#selfie [1.2]

#selfie – 1/2

 

Author             : Faciikan

Main Cast        : Minho and Choi Yujeong

Support Cast    : Ahn Sohee

Genre               : comedy, family, oppaMinho!au

Length             : two shots

Rating              : General

Summary         : “Kau tidak lihat?” “Di sini aku terlihat seperti induk anjing laut.” “Yang ini terlihat seperti wanita paruh baya.” “Apalagi yang ini! Ini bencana!”

A.N                  : What did I just wrote?

“Oppa!” Pintu kamarku diketuk dengan kekuatan yang tiada kira. Suara melengking itu lagi-lagi mengisi seisi rumah, seperti kabar buruk bagi semua yang mendengarnya. Setelah lengkingan itu, gedoran pintu semakin kencang, seakan ia mendobrak pintu untuk menyelamatkanku dari—apalah, kebakaran?

Oppa aku pinjam kameramu!”

Aku mengeluarkan nafas berat dan berjalan malas ke arah pintu. Kubuka kuncinya, tidak repot-repot membuka pintunya sekalian, setelah itu lanjut berbaring tengkurap sambil membaca Inferno karangan Dan Brown.

Setelah mendengar bunyi klik, ia langsung mempersilahkan dirinya untuk masuk ke kamarku. Seperti seorang polisi yang menggeledah barang bukti, ia langsung menyentuhkan tangannya ke segala benda di kamarku. Ia membuka tiap laci, tiap pintu, bahkan sibuk menyingkap seprei kasur mencari barang yang ia ingin pinjam. Ratusan peringatanku tentang larangan sembarangan menyentuh barangku tidak ia indahkan. Aku hanya memutar bola mata, sama sekali tidak berniat membantunya.

Lalu adikku itu mulai jengkel dan menindihku, duduk dengan nyaman di atas punggungku. Lalu ia mulai menaik-turunkan badannya, benar-benar mengganggu soreku. “Oppa! Ayolah, keburu efek-habis-mandiku hilang.”

Aku melenguh dan menunjuk lemari bajuku. Di atasnya ada benda yang ia cari. Kemudian ia meremas bahuku, dari nada suaranya aku bisa mendengar ia sedang menyeringai senang, “Nah, dari tadi dong.”

Ia segera mengambil kursi belajarku dan menaikinya. Dengan mudah ia mengambil tas hitam kecil itu, ia menggantung tas itu pada pundak kanannya. “Thanks, kukembalikan secepat mungkin.” Kemudian ia berlari kecil keluar dari kamarku, tidak repot-repot menutup pintu.

Aku menggeram kesal karena kelakuan adik kecilku yang satu itu. Sekarang aku harus berdiri, berjalan, menutup, dan mengunci pintu kamarku padahal lima menit lagi ia akan kembali seperti badai ke kamarku. Tapi kuputuskan untuk menutup bukuku dan turun dari kasur, alih-alih menutup pintu, aku menyusul adikku ke kamarnya.

Yujeong tidak pernah repot menutup pintu kamarnya—kecuali kalau ia memang merasa perlu menutup pintu, itu pun jarang—jadi aku bisa dengan santai bersandar pada bingkai pintu dan melihatnya sibuk mengambil selfie di depan meja riasnya. Aku tertawa kecil melihat peringainya.

Ketika ia mulai mengambil ponselnya dan menghubungkan kameraku dengan ponselnya, aku tahu ia sudah selesai dengan urusan selfie ini. Aku melangkah dengan langkah panjang-panjang dan duduk dengan nyaman di kasurnya. “Sudah selesai?” Tanyaku, mengintip ke layar kamera.

“Sudah sih,” Ada nada tidak yakin dalam suaranya, aku mengantisipasi ronde selfie kedua darinya. “Tapi hasilnya tidak bagus-bagus amat.”

Aku mendengus, “Kalau mau hasilnya bagus, pakai DSLR-mu sendiri saja.”

“Aku justru kelihatan tambah jelek kalau pakai DSLR. Itu salah satu peraturan selfie, kamera ponsel dan digital itu memperlihatkan apa yang ingin kau lihat, SLR itu menunjukkan kebenarannya.” Ia mulai menyunting sedikit foto yang baru ia ambil. Memberi kontras di sana-sini, memberi gradasi warna, tak lupa filter agar gambar itu terlihat lebih vintage. Aku tidak paham dengan tren filter dan selfie ini.

Aku memperhatikannya dengan cekatan membuat gambar dirinya menjadi amat surreal dengan segala efek itu. Aku memberi komentar sarkastik padanya, “Kenapa tidak pakai photoshop saja sih? Kan lebih canggih.”

Well, itu peraturan selfie yang lain. Phone application editing is okay, photoshop is like a huge no.” Ia tidak mengalihkan pandangan dari ponselnya.

“Memang ada yang seperti itu, peraturan selfie? Seperti konstitusi?” Aku menyeletuk. Ia menengok dan memberiku tatapan are-you-freaking-serious-now? Aku hanya mengendikkan bahu.

Ia memutuskan untuk tidak menjawab pertanyaanku. Ia hanya kembali meneliti satu-persatu hasil editannya, menilai mana yang paling bagus untuk diunggah ke Instagram.

Kemudian aku mendengar ia mengoceh sebal, karena menurutnya tidak ada foto yang pantas untuk diunggah. Kalau dari sudut pandangku, semuanya cocok-cocok saja, tapi memang misteri terbesar umat manusia, isi kepala si Yujeong itu.

“Kenapa tidak jadi?”

Ia menatapku nanar. “Kau tidak lihat?” Ia menunjukkanku sebuah foto, “Di sini aku terlihat seperti induk anjing laut.” Ia mengusap layar, menampilkan foto yang lain, “Yang ini terlihat seperti wanita paruh baya.” Ia mengusap layar lagi, “Apalagi yang ini! Ini bencana!”

Dari ketiga foto yang ditunjukkan Yujeong, selain pose dan filter, aku tidak menemukan perbedaan sama sekali. Just my sister Yujeong, the same old Yujeong.

Adikku memasukkan lagi kamera digitalku ke dalam tasnya dengan rapi. Kemudian ia menaruhnya di pangkuanku. Kepalanya masih menunduk lesu. “Nih, sudah selesai.”

Aku mengangkat sebuah alis, tapi enggan untuk bertanya lagi. Sepertinya mood adikku kali ini sedang tidak bisa diganggu. Aku berdiri dan menyampirkan tas kecil itu ke pundakku. Yujeong segera melempar dirinya ke atas kasur, kepalanya ia masukkan antara dua bantal. Aku berbalik dan melihat ke arahnya sekali lagi. Tanpa pikir dua kali, aku menutup pintu.


Aku sedang ditiban sial. Sial sesial sialnya sial.

Harusnya ini menjadi date night yang sempurna. Hanya aku berdua dengan pacarku. Apalagi kami barusan menonton drama musikal, jadwal selanjutnya adalah makan malam romantis, lalu mengobrol ringan di pinggir Sungai Han. Tapi memang bukan nasib, ibuku justru menelepon, meminta tolong agar aku menjemput adikku dari tempat bimbingan belajar dan menjaganya sampai orang tuaku pulang nanti.

“Argh,” Aku menggeram. “Harusnya aku tidak mengangkat telepon Eomma.”

Sohee hanya terkekeh di sampingku. Ia meremas lututku dan berkata, “Hush, dasar kakak jahat. Lagi pula aku juga kangen pada Yujeong. Kapan ya terakhir aku bertemu adikmu?”

Aku menggelengkan kepalaku, “Jangan bilang kau justru mendukung ini.”

Well, tidak ada salahnya mengundang adikmu ‘kan? Yujeong ‘kan juga adikku, jadi aku sama sekali tidak keberatan.” Sohee mengendikkan bahu dan tersenyum manis padaku. Biasanya sih, aku langsung luluh lantak pada senyuman itu, tapi bayangan tentang date night dengan adikku menjadi third party lebih besar efeknya ketimbang senyuman Sohee.

Panjang umur, begitu kami membicarakan tentangnya, Yujeong langsung masuk ke dalam mobil, membanting pintu pada prosesnya. Ia menyapa dengan ceria, “Hey!”

“Hey juga,” Sohee menoleh, “Bagaimana sekolahmu?”

“Eh, ada Sohee ­unnie. Sekolahku baik-baik saja.” Yujeong menjawab.

Karena memang mood-ku sedang hancur, aku menghancurkan atmosfir hangat yang diciptakan Sohee dan Yujeong. “Kau lama sekali. Beruntung belum kutinggal.”

Adikku balas mencibir, “Karena aku murid yang pintar, murid yang lain banyak bertanya padaku, puas?”

Dengan masuknya adikku ke mobil, artinya hancur sudah semua rencanaku malam itu. Kuteruskan saja sekalian, makan di restoran keluarga. Pemandangan yang kami hasilkan cukup aneh, sepasang sejoli berumur dua puluhan dan seorang remaja labil. Bayangkan saja skenarionya, benar-benar tidak elok.

Selagi kami menunggu pesanan, adikku asyik bermain dengan ponselnya. Sohee duduk di sebelahnya dan mengintip. “Kau punya Instagram? Follow aku!”

Yujeong memberikan ponselnya pada Sohee, membiarkan calon kakak iparnya itu mencari nama akunnya. Adikku melihat ke layar. Dua orang itu kemudian sibuk dengan pembicaraan mereka tentang social media itu.

Unnie, ini cantik sekali!” Puji Yujeong. Samar-samar aku bisa melihat foto yang ditunjuk oleh adikku.

Sohee tertawa kecil. “Terima kasih. Fotomu yang ini juga,” Sohee memperlihatkan layar ponselnya pada Yujeong. Kukira ia akan membalas dengan ucapan terima kasih atau remark terlalu percaya diri yang merupakan ciri khasnya. Tapi tidak, ia justru berkata, “Tidak sebagus punya Unnie. Badanku terlihat tiga kali lipat lebih besar.”

“Kalau begitu ayo berfoto denganku.” Ajak Sohee. Tapi adikku menggeleng, “Tidak mau. Akan terlihat seperti surga dan neraka jadinya. Tentu saja Unnie surganya dan aku nerakanya.”

Sohee memandangku penuh kode. Tapi aku sama sekali tidak bisa menerjemahkan morse ekspresi itu. Aku hanya mengendikkan bahu. Kemudian pandangan Sohee berbalik ke adikku. Ia asyik scrolling, tapi air mukanya datar. Tidak lama, pesanan kami datang. Aku dan Sohee mengobrol, sedang Yujeong makan sambil mengerjakan PR.

Untungnya setelah kami makan malam, ibuku mengirim pesan singkat mengatakan bahwa beliau sudah sampai di rumah dan aku bisa mengantar Yujeong pulang dan melanjutkan kencanku tanpa adikku di antara aku dan Sohee. Segera aku mengantar ia pulang, jadi aku bisa melanjutkan rencana kecilku.

Kami mengambil spot di dekat Jembatan Banpo untuk keperluan pemandangan, walaupun di mana saja terasa afdol. Banyak pasangan lain berseliweran, entah berjalan-jalan atau duduk-duduk santai. Kami duduk di salah satu bench.

“Kau harus membantu adikmu,” Kata Sohee setelah ia menyesap coklat panasnya.

“Ada apa dengan Yujeong?” Sungguh aku sama sekali tidak punya ide apa yang salah dengan adikku sampai Sohee berkata begitu. Katakan tidak peka, karena memang kenyataannya aku begitu.

Sohee terlihat terkejut. “Sungguhan, Minho?” Ia menyipitkan mata, lalu tertawa seakan tidak percaya. “Masalahnya tepat di depan hidungmu dan kau sama sekali tidak tahu? You really are the master of sensitivity.”

Aku memasang muka datar pada Sohee, artinya: langsung pada intinya saja.

“Adikmu memiliki low self-esteem.” Sohee menjelaskan dengan sabar padaku. “Itu sih biasa di kalangan remaja, tapi sepertinya punya adikmu sangat khusus.”

Aku menaikkan sebuah alis. Sama sekali buntu.

“Oh ayolah!” Sohee meninju lenganku, “Low self-esteem? Semua orang pernah mengalaminya ‘kan? Kau tidak percaya diri, menganggap dirimu jelek, gendut, dan lain sebagainya.”

Aku berpikir sejenak. Pernahkah aku merasa seperti itu? Kurasa tidak, aku selalu mempunyai kepercayaan diri yang cukup. Fun fact, aku juga seorang pelajar dengan prestasi gemilang, mungkin itu alasannya. Jadi, aku menggeleng pada Sohee.

“Yeah, mungkin tidak terjadi pada soerang bintang basket dan peraih peringkat lima paralel dalam ujian SAT.” Sohee memutar bola mata. “Tapi jelas terjadi pada kebanyakan orang. Itu juga termasuk aku.”

Aku mulai mengerti apa yang ia maksud. “Jadi semacam slump?”

“Ya!” Ia tersenyum, senang karena aku akhirnya paham maksudnya. “Mirip seperti itu.”

Aku mengangguk-angguk paham. Senang karena aku sudah menyadari problemnya, Sohee memutuskan untuk berhenti membahas tentang hal itu dan mengamati pelangi yang dibuat oleh air dari Jembatan Banpo. Yang aku lakukan adalah berpikir bagaimana aku bisa membantu adikku. Tapi aku tidak punya ide sama sekali.

“Sohee?”

“Hmm?” Ia berbalik menghadapku.

Aku menggenggam satu tangannya dan menelisik wajah Sohee, serius, fokus, dan lama. Aku memperhatikan pipinya yang mulai menunjukkan warna kemerahan yang imut. Tapi jujur saja, pikiranku sedang tidak ada di situ. Nampaknya ia mulai tidak nyaman, karena sejurus kemudian ia berkata, “Uh, Minho, ada apa?”

“Kau tahu bagaimana bisa membantu adikku?”

Warna kemerahan yang tadi menjalar di pipinya hilang perlahan. Tanpa aku sadari, situasi menjadi canggung yang mengarah ke aneh. Sohee berdeham dan memperhatikan kembali warna-warni air Jembatan Banpo. “Kalau itu aku tidak tahu.”

-to.be.continued-

@2013 SF3SI, Faciikan

sign-faciikan

Officially written by faciikan, claimed with her signature. Registered and protected.

This FF/Post legally claim to be owned by SF3SI, licensed under Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License. Permissions beyond the scope of this license may be available at SHINee World Fiction

Please keep support our blog, and please read the page on top to know more about this blog. JJANG!

12 thoughts on “#selfie [1.2]”

  1. Lama engga mampir kemari. Dan, belum ada tulisanmu yang engga menarik buat dibaca.
    Aku suka tema yang kamu angkat ihhh… Nyata terjadi di kalangan anak muda, terkadang aku rasakan juga. Ya berharap minho nemu solusinya deh, siapa tau bisa ditiru, hihi

    Ditunggu part duanya yaaaa

  2. Waa..udah lama nggak mampir.
    Tulisannya ngalir dan tema yang diangkat bagus dan aktual. Selfie, yang kelihatannya hanya bisa dilakukan oleh orang-orang narsis, ternyata faktanya tidak sesederhana itu.

    Kutunggu lanjutannya 🙂

  3. Baru tau kalau selfie itu pakai aturan segudang seperti itu hmmm
    Minho kurang peka, aku juga ga mengerti awalnya haha
    Tapi yah ngerti juga pada akhirnya

  4. kayaknya aku juga termasuk ke dalam orang yg pernah hm lebih tepatnya masih mengalami low-self esteem :’D
    suka ide ceritanya 🙂 ayolah minho lebih peka sedikit yaa xD

Leave a reply to Nuri Yani Cancel reply