarapanmu sudah habis ketika aku kembali,” katanya sebelum keluar ruangan. Aku mendengus dan kembali berbaring di ranjang menghadap ke jendela.
Lalu pintu terbuka kembali. “A-annyeong,” sapa seseorang. Dari suara beratnya, aku yakin dia seorang namja. Aku berbalik badan melihat ke arah pintu dan terkaget.
“Kau… Kau??”
“Hai. Bagaimana keadaanmu?” tanyanya santai.
“Bagaimana kau bisa berada di sini?” tanyaku tanpa menjawab pertanyaannya terlebih dahulu.
“Ceritanya cukup panjang dan sayang sekali kau tidak bisa melihatnya selama 16 hari itu,” jawabnya santai seraya berjalan ke arahku. Aku kembali menghadap ke jendela. Sedang apa dia di sini? Apa dia memata-mataiku selama ini?
“Mengapa kau di sini?” tanyaku tanpa melihat ke arahnya.
“Aku hanya ingin menolongmu.”
“Menolongku? Apa aku terlihat seperti butuh pertolongan?” tanyaku dingin.
“Tidak, maksudku ya. Aku tahu bagaimana rasanya seharian berada di satu ruangan tanpa teman berbicara.”
Bingo, dia tepat. Kadang mulutku terasa kaku ketika menjawab pertanyaan uisa dan perawat di sini, paling banyak 3 kali sehari. Selebihnya aku hanya sendirian.
“Aku ingin pergi keluar,” gumamku cukup keras.
“Aku bisa membantumu.” Aku menoleh ke arahnya dan menatapnya dengan tatapan ‘apa kau yakin?’
“Tapi kau habiskan dulu buburmu itu,” jawabnya. Ternyata sama saja dengan yang lain. Aku bangkit dan mencapai mangkuk buburku.
“Peluangnya kecil jika hal itu menjadi syaratmu. Aku pasti akan memuntahkannya kembali.” Aku mengaduk-aduk buburku bosan. Hasilnya akan sama.
“Kalau kau mau pergi keluar maka kau harus sehat, agar kau cepat sehat maka kau asupanmu setiap hari harus seimbang dengan kegiatan yang akan kau lakukan, agar asupanmu seimbang maka kau harus makan,” ucapnya dengan nada santai. Tidak seperti perawat disini yang memilih untuk menggerutu atau meninggalkanku sekaligus.
“Percuma kau berceloteh panjang-lebar, sekalipun aku berkeinginan menghabiskan bubur ini tetap saja tubuhku akan menolaknya. Kenyataan membuatku-“
“Kenyataan membuatmu berpikir sempit?”
Aku memandangnya dengan kening berkerut. “Memangnya kau siapa bisa menilaiku seperti itu?”
“Aku? Aku ingin menjadi temanmu. Teman itu saling menolong ‘kan?” jawab namja itu dengan sebuah senyuman merekah.
“Teman?” Aku menatapnya bingung.
“Ya, teman…” ucapnya seraya menghampiriku. “… Jadi, aku akan membantumu pergi keluar…” Aku menatapnya dengan mata yang bisa kupastikan tengah berbinar.
“… Tapi kalau kau menghabiskan buburmu itu dulu.” Dia menunjuk mangkuk bubur di depanku. Wajahku berubah 180 derajat menjadi cemberut.
“Bagaimana kalau aku akan memuntahkannya lagi? Bagaimana kalau aku tetap tidak diberi ijin keluar?” Aku menantangnya.
“Tidak akan. Bisa kupastikan kau tidak akan muntah,” ucapnya meyakinkanku.
“Tidak akan?”
“Ya, tidak akan. Jadi cepat habiskan buburmu.”
Aku memandang bubur di depanku dengan ragu. Akankah kau diterima oleh perutku?
“Tidak dengan keraguan tentunya. Abaikan saja rasa mualmu,” katanya lagi.
Aku pun menyantap bubur itu suap demi suap. Rasa mual kembali datang tetapi aku mencoba menghiraukannya dan tetap menyantap bubur yang tersisa.
8 suap
9 suap
10 suap
Aku menutup mulutku dengan telapak tanganku. Namja itu mengambil air mineral yang ada di atas meja lalu memberikannya padaku. Sudah berkali-kali air ini tidak menolongku.
Aku meneguk air mineral itu dan tiba-tiba namja itu mengeluarkan setangkai lolipop pelangi dan memberikannya kepadaku. Aku menatapnya heran. Lolipop?
“Kau tahu rasa manis bisa mengurangi mual?”
Aku tahu, tapi aku tak yakin ini akan bekerja.
Namja itu membuka bungkus lolipop itu lalu menyodorkannya ke depan mulutku.
“Tak apa, ini akan membantumu.” Aku pun memasukkan lolipop itu ke dalam mulutku.
Mengejutkan, rasa mualku berkurang.
Sedang menikmatinya, namja itu malah menarik lolipop pelangi dari mulutku. “Sudah cukup kau memakannya. Kalau kau ingin menghabiskannya, kau harus menghabiskan bubur, susu dan vitaminmu dulu.” Dia menjulurkan lidahnya.
“Kau mengejekku?” ucapku menggerutu.
“Tidak kalau kau menghabiskan sarapanmu itu sekarang.”
.
.
Setelah aku menghabiskan seluruh sarapanku dan juga lolipop pelangi darinya. Pintu ruang rawatku terbuka. Jung-ganhosa dan tugasnya untuk memeriksaku. Ia takjub ketika mangkuk dan gelas kosong terpampang di depan matanya.
“Bagaimana-“
“Aku sudah menghabiskannya, kau tidak perlu khawatir Kim-uisa akan mengomelimu lagi.”
Jung-ganhosa menghampiriku tetapi matanya menatap namja yang sedang berdiri di dekat jendela dengan curiga.
“Apa bisa kupastikan bukan kau yang menghabiskannya?” tanya Jung-ganhosa pada namja itu.
“Tentu, aku tidak selicik itu, ganhosa-nim.” Taemin menampilkan senyum hangatnya.
.
.
Dia menepati janjinya. Walaupun dengan kursi roda, aku bisa keluar dari rumah sakit untuk menyegarkan diri.
Namja itu membawaku berkeliling di taman umum di dekat rumah sakit karena Kim-uisa melarangnya membawaku pergi terlalu jauh.
“Um… Terima kasih. Maaf merepotkanmu,” ucapku memecah keheningan.
“Ya, tidak apa-apa.” Namja ini memang berhati baik. Apa Tuhan mendengar permintaanku untuk mendapatkan seorang teman baik?
“Ah ya, siapa namamu? Kau telah beberapa kali menolongku tapi aku tidak tahu siapa namamu,” ucapku.
“Panggil saja aku Taemin,” jawabnya.
“Hwayoung. Shin Hwayoung.”
.
.
.
– Taemin POV-
Aku berbaring di kamarku. Senang sekali rasanya. Akhirnya aku bisa menemukannya. Memang dia orangnya.
Tapi kasihan sekali dia…
Hepatitis X?
Penyakit yang jarang sekali ditemui dan belum ada pengobatan totalnya…
Tapi perjuangannya melawan penyakitnya itu memang tidak bisa diremehkan.
Raut wajahnya yang berusaha terlihat seperti tidak ada apa-apa walaupun rasa sakit masih bisa terlihat di matanya.
Badannya yang kurus. Aku takut sewaktu-waktu kondisinya akan drop lagi.
Kini setiap hari aku mengunjunginya dan sesekali membawanya keluar rumah sakit.
Besok pun akan seperti itu.
.
.
“Apa? Festival bunga Sakura?”
“Ya, festival bunga Sakura diadakan setiap musim semi pada bulan April di Yeuido. Sudah lama aku tidak ke sana. Pemandangannya menakjubkan. Apa kau pernah ke sana sebelumnya?” tanyanya dengan senang.
“Ti-tidak.”
“Kalau begitu ayo ke sana! Bisa kupastikan kau tidak akan menyesal.” Senyuman senang menghiasi wajahnya. Ia terlihat sangat bersemangat.
“Tapi bagaimana dengan kondisimu? Aku tidak ingin kau kelelahan.”
“Tidak akan, kau bisa lihat? Aku sangat sehat,” katanya dengan ceria.
“Baiklah, aku akan memberitahu Kim-uisa dulu.”
Ia mengangguk-angguk semangat dan menyantap buburnya.
.
.
“Apa?! Yeuido??” Tanggapannya di luar nalarku.
“Y-ya, dia ingin pergi ke festival musim semi di sana,” jawabku.
Kim-uisa terdiam. Ia menekan-nekan pelipisnya. “Kau tahu aku tidak akan memberi ijin ‘kan? Ia akan kelelahan.”
“Tapi kau harus melihat raut mukanya saat ia menyatakan ingin pergi ke sana. Senyuman itu bukan senyuman seperti biasanya,” aku berusaha meyakinkan Kim-uisa.
“Baiklah, tapi hanya kali ini. Dan kau harus kembali pada sore hari.”
Dengan ijin dari Kim-uisa, sekarang aku sedang mendorong kursi roda yang diduduki oleh Hwayoung sepanjang jalan Yunjungno Avenue di bawah siraman kelopak bunga Sakura yang berjatuhan. Sangat indah. Aku berjalan sekitar 15 menit sebelum berhenti di depan kedai tteokbokki untuk mengisi perut. Setelah itu kami hanya duduk di kursi taman di dekat sana.
“Apa kau sudah puas? Kau lelah ‘kan? Ayo kita pulang,” ajakku.
“Umm, Taemin, bisakah aku pergi… umm, ke rumahmu?” tanyanya tiba-tiba.
“A-apa? Mengapa?”
“Tak apa, aku hanya ingin melihatnya saja,” jawabnya seraya menatapku.
“Baiklah, tapi setelah itu kau harus pulang, arraseo?”
“Ne…”
.
.
“Wah, ruanganmu sederhana sekali!” ucapnya begitu memasuki kamarku. Aku hanya tersenyum.
“Aku suka perpaduan warnanya.” Ia bangkit dari kursi roda dan berjalan berkeliling ruangan.
“Aku tidak menyangka kau mempunyai selera yang bagus,” candanya dan tertawa.
Tapi tiba-tiba tertawanya memudar. “Taemin, sebenarnya ada yang ingin kutanyakan padamu.”
“Menanyakan apa?” aku menatapnya bingung.
“Sebenarnya mengapa kau selalu berada di sisiku? Padahal kita baru saja bertemu beberapa minggu. Kau itu sebenarnya siapa?”
“Aku… aku tak yakin bisa menjelaskannya padamu.”
“Mengapa? Kau tidak mempercayaiku?” tanyanya.
“Bukan begitu…” aku menghela napas kasar. “… Hwayoung-ah, aku tak tahu kau percaya atau tidak bahkan menganggapnya gila, tapi… Aku bukan seorang manusia.” Dia menatapku tak percaya.
“Berikan aku keterangan lebih,” pintanya.
“Aku di sini ditugaskan untuk menolong seseorang dengan membuatnya bahagia. Sudah 200 tahun aku melakukannya. Aku menuruti apapun permintaan orang itu terkecuali 3 hal,” jelasku.
“3 hal?”
“Menunjukkan wujud asliku, menciumku, atau membuatku… mencintai…”
“Mengapa-” belum menyelesaikan kalimat, tiba-tiba badannya kehilangan keseimbangan. Sontak aku segera menahan badannya.
“Hey, Hwayoung-ah? Apa kau tidak apa-apa?” tanyaku khawatir. Kulihat keningnya berkerut dan mengeluarkan keringat.
“A-aku tidak apa-apa.” Dia mencoba membuat suaranya baik-baik saja. Tapi matanya tidak bisa berbohong.
“Tidak, tidak. Ayo kita kembali sekarang.”
“Tapi-“
“Jangan membantah.”
Aku pun membawanya kembali ke rumah sakit. Wajahnya tidak seriang tadi pagi.
Aku membantunya berbaring di ranjang. Wajahnya seperti memohon kepadaku, tapi sudah waktunya untuk istirahat.
“Sekarang kau harus istirahat, Hwayoung-ah. Aku tidak ingin sesuatu terjadi padamu, kau ingin pergi keluar lagi ‘kan di lain hari?” aku berusaha membujuknya.
Ia hanya mengangguk.
“Kalau begitu sekarang kau harus istirahat.” Ia pun memejamkan matanya.
Setelah beberapa lama aku memastikan ia sudah terlelap, aku pergi dari rumah sakit kembali ke tempat tinggalku.
.
.
.
Aku berlari di koridor rumah sakit. Tadi aku menerima kabar kalau kondisinya menurun lagi. Apa kemarin dia terlalu kelelahan? Aku merasa bersalah.
Aku berhenti di depan pintu ruangannya lalu masuk ke dalam. Kim-uisa melihat ke arahku dengan tatapan sedih dan marah.
“Taemin-ssi, tolong ikut aku ke ruang kerjaku. Ada sesuatu yang harus aku bicarakan denganmu.”
Aku menurut.
Setelah berjalan hanya 2 koridor dan kemudian berbelok ke kanan, Kim-uisa membuka salah satu pintu di koridor itu dan mengisyaratkanku untuk ikut masuk ke dalam. Ruangannya terlihat lumayan tertata, kalau saja kertas-kertas data pasien tidak bersebaran di mejanya.
“Silahkan duduk,” ucapnya sebelum mulai menjelaskan semuanya.
“A-apa? Jadi?”
“Ya, seperti yang kuduga, ia kelelahan. Kondisinya sangat mengkhawatirkan. Aku takut… Aku takut dia tidak bisa bertahan lebih lama,” jelas Kim-uisa.
Aku hanya terdiam. Kemarin aku berjanji pada Kim-uisa tidak akan terjadi apa-apa. Tapi kejadian yang lebih buruk malah terjadi. Raut muka Kim-uisa seperti ‘aku sudah memperingatkanmu’ membuatku semakin merasa bersalah. Apa yang harus kulakukan?
“Kalau tidak ada yang ingin kau tanyakan, kau bisa menjenguknya.” Terlihat jelas Kim-uisa sedang mengendalikan amarahnya.
“Berapa lama lagi dia bisa bertahan?” Pertanyaanku membuat Kim-uisa menatapku kaget.
“Aku bukan Tuhan yang bisa menentukan umur seseorang. Aku tidak bisa mengatakannya,” jawabnya dingin.
“Baiklah, terima kasih.” Aku berjalan ke luar ruangan dengan raut muka kosong.
Langkahku terhenti di depan ruang rawat Hwayoung. Tanganku memegang gagang pintunya tapi tak berani membukanya. Bagaimana ini…
Aku menggigit bibirku menahan air mata yang menggenang di mataku agar tidak jatuh.
Mengapa aku merasa sangat sedih? Ini bukan pertama kali aku akan berpisah dengan seseorang. Tapi hatiku terasa teriris. Apa ini yang disebut ‘berbeda’?
Aku mengusap mataku dengan punggung tanganku untuk menghapus genangan kristal bening.
Aku pun membuka pintu itu dan masuk ke dalam.
“Taemin-ah…”
Aku tidak menjawabnya. Aku menghampirinya dengan diam. Melihatnya terbaring di ranjang tak berdaya dengan selang infus menembus tangannya.
“Taemin-ah… Aku tidak mau berada di rumah sakit ini… Aku ingin pergi…” ucapnya dengan suara parau.
Aku tetap tidak menjawabnya.
“Taemin-ah? Mengapa kau diam saja? Kau bisa ‘kan membawaku keluar dari sini?” tanyanya. Kulihat matanya yang tengah berkaca-kaca.
“Taemin-ah… Ya! Taemin!”
“Hwayoung-ssi, aku memang bisa mewujudkan segala permintaanmu kecuali 3 hal yang aku sebutkan waktu itu, tapi tidak juga pada hal yang akan membahayakanmu. Aku tidak bisa,” jawabku. Suaraku terdengar serak. Aku menundukkan kepalaku.
“Mengapa? Aku baik-baik saja. Kau bisa lihat? Aku sudah pul-“
“Baik-baik saja?! Kondisimu semakin menurun! Berat badanmu juga berkurang lagi! Seharusnya aku tidak membawamu ke festival itu… Lihatlah selang infus yang terpasang di tanganmu!” Aku membentaknya.
“Taemin…” Air mata mengalir di pipinya.
Aku menggigit bibirku lagi, aku tidak ingin ikut menangis di depannya.
“Hwayoung, aku tidak bermaksud membentakmu. Tapi tolong pahami kondisimu sendiri.” Aku menatapnya sedih.
Aku yang seharusnya menjadi penolongmu malah membuat kesehatanmu menurun, Hwayoung. Maafkan aku…
Aku keluar dari ruangannya. Pergi dari rumah sakit, meninggalkannya.
.
.
.
3 hari aku tidak menjenguknya.
3 hari aku tidak bertemu dengannya.
3 hari aku tidak melihat berbagai macam ekspresinya.
3 hari tanpa keluh-kesahnya.
3 hari… Seharusnya hari ini aku mengganti bunga di ruang rawatnya.
2 hari terakhir aku terus ditelepon oleh pihak rumah sakit ataupun Kim-uisa langsung. Kondisi Hwayoung semakin memburuk. Mengapa? Apa kehadiranku di hidupnya adalah suatu kesalahan? Apa aku akan gagal dalam tugasku? Mengapa dadaku terasa sesak ketika aku mendengar suara Hwayoung di telepon, sangat serak dan terdengar lemah?
Beribu pertanyaan tak terjawab membayangiku. Yeoja ini membuatku gila.
Ponselku berdering lagi. Kali pertama pada hari ini.
“Yeoboseyo?”
“Taemin! Lebih baik kau cepat datang ke rumah sakit!” Kim-uisa berbicara dengan panik.
“Ada apa? Apa sesuatu terjadi lagi padanya?” tanyaku mencoba tetap tenang.
“Kau tidak tahu apa yang terjadi padanya. Karena itu lebih baik kau cepat ke sini!”
Kim-uisa mengakhiri panggilannya.
Shin Hwayoung… Apa lagi yang terjadi padamu?
Aku bangkit dari kasurku dan bersiap-siap ke rumah sakit. Apa aku bisa menatapnya? Apa dia terlihat berbeda? Apa yang terjadi padanya?
.
.
Begitu aku melewati pintu masuk rumah sakit, Jung-ganhosa menarik tanganku.
“Kau… Sebaiknya kau lihat apa yang terjadi,” ucapnya seraya membawaku menuju lift dan menekan tombol dengan angka tertinggi dibandingkan dengan tombol lainnya.
Beberapa menit aku dan Jung-ganhosa berada di lift sebelum pintu lift terbuka. Perawat itu menarik tanganku lagi. Menuju pintu yang memiliki bentuk berbeda dari pintu-pintu lainnya. Jung-ganhosa memutar knop pintu itu lalu membukanya. Yang kulihat hanya sederet tangga ke atas dan sederet tangga ke bawah. Masih terheran, aku ditarik olehnya lagi. Menuju tangga ke atas. Dari balik sisi tangga yang baru saja kunaiki, kulihat 3 perawat berdiri di anak-anak tangga menatap ke arah pintu besar yang terbuka lebar.
Jung-ganhosa kembali menarikku menuju pintu itu.
“Kau ingin tahu apa yang terjadi dengannya? Lebih baik kau melihatnya sendiri.” Jung-ganhosa mendorongku masuk ke pintu itu.
Roof top
“Hwayoung-ah, tolong jangan menyiksa dirimu seperti ini. Kau bisa koma lagi. Tolong bantu kami untuk memperbaiki kondisi kesehatanmu.” Suara Kim-uisa terdengar.
“Aku baik-baik saja, uisa. Aku lebih tahu kondisi badanku sendiri,” Hwayoung membalasnya.
“Tapi kau belum makan apapun. Kau juga tidak mau beristirahat di ruang rawatmu.”
Aku berjalan ke arah suara itu. Kudapati Hwayoung yang berdiri dengan bersadar pada pagar pembatas, membelakangiku. Kim-uisa berdiri hanya beberapa langkah dariku.
Dari belakang, aku bisa melihat tubuhnya yang semakin mengurus. Aku merasa sedih atas yang terjadi padanya.
“Hwayoung-ah…” panggilku membuatnya berbalik badan.
“Taemin-ah?? Kau datang??” Ucapnya tak percaya. Dia berlari ke arahku. Wajahnya sungguh berantakan. Matanya bengkak, pipinya terlalu tirus, mukanya pucat. Dia memelukku.
“Hwayoung-ah, mengapa kau seperti ini?” Ia tidak menjawab. Tidak melepaskan pelukkannya juga.
Aku mengisyaratkan Kim-uisa untuk meninggalkan kami berdua.
“Hwayoung, mengapa kau kembali menyiksa dirimu sendiri?” Tanyaku.
“Mengapa?” Dia menatap mataku dengan sedih. “Kau juga, Taemin. Mengapa kau tidak datang 3 hari ini? Apa kau sudah tak peduli padaku?” Matanya mulai berkaca-kaca.
“Bukan begitu, Hwayoung…”
“Apa kau tidak ingin berteman denganku lagi? Tidak ingin merawatku lagi?” Tangisnya pun pecah.
“Hwayoung-ah… Berhentilah menangis…” Aku mengusap kepalanya.
Ia melepaskan pelukkannya dan menggunakan punggung tangannya untuk menghapus air matanya.
“Hari-hariku tanpamu hanya akan membuat hidupku kosong. Kau membuatku kesepian lagi,” ucapnya dengan suara serak.
Aku berjalan menuju pagar pembatas.
“Kau tahu mengapa aku tidak mengunjungimu?” Ia tidak menjawab.
“Sehari setelah aku membawamu ke festival itu, kondisimu menurun drastis. Kau tahu bagaimana rasanya? Aku merasa sangat bersalah. Aku yang seharusnya membuatmu senang malah membuat kondisimu drop. Aku merasa sangat tidak berguna.”
-Hwayoung POV-
Aku gila. Sangat gila karenanya.
3 hari dia meninggalkanku, hatiku mulai gelisah. Apa dia tidak mengerti? Aku tidak akan bertahan lama. Mengapa dia tidak bertahan di sisiku?
Penglihatanku mulai mengabur belakangan ini. Apa dia tidak tahu aku sangat ketakutan saat aku tidak bisa melihatnya di sampingku?
Aku memang sudah sekarat, Taemin. Aku tahu itu. Kata ‘baik-baik saja’ itu hanya sebuah kebohongan. Aku berusaha kuat hanya untuknya. Untuk melihatnya.
“Taemin-ah…” Aku berjalan mendekatinya.
“Kau pernah berjanji akan mengabulkan semua permintaanku, ‘kan?” Bulir bening mulai mengisi mataku lagi sedikit deki sedikit.
“Dan tidak dalam 3 hal pengecualian…” Taemin menatapku dengan mata menyiratkan rasa bersalah.
“Maaf, aku tahu aku membuatmu kecewa. Aku-“
“Taemin-ah, aku ingin melihat wujud aslimu.” Taemin terdiam.
“Biarkan aku melanggar 3 pengecualianmu itu… Tapi anggap saja permintaan ini dari orang sekarat yang dibuat jatuh cinta olehmu…” Aku menghentikan langkahku. Hanya beberapa langkah di depannya. Air mata yang semula dibendung akhirnya jatuh membasahi kedua pipiku lagi.
“Hwayoung-ah…”
“Tolong perlihatkan wujud aslimu… Taemin.”
Cukup lama terdiam. Taemin menundukkan kepalanya.
Apa dia hanya benar-benar tak peduli lagi padaku? Apa aku terlihat seperti orang putus asa di hari itu? Apa dia-
“Baiklah…”
Aku memandangnya menunggu. Taemin mundur beberapa langkah sebelum menutup mata seperti berkonsentrasi pada sesuatu.
Kulihat tubuhnya mulai dikelilingi cahaya aneh yang manusia mustahil memilikinya.
Kakinya perlahan meninggalkan tanah yang masih kupijak.
Sayap putih perlahan terbentuk dan melekat di punggungnya.
Inikah wujud aslinya? Dia benar-benar berbeda denganku. Dia memang bukan seorang manusia.
Tanpa kusadari aku berjalan mendekatinya. Penglihatanku mulai mengabur. Entah karena air mataku yang kembali keluar atau karena sisa nyawa yang perlahan direnggut.
Aku menggapai kepalanya, menariknya mendekat kepadaku.
Aku berjingkat, menyetarakan tinggi kepalaku dengannya.
Kau memang berbeda denganku, Taemin…
Aku menutup mataku dan menciumnya. Kulanggar hal kedua yang tak boleh kulakukan. Tapi karena sebentar lagi aku pun akan menghilang, tidak apa-apa ‘kan?
Aku menarik kepalaku dan membuka mata. Dari penghilatanku yang semakin mengabur, kulihat air mata keluar dari matanya yang masih tertutup.
“Taemin-ah… Tatap mataku…”
Dia membuka matanya dan menatapku sedih.
“Kau membuatku melanggar 2 hal yang seharusnya kupegang teguh, Hwayoung-ah.”
“Akan kulanggar semua peraturanmu itu.” Aku menatapnya dengan segenap keyakinan.
“Aku mencintaimu.”
“Hwayoung-ssi, tolong jangan membuatku-“
“Aku benar-benar mencintaimu, Taemin. Aku tidak bisa membohongi diriku lagi.”
Dia terdiam kembali.
Tidak bisakah kau membalasnya? Apa perbedaan di antara kita penyebabnya?
“Aku tidak akan meminta apapun lagi darimu. Terima kasih… Terima kasih sudah mengukir hal indah yang tidak pernah kubayangkan…”
“Aku mencintaimu.” Kalimat terakhir yang kulontarkan sebelum penglihatanku menggelap, dan kurasakan tubuhku seperti melayang. Tidak bisa merasakan apa-apa.
-Taemin POV-
Tubuhnya melemah di kedua tanganku. Ya, Tuhan perlahan menarik nyawanya.
Bisakah aku egois? Bisakah aku berhenti menahannya lagi? Apa Tuhan akan mengijinkanku?
“Hwayoung-ah…” Aku memeluk tubuhnya. Pertama kali aku menangis di depannya.
Aku menangisi tubuhnya yang mungkin sudah sepenuhnya tak bernyawa. Apa sudah terlambat?
“Hwayoung-ah.. Aku pun mencintaimu.”
Aku begitu lelah membohongi diriku sendiri. Gadis ini… Gadis ini terlalu berbeda. Dia membuatku merasakan sesuatu yang berbeda. 3 hal pengecualian yang selama hampir 200 tahun ini kupegang teguh, aku rela melanggarnya hanya untuk gadis ini.
Gadis yang berbeda…
.
.
.
.
.
-Hwayoung POV-
Aku membuka mataku. Apa ini surga? Apa aku sudah benar-benar terpisah olehnya? Apa aku tidak-
Bau lezat tteokbokki tercium di hidungku. Apa di surga ada pembuat tteokbokki juga?
Aku memfokuskan pandanganku. Langit-langit coklat, tembok berwarna soft-cream, lantai parquet merbau berwarna coklat tua.
Tunggu… Apa???
Aku bangkit dari posisi terbaringku.
Langit-langit coklat?
Tembok soft-cream?
Lantai parquet coklat tua?
Masih menyesuaikan dengan apa yang terjadi, seseorang membuka pintu dan memunculkan kepalanya.
“Hwayoung-ah, kau sudah bangun?”
“T-Taemin??”
“Sarapanmu sudah siap, lebih baik kau cepat memakannya sebelum makananmu dingin.” Taemin menutup pintu tanpa menunggu jawaban dariku.
“T-tunggu.. T-Taemin! Ini a-apa? Apa maksudnya?!” Aku berlari keluar kamar dan mendapati Taemin tak jauh dari pintu kamar.
“Apa maksudnya?” Aku menarik tangannya. Dia menatapku dengan senyuman yang bermaknakan sesuatu yang tak kumengerti.
“Kau ingin tahu? Lebih baik kau habiskan sarapanmu dulu.” Taemin mengacak rambutku asal.
“Apa?? Ya! Kau menyebalkan!”
“Aku juga mencintaimu!”
Taemin, apa maksud ini semua? Apa yang sedang kau sembunyikan?
Aku berlari mengejarnya.
“Ya! Jelaskan semuanya padaku!”
.
.
.
–Flashback-
“Hwayoung-ah.. Aku pun mencintaimu.”
Aku menangisinya. Terus menangisinya. Terjawab sudah beribu pertanyaan yang ada pada diriku. Aku mencintainya. Aku tidak ingin kehilangannya.
“Kumohon, biarkan dia hidup. Ambillah kekuatanku. Tapi biarkan dia hidup dan hilangkan penyakitnya. Aku ingin hidup bersamanya. Sebagai sepasang manusia normal.”
Pandanganku menggelap.
Tuhan mewujudkan permintaanku.
Hwayoung-ah, kali ini kita akan benar-benar bersama… From the last blossom.
END
Note :
Aku ga sempet edit detail ff ini, jadi mohon maaf kalau masih banyak kata-kata yang salah atau kurang pas. Maaf juga buat Lana eonni aku posting ff ini telat banget, dan ceritanya jadi super duper panjang. Terima kasih sudah baca ❤
©2011 SF3SI, Freelance Author.
Officially written by ME, claimed with MY signature. Registered and protected.
This FF/Post legally claim to be owned by SF3SI, licensed under Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License. Permissions beyond the scope of this license may be available at SHINee World Fiction
Please keep support our blog, and please read the page on top to know more about this blog. JJANG!
Panjang banget… Hehe… Tapi bagus… Kebayang Taemin jd malaikat…
Terlalu panjang kah? :”
Kadang kalo liat foto taemin yang lagi senyum kebayang juga shining-shiningnya dia, tapi kalo liat dia waktu ngerjain hyung-nya, aku setuju tanduk merah muncul di kepala dia hahahaha
Gomawo udah mampir kesini X3
ini….aaah.. gatau kenapa pas baca ini aku bener2 bisa bayangin wujudnya taemin kaya apa. ekspresinya… :’D aaa sukses banget deh pokonya ini ff ❤ glad to know that it's a happy ending :'D
oshin eonni, annyeong!!
haha aku ubah sebentar image dia yang menjadi Tae-MAN sekarang ini ke Tae-baby dia dulu.. gemes tiap liat dia ngerjain hyung-nya di fancam :”
sad ending kayaknya kurang pas kalo di momen-momen ultah dia. dan kebetulan aku penyuka sad story-happy ending, jadi ngga tega kalo tokoh ceweknya ninggalin Taemin beneran.. where will his love go to? hyuuu~ ㅠㅠ
Gomawo udah mampir ke sini~ *peluk-cium*
Wahh, taemin jdi angel nihh! Tpi bneran ini ff pnjaaannggg bgt, jdi cpek bgt abis bcanya… Tpi gpp kok, crtanya bgus bgt jdi pnsran sblum bca smpe end
Taemin-angel is back!! X3 /?
aku juga ga nyangka bakal jadi sepanjang ini. aku cuma ngetik ngetik ngetik dan begitu liat hitungan kata jadi speechless juga.. mau ngurangin beberapa part tapi berasa kurang
bikin penasaran kah? wahhh glad to hear that! :’)
Makasih ya udah mampir kesini, ditunggu juga komentar di postingan-postingan berikutnyaaaa~
Cerita ini emngingatkanku sama postman from heaven.. uhuk uhuk.. taemin jadi malaikat ciee…
tp aku susah ngebayanginnya, bayangin taemin jadimalaikat.. masa ngblur gitu? #plakk #abaikan
sukasukasukaa..hahahaha…:D
begitu baca komentar ini aku langsung cek di mbah google.. huaaa Jaejoong-oppaa!! ㅠㅠ
aura ‘badboy’ sama ‘evil’-nya dia mendominasi imagenya sekarang ini, jadi kangen sama Tae-baby.. u.u
awalnya juga mikir, aura dia yang begitu kalo dijadiin cast di cerita ini kira-kira bakal tabrakan ngga ya? tapi begitu liat dia nyanyi lullaby ‘Island Baby’, muka dia masih cocok dijadiin angel mwahahahaha
Gomawo udah bacaaa :*
Iya, bner2 bkin pnsran! Aku aja kmren niatnya kan mau brhnti d tngah crta, trus mau mndi dlu, abis itu lnjut lg… Ehh, ini mata ga mau brhnti klo blum ada tulisan “END” nya gtu 😀 .. Pdhal END nya msih lmyan jauh bgt. Bner2 dbikin pnsaran smpe akhir pkoknya!! Jadinya mandinya agak sorean dehh 😐 … Tpi yaa gapapalah, yg pnting kan udh tau endingnya 😀 …
Iyaa sama2, thorr 😉 .. Psti ntar aku bkal sring2 mmpir lg kok 🙂
Hahaha sampe segitunya XD
Tapi kadang aku juga gitu sih, apalagi baca cerita yang berchapter-chapter, tadinya mau tidur malah keterusan baca sampe pagi XD
Okee, makasih ya :*
Hahaha, iya thor bner bgt. Emang dehh klo udh pnsaran tngkat dewa tuh yaa, nanggung bgt klo blum bner2 end hehehe 😀 …
Oke thorr, sama2 😉 :*
Aduhh, klo mau reply knpa ga bsa lngsung d bwah komen author yg bales komen aku kmren yahh 😐 ?? Pdhal udh aku klik reply d bwah komen author… Tpi ttep aja kok selalu jdi komen bru gni sihh?
Itu knpa yaa? Ada yg bsa bntu sya?
Di semua page kah?
Aku ga pinter IT, jadi ga tau tentang masalah begini 😦
Iya, thor. Kmren wktu aku reply komen author d page lain jga gni, selalu jdi mncul komen bru gni ga lngsung d bwah komen author…
Iya, thor. Kmren wktu aku reply komen author d page lain jga gni, selalu jdi mncul komen bru gni ga lngsung d bwah komen author…
kerennnnnnnn*_* bahasanya dapet bgt.. alurnya ngga ngebosenin walopun panjang~
Nice ff!!~~~
hehehe tapi aku kok ngerasa ada bahasa yang ga masuk akal ya? :”
maaf ya ceritanya panjang banget ㅠㅠ
Makasih udah bacaaaaa \^-^/
Wah.. OS super panjang! *o*
Tapi tetep keren kok thor! Aku suka cerita romance-fantasy :D!
Salut deh buat Author FF ini, biarpun FF-nya panjang tetep gak ngebosenin (y).
Feel nya saia Dapet kok thor.
Terus diksinya juga pas, gak berlebihan Dan enak bacanya.
Kalau Soal detail-mendetail, yaaa.. Sayang aja sih, Soalnya detail kehidupan mereka berdua sbg manusia Ga dilanjutin T-T. Terus Nasib Kim-uisa ama Jung-ganhosa gimana??
Tapi, teneng thor.. Saia kagak minta sequel kok.:) cuma saia udah bisa ngebayangin lanjutan ceritanya 😀
Overall, one word for this FF : Ddaebak!! 😀 😉
Kamu suka cerita romance-fantasy? *cipok
Haha aku juga suka, banget malah, sama cerita romance-fantasy apalagi yg ada banyak up and down-nya, kayak judul lagu SHINee /?
Wahhhhh, seneng dengernya!!! Waktu dipublis aku takut banget bakal bikin pembaca bosen, atau alurnya ngga jelas, atau ada yang ga masuk akal, dan masih banyak ‘atau’ yang lain X_X
Tapi kalau pembaca ga ngerasa bosen, aku bersyukur banget :’D
Kisah selanjutnya? Bibim bim biiim… Tanpa diminta sih aku sendiri sbenernya mau nulis lanjutannya, minimal tentang Kim-uisa sama Jung-ganhosa.. Kalo storyline-nya, pasti udah ketahuan sih hehehe 😀
Tapiiii, berhubung aku moody banget jadi aku juga belum bisa pastiin fix atau ngganya ㅠㅠ
Makasih ya udah bersabar ria baca ff yang super duper panjang ini~ :*
keren banget ceritanya
gak ketebak alur ceritanya:)
keep writing thor….
Hohoho makasih ya udah baca sampe selesai *peyukk
Biasanya romance itu gampang ditebak, tapi fantasy itu luas /dalam pandangan aku/
Sebenernya cerita ini kayak roman picisan, ketemu>>deket>>saling cinta, tapi kalau memang alurnya ga ketebak, aku ngerasa puas banget :’))
Sekali lagi makasih ya udah baca ff ini 😀
Uh panjangnyo.. Brapa page ini? Tp aq udah terbiasa sama yg panjang2 sih hohoho
angle taem bukan baby taem hehe…
Ada ff-ny yg fantasy lg thor? Kalo ada recommend ya ^^::: aq suka bget fiction fantasy… Ato kalo punya yg angst jg boleh *maunya..
annyeong!
jumlah page ff ini…. melewati garis batas /?
aku terlalu larut dalam mengetik dan ga nyangka jadi sepanjang ini.. maaf bikin kamu pegel :” *pijitin
rekomendasi? umm…. hehehe~
aku blm pernah baca ff yg menurutku bener2 fiksi sekaligus bener2 angst.. tapi kalo ff fiksi, aku mau rekomendasiin ff dari Papillon Lynx, “My Princess for Me” dan dari Reene, “Who I am? I am an Eve”.
dan kalo ff angst, coba baca ffnya Boram eonni, “God Must Be Hate Me”.
Aku juga suka banget sama ff-nya Azmi, “Love Me”, ceritanya bikin makan hati haha, sayangnya ff itu blm dilanjutin lagi sampe sekarang, tapi dari beberapa part yg ada kisahnya udah bikin aku nangis berkali-kali. :’)
Makasih ya udah baca ff-ku~ *bighug
Awalnya pas baca hwayoung meninggal, aku udah mewek…
Eh, pas baca yang Taemin ngorbankan kekuatannya demi hwayoung, aku tambah nangis kejer (?)
Nguras air mata banget min… :”
Feel nya dapet banget… keren. Suka banget sama FF ini :’D b
Very nice… keep writing ^^
kamu nangis?? cup cup cup *ambil ember* /eh
aku terharu :’) waktu nulis juga aku sempet nangis.. ff ini terlalu nyentuh hati kamu kah?
makasih ya udah baca ff ini, jangan lupa baca ff yg lainnya juga~ ^-^
keren banget.. feelnya ngena
Syukurlah :”)
Makasih ya udah baca ^-^
Ceritanya Sedih banget,tapi endingnya bahagia.Gak ketebak.Keren banget.
Akhirnya hwayoung sembuh dan taemin jadi manusia biasa.
hehehehe makasih ya udah baca ^^
haaaaaaa keren banget ya authornim:”) dan kenapa jonghyun naru diperkenalin pas tengah cerita hah!? akhirnya aku ngebayangnya kim uisa itu cewe-,- but gapapapa ini udh keren banget ffnyaaa
uuuuu makasih yaa :”)
hahaha biar penasaran gituu #plakk
gomawo udah baca yaaaa 😀
sesunggguhnya ceritanya panjang sehingga aku skip, tapi tetap masih ngerti kok(?) garis besar ceritanya maksudku
ainggggg aku mau nangis bacanya:(((
sedih….
tapi happy ending hahahha
keren
aku baru tau ada hepatitis x XD
good job!!
huahh maaf ya, author terlalu bersemangat sampe-sampe ceritanya terlalu panjang huhu ㅠㅠ, sini-sini aku kasih tissue~
hehe hepatitis x emang ada kok, tapi sangat sangat sangaaaatt jarang ditemukan makanya belum ada penanganan totalnya hehehe
makasih ya udah bacaa \^-^/
Ternyata ga cuman aku yg ngira kim uisa itu cewek. .
Baru tau kalau di jjong wkt di tengah2. .haha
Suka bgt bgt bgt sama karakternya Taemin disini :3
Aku rela deh sekarat biar ada malaikat kyk taemin. .haha
Love bgt,keren!
kata uisa terlalu identik dengan cewek sepertinya (?)
kyaakyaaakyaaa jangan dongg nanti Taemin ga bisa bantu-bantu lagi hahahaha…
makasih ya udah mampir hehehehehe X3