Americano

AMERICANO

Kim Kibum and Kim Jonghyun

.

Kibum selalu menyangka Jonghyun menyukai segelas americano di malam hari

Zaky’s

Barangkali gadis kasir itu mengira Kim Kibum memiliki ketertarikan padanya. Dalam seminggu, Kibum mengunjungi coffee house di ujung jalan tersebut lebih sering dari pelanggan biasa dan selalu bertepatan dengan shift kerja si gadis. Ia akan menyapa si gadis dengan ceria dan tidak pernah membeli lebih dari satu item, terlalu mencurigakan jika disebut sekadar berkunjung.

Sayangnya, gadis itu harus menelan kembali asumsinya karena si pemuda sembilan belas tahun pada dasarnya hanya menaruh hati pada gelas kertas berisi americano yang kini ditangkup lima jemarinya. Ia tidak, bahkan di sudut terjauh otaknya sekalipun, menghiraukan gestur malu-malu gadis kasir ketika menyerahkan kembaliannya.

Ia menggumamkan terima kasih, lantas mengantongi uang kembalian dan mendorong pintu kaca menggunakan tangan yang sama—karena tangannya yang lain menjaga gelas kertas tetap aman dari segala guncangan. Dengan bantuan siku dan sedikit dorongan bahu, akhirnya ia bisa merasakan deru angin musim gugur di kulitnya. Pemuda itu mengembuskan napas pelan, membenamkan tangan yang bebas (dan sibuk) ke dalam saku jaket, dan berjalan menyusuri trotoar menuju pusat kota.

Langkahnya cukup ringan di sepanjang perjalanan, dan hampir terlihat sedang menari saat menaiki anak-anak tangga di luar bangunan persegi berlantai tiga. Senyumnya terkembang lebar sekali hanya dengan menemukan pintu kaca tebal di hadapannya.

Orang akan menganggapnya bodoh karena tersenyum di depan pintu yang jelas-jelas terkunci tersebut, tetapi Kibum tidak pernah ambil pusing dengan anggapan orang-orang lain. Ia berjongkok dan sedikit meminggirkan pot tanaman dari samping pintu agar gelas americano-nya mendapat tempat yang cukup di sana. Lantas, ia menempelkan sticky note bertulis ‘Fighting, Kim Jonghyun’ di dinding gelas.

Itu saja telah membuat kuncup-kuncup bunga dalam hati Kibum merekah. Sekali lagi ia tersenyum, mengangguk puas, lalu segera meninggalkan lokasi. Selihai seorang pencuri ulung, ia telah kembali ke trotoar kurang dari semenit kemudian, melangkah bersama pejalan kaki kelelahan dan kedinginan lainnya.

~~~

You’re so gay.”

Kibum berpura-pura mengentakkan kepalanya mengikuti dentum lagu yang mengalun dari kedua earphone. Celetukan teman sekamarnya praktis terabaikan karena kenyataannya tidak demikian dan itulah yang terpenting. Persetan apa yang dikatakan semua orang, selama ia tidak melanggar hukum yang ada, maka seharusnya tidak ada masalah.

Dan menggemari seorang DJ sama sekali bukan tindakan kriminal.

Melihat aksi ini, Choi Minho hanya menggeleng-gelengkan kepala dan kembali berkutat pada tumpukan jurnal dan ringkasannya sendiri. Tetapi tentu saja itu hanya berlangsung lima menit, karena selanjutnya ia kembali memutar kursi dan memandangi Kibum di atas salah satu ranjang.

“Kibum, sumpah. Kau benar-benar—”

“Ssh!” sentak Kibum, telunjuk terangkat ke bibir. “Jangan bicara, sebentar lagi lagunya selesai.”

Minho mengembuskan napas keras. “Biasanya orang hanya mendengarkan lagu, tahu. Bukan ocehan penyiarnya.”

“Persetan, Minho. Diamlah karena aku tidak akan mendengarkanmu,” tukas Kibum tidak sabar. Minho melontarkan tangan ke udara dengan lagak frustrasi, kemudian menghadap mejanya lagi. Bukan untuk melanjutkan tugas, tetapi mengemasi semuanya secara efektif menjadi satu tumpuk rapi.

“Aku ke ruang diskusi, kalau kau ingin tahu.” Minho mengamati teman sekamarnya sambil mengangkat tugas-tugasnya ke dekapan. “Yang aku yakin sebenarnya tidak.”

“Yeah, kencani saja junior itu di sana. Ruang diskusi selalu sepi di malam hari,” balas Kibum, menyeringai begitu mendapati telinga Minho merah padam. Bagaimanapun, ia tidak punya waktu meladeni argumen temannya karena lagu telah usai dan kini terjadi jeda kosong. Dalam tiga detik, ia akan—

“Problem dari Ariana Grande menjadi pembuka pertemuan kita. Aku, Kim Jonghyun, akan mengisi dua jam dalam malam kalian. Lepaskan penat dan bersantailah malam ini.”

Tanpa sadar Kibum memejamkan mata dan mendesah perlahan. Suara ceria dan tertata Kim Jonghyun di telinganya seolah menjadi suntikan semangat bagi energinya yang tersisa kurang dari lima persen. Ia tidak peduli topik yang sedang diocehkan lelaki itu sekarang, karena satu-satunya yang dibutuhkannya hanya suara Jonghyun. Suara dan tawa lelaki itu. Bagus sekali jika dia juga berkenan membagi cerita pribadi, bukan hanya kiriman pada pendengar.

Kibum menepis pernyataan Minho tadi. Dia bukan homoseksual. Ketertarikannya pada Jonghyun jelas-jelas berada dalam jalur seorang penggemar kepada idolanya. Bahkan, ia hanya mengidolakan suara Jonghyun, karena ia tidak pernah mengetahui rupa DJ muda itu. Bukankah semua orang pernah mengalaminya? Seperti saat kau menikmati suara penyanyi entah-siapa tapi kau sudah membaiat diri menjadi penggemarnya.

Pertama kali Kibum mendengar suara lembut memabukkan ini adalah setahun lalu, ketika ia masih menjadi mahasiswa tingkat awal yang kesepian dan tidak punya teman. Ia iseng mencoba memutar saluran radio secara acak dan mendadak Jonghyun berkata tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari perubahan lingkungan; bahwa segalanya pada akhirnya akan baik-baik saja karena kau mulai terbiasa. Kibum berakhir mendengarkan lelaki itu berbicara selama dua jam, selalu menyesal tiap kali lagu diputar untuk menyelingi tiap sesi.

Tawa ringan Jonghyun menerpa telinganya dan ia mengumpati diri sendiri untuk terbawa arus nostalgia tanpa mendengarkan dengan saksama.

“Seperti yang semua orang tanyakan,” kata Jonghyun riang. “Apakah aku menerima segelas americano atau tidak. Jawabannya adalah: ya, aku menerimanya. Ini adalah gelas kedua puluh dua dan dengan ucapan penyemangat yang sama. Terima kasih pada siapapun yang telah memberiku.”

Kibum membenamkan wajah ke bantal, tidak bisa menahan kebahagiaan membuncah dalam dadanya. Hanya membayangkan idolanya menemukan gelas americano-nya, membaca sticky note berisi tulisan tangannya, dan memegang gelas di tempat jemarinya sempat berada, membuatnya ingin terbang ke awan. Sejujurnya ini cukup aneh mengingat sudah dua puluh satu kali ia merasakan sensasi yang sama. Ia tidak pernah terbiasa dengan Jonghyun mengucapkan terima kasih untuknya.

“Aku sudah meminumnya. Karenamu, aku bisa mengisi acara ini dengan penuh semangat.” Jonghyun sungguh kejam untuk semakin melemahkan mental Kibum. “Omong-omong, kita akan membicarakan momen-momen ketika kita mendadak hilang semangat. Silakan kirim cerita kalian atau telepon…”

Tetapi Kibum hanya memejamkan mata dan menikmati cara Jonghyun menyebutkan nomor dan harga pengiriman pesan yang sudah berada di luar kepalanya. Americano sudah lebih dari cukup daripada mengirim cerita apapun pada lelaki itu—setidaknya begitulah pikir Kibum. Ia tidak pernah punya keberanian beriteraksi langsung dengan Jonghyun, melalui pesan apalagi telepon. Hanya kopi itu yang berbicara untuknya, minuman yang dipilihnya dengan penuh pertimbangan selama beberapa menit setelah suatu waktu Jonghyun mengaku sering tertidur di kelas karena jam siaran yang terlalu larut.

Kibum tidak pernah berharap orang itu akan menerima pemberian anonimnya yang hanya diletakkan di depan pintu, tetapi ketika Jonghyun berterima kasih pada sang pengirim karena ia merasa lebih bersemangat, Kibum berjanji akan membelikan americano seumur hidupnya untuk idolanya.

Ia mengubah posisi menjadi meringkuk miring, pandangan menjelajahi dinding kamar asrama sedangkan telinganya tidak menghiraukan serentetan iklan yang mendendang penuh nada di telinga. Perhatiannya tanpa sengaja jatuh pada kalender, dan seketika itu pula ia terlonjak duduk.

Umurnya akan bertambah dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam dan ia nyaris melupakan hal penting itu.

“‘Selamat ulang tahun’,” kata Jonghyun lembut. Jantung Kibum berhenti sesaat. “Seharusnya diucapkan pertama kali oleh orang yang paling berharga, tapi pendengar ini tidak memperoleh ucapan selamat dari kekasihnya. Karena itulah dia kehilangan semangat selama tiga hari.”

Kibum menempelkan telapak tangan di dahi, menyadari betapa dingin dan berkeringat kulitnya. Dia pasti sangat lelah untuk mengira Jonghyun mengucapkan selamat ulang tahun padanya…

Tunggu, dia bisa merealisasikan keinginan itu, bukan?

~~~

Nyatanya, Kibum sudah merasa mual bahkan ketika masih mengantre di depan konter coffee house langganannya. Tanpa sadar ia telah mencengkeram uangnya terlalu kuat hingga menjadi renyuk dan menjijikkan sekarang.

Si gadis kasir mengedipkan mata saat gilirannya tiba. Ia membasahi bibir, dengan tidak perlu mengarahkan pandangan ke jajaran menu yang berpendar. Mendadak pening karena terlalu gugup, ia menggumamkan, “Americano,” terbata-bata.

“Ada lagi?” tanya si gadis kasir. Kibum menggeleng kaku.

“Kau terlihat sedikit berbeda hari ini,” lagi-lagi gadis itu berkata, seolah tidak ingin melepaskan Kibum begitu saja. Berkebalikan dengan si pelanggan yang sudah ingin lari terbirit-birit kembali ke rumah.

“Oh ya?” Bagaimanapun, Kibum tetap berhasil mengusahakan seulas senyum. “Apa yang berbeda?”

“Kau terlihat… terlalu rapi?”

Kibum menahan kepalanya untuk tidak menunduk mengamati kembali padu padan pakaiannya. Jika pada hari biasa ia membiarkan kemeja yang digunakannya kuliah untuk berkunjung ke sini, hari ini ia sengaja berganti baju terlebih dulu agar tampak menarik di stasiun radio nanti. Barangkali ia tidak akan bertemu Kim Jonghyun seperti dua puluh dua gelas americano sebelumnya, tetapi ia ingin menandai hari ini sebagai sesuatu yang spesial.

Dia akan meminta idolanya mengucapkan selamat ulang tahun dan itu sangat penting baginya.

“Kau tidak akan mengajak seseorang berkencan, kan?” canda si gadis kasir sambil memberikan kembalian. Senyum Kibum makin tegang.

“Apa kau bisa mengajak idolamu berkencan?” ia balik bertanya, tidak yakin apa yang sedang coba dibicarakannya.

“Er, entahlah? Jika dia punya ketertarikan yang sama denganmu, apa salahnya?”

Berarti Kim Jonghyun harus mengencani americano karena Kibum tidak pernah menampakkan diri dan sudah jelas tidak akan menarik perhatian sang idola. Kibum mengucapkan terima kasih yang terdengar seperti menahan muntah, lalu segera berbalik dari konter.

Dewi Fortuna sedang berpaling darinya. Gelas kertas americano kedua puluh tiga tersebut menabrak dada orang yang tidak disadari keberadaannya oleh Kibum dan seketika remuk. Separuh isi gelas berpindah ke serat-serat sweter hitam orang itu.

Kibum hampir tidak bisa merasakan panas yang merambati pergelangan dan punggung tangannya. Semua perhatiannya terserap bersama cairan kopi ke sweter itu, dan barangkali jiwanya juga ikut melayang bersama kepulan uap genangan americano di lantai.

Eomeo, Tuan! Anda baik-baik saja?”

Pekikan gadis kasir, dan beberapa gumaman dari pengunjung lain, membangunkan Kibum dari lamunan singkatnya. Ia mendongak, seketika meneguk ludah mendapati sepasang mata menatapnya lurus-lurus. Ia memang tidak mengharapkan senyum dari orang yang telah tanpa sengaja dilukainya, tetapi air muka keras tidak tersentuh itu telah memukul kabur semua keberaniannya.

Dalam keheningan mutlak, ia memperhatikan si lelaki menerima gulungan tisu dari pelayan lain yang tergopoh-gopoh menghampiri merkea.

“Lain kali hati-hati,” kata lelaki itu setengah tidak acuh, dan waktu kembali berputar bagi Kibum. Ia masih mengikuti menggunakan matanya pergerakan si lelaki berdiri di depan konter, menumpukan kedua tangan di pinggirannya.

Chai tea latte.” Sekali lagi lelaki itu berbicara, sekali lagi Kibum diberikan dampak berbeda. Ia kini benar-benar memutar tumit menghadap punggung tersebut, melebarkan mata tidak percaya. Tidak memedulikan lirikan orang lain maupun betapa bodoh dirinya terlihat, ia membiarkan dirinya tercengang sampai lelaki itu selesai memesan dan menyingkir dari depan konter.

Mereka kembali bertatapan. Kibum lupa caranya bernapas.

“Ada yang bisa kubantu?” tanya si lelaki bersweter hitam sambil memasukkan uang kembalian ke dompet. Kedua alisnya naik tinggi-tinggi, memberikan tatapan aneh pada Kibum yang terang-terangan, tapi Kibum tidak lagi bisa merasakannya.

“Kim… Jonghyun?” bisiknya megap-megap. Sinar mata DJ Kim Jonghyun menunjukkan keterkejutan.

“Apa kita pernah kenal sebelumnya?” Sebelum Kibum menjawab, ia melanjutkan, “Maaf, ingatanku tidak terlalu baik akhir-akhir ini. Banyak tugas, banyak pekerjaan. Kau tahu kan, tahun terakhir di universitas. Kalau kita pernah—”

Jonghyun terdiam. Terpana, sebenarnya. Pemuda berkonstruksi rangka kokoh di hadapannya mendadak menangis tersedu-sedu. Ia meneguk ludah, tidak yakin bagaimana harus bertindak, dan pada akhirnya memutuskan menggiring pemuda itu keluar dari coffee house ke salah satu bangku taman di sekitar sana.

“Maafkan aku. Mungkin kau bisa menyebutkan namamu? Ingatanku jelek sekali, sumpah,” ocehnya sambil meletakkan minumannya di atas bangku, kemudian merogoh saku celananya mencari tisu atau saputangan atau apapun yang bisa menyerap aliran air mata tersebut. Ia hanya menemukan struk minimarket pagi tadi.

Kibum menggeleng cepat, ingin menangis lebih keras sekaligus mengumpati dirinya sendiri. Ia sedang berada di samping idolanya saat ini. Idola yang didengarkannya tanpa absen selama setahun terakhir, dan yang dilakukannya malah menangis seperti remaja perempuan yang patah hati.

“Kita tidak pernah bertemu,” kata Kibum setelah yakin tidak lagi cegukan saat bicara. Menangis sudah memalukan, tetapi cegukan adalah bencana. Di samping Jonghyun yang dapat berbicara tanpa terbata selama dua jam, ia merasa menjadi seorang penggugup.

“Oh?”

“Aku mendengarkanmu tiap malam. Aku sangat menyukai sesi cerita dua menit itu. Aku menyukai pojok informasi yang dimulai di menit keenam belas dan menit lima puluh. Aku—” Kibum perlahan-lahan menghentikan celotehannya. Jonghyun memandangnya dengan sorot mata tidak terbaca. “Maaf. Kau pasti ngeri. Aku hanya menyukaimu—bukan dalam konteks romantis, aku menyukai suaramu dan kepribadianmu. Oh, itu pasti terdengar sangat mengerikan. Maksudku…”

Tetapi Jonghyun tertawa. Sebuah tawa ringan yang terdengar lebih jernih tanpa desis udara dan gemeresak gelombang. Tawa yang selalu berhasil mengangkat hati berat Kibum. Kini ia mendengarnya langsung dan serasa tertiup angin musim semi beraroma ceri ke nirwana.

“Aku berterima kasih,” kata Jonghyun tulus. “Kau mengenaliku hanya dari suara dan kau baru saja menunjukkan betapa rajin kau mendengarkan siaranku. Sayang sekali aku lupa suaramu.”

“Aku tidak pernah menelepon,” jawab Kibum malu-malu. “Aku tidak punya cerita menarik jika dibanding pendengar lainnya.”

“Tapi kau pembicara yang baik, kupikir aku sedang berbicara dengan kolega penyiar,” kekeh Jonghyun, lantas mengambil kembali gelas minuman yang sempat ditelantarkan. Tampaknya ia cukup relaks karena tangis Kibum sudah terhenti sepenuhnya.

Kibum memerhatikan kepekatan teh dalam gelas Jonghyun dan segera teringat dengan americano yang masih melekat di bagian depan sweter lelaki itu. Kepanikan kembali menguasainya.

“Anu, soal americano tadi…” ia meneguk ludah. “Aku minta maaf. Pikiranku kacau dan aku tidak tahu seseorang berdiri di belakangku. Bajumu pasti basah dan panas, ya kan? Aku bisa mencuci swetermu, sebagai permintaan maaf.”

“Tidak perlu,” jawab Jonghyun santai. Menekankan punggung ke sandaran kursi, ia mengangkat sedikit bagian sweter yang menunjukkan noda gelap yang lebar dan lengket. “Aku memang berencana pulang dan berganti baju setelah beristirahat sejenak. Mungkin mengerjakan sedikit tugas sebelum berangkat ke stasiun radio nanti malam.”

Mendengar kata ‘stasiun radio’ membuat bulu kuduk Kibum berdiri oleh antusiasme. Sekali lagi ia perlu mengingatkan dirinya sendiri bahwa ini adalah Kim Jonghyun yang duduk di sebelahnya, penyiar radio sekaligus idolanya.

Sementara itu, Jonghyun mengendus noda di sweternya. “Kau bilang ini americano?”

Kegugupan Kibum mencapai tenggorokan. Akibatnya, suaranya hanya terdengar sebagai cicitan ketika menjawab, “Benar.”

Lagi-lagi Jonghyun tertawa. Sambil mengusapkan tangan yang lengket ke paha, ia berkata, “Kau pasti tahu soal pengirim americano misterius itu. Aku membahasnya tiap kali ia menyelinap masuk.”

“Aku tahu,” bisik Kibum, jantung berdegup sangat cepat hingga dadanya sakit.

“Aku akan mengatakan fakta menarik ini padamu,” lanjut Jonghyun seraya beringsut mengubah posisi duduk menjadi menyandar nyaman sangat dekat ke bahu Kibum. Si pemuda malang mencengkeram lutut ketika Jonghyun semakin condong ke arahnya.

“A-apa maksudmu?”

“Ini rahasia, jadi jangan bilang siapa-siapa,” kata Jonghyun serius, meski matanya bersinar main-main. Lantas, ia berbisik, “Aku sangat benci americano.”

Empat kata. Hanya empat kata dan Kibum merasa langit diruntuhkan ke atas kepalanya. Jantungnya mencelus dan serasa menggelinding jatuh ke antara kakinya. Seluruh tubuhnya dikutuk menjadi patung es oleh empat kata dari idolanya.

“Lambungku tidak resisten terhadap kafein dan aku malah tidak bisa tidur sepulang siaran jika meminumnya. Pertama kali menemukan itu di mejaku, kupikir temanku mencoba bercanda karena, ayolah, mana ada orang yang tidak tahu Kim Jonghyun membenci kopi. Kali kedua dan ketiga, aku merasa seseorang menerorku.”

Tawa Jonghyun tidak lagi menerbangkan Kibum. Alih-alih, denting itu menghunjamkan peluru tepat ke dadanya. Ia mati dan dihidupkan kembali di tiap kata Jonghyun. Aroma kopi yang masih menempel pada mereka seolah menertawakan kenaifannya.

“Kupikir…” Kibum merasa idiot sekali untuk masih mencoba membela dirinya saat ini, tapi tetap melanjutkan, “Kupikir kau selalu berkata meminumnya dengan baik. Bukankah kau bilang merasa bersemangat lagi karena itu?”

Jonghyun mendesah kecil, menyebabkan ujung-ujung poni pirangnya ikut tertiup. “Aku harap bisa meminta maaf pada semua orang karena telah berbohong. Ada saat dimana aku merasa perlu mengaku, tetapi terlalu banyak orang yang berfantasi Kim Jonghyun dan pengirim americano dapat menjadi pasangan paling romantis—mereka pikir pengirimnya perempuan karena memiliki tulisan tangan semanis ini.”

Perkiraan Kibum bahwa inderanya sudah mati seketika terpatahkan melihat tumpukan sticky note yang dikeluarkan Jonghyun dari dalam salah satu saku dompet. Ia dapat samar-samar merasakan kehangatan menyelinap ke dalam dadanya seiring Jonghyun menunjukkan kertas-keras itu pada dirinya. Kertas dengan tulisan tangannya sendiri.

“Kau menyimpan ini semua,” bisiknya.

“Yap. Secanggung apapun orang ini, aku yakin dia punya perasaan yang tulus. Percaya atau tidak, aku dapat merasa lebih bersemangat hanya dengan membaca tulisan-tulisannya.” Jonghyun terdiam sejenak, lalu tertawa kecil. “Barangkali aku tidak terlalu membohongi para pendengar. Aku memang bersemangat, meski karena pesan sederhana pengirim misterius itu dan bukan gara-gara kopinya.”

Kibum merasa tidak bisa tidak bersikap normal. Emosinya membeludak lebih dari ketika Jonghyun memberitahu fakta tidak penting bahwa kopi adalah musuhnya. Bagaimana tidak, idolanya baru saja menunjukkan tulisan tangannya tersimpan rapi di dalam dompet. Dan ia baru saja dipuji untuk memiliki perasaan tulus. Ia dipuji oleh idolanya sendiri. DJ Kim Jonghyun tidak pernah berhenti membuat perasaannya melonjak dan melesak seperti rollercoaster dalam sepuluh menit terakhir.

“Aku harap dia berhenti mengirim americano. Bukan hanya karena aku membencinya, tapi karena aku akan terus terbebani perasaan bersalah untuk berbohong terus-menerus pada orang ini.” Jonghyun menghela napas perlahan dan menyelipkan kembali lembaran sticky note ke dalam dompet. “Aku bukan orang hebat yang pantas diperlakukan spesial.”

“Tapi kau memang spesial, Jonghyun ssi. Aku yakin bukan hanya dia yang berterima kasih padamu,” kata Kibum pelan setelah berhasil mengumpulkan serpih akal sehatnya. Dia menggigit bibir sejenak sebelum melanjutkan, “Aku juga merasa sangat berterima kasih.”

Jonghyun memberinya tatapan bersahabat. “Kuharap aku bisa terus memberi yang terbaik untuk orang-orang baik sepertimu.” Lantas, mata bulatnya beralih pada arloji di pergelangan tangan. “Sayang sekali, aku harus segera pergi. Mengobrol denganmu cukup menyenangkan.”

Entah bagaimana Kibum dapat meredam letupan kekecewaan dari wajahnya. Alih-alih, ia mampu dengan mulus berkata, “Aku akan mendengarkan siaran lagi malam ini. Fighting, Kim Jonghyun.”

Ia tahu alasan Jonghyun tertawa seperti sekarang. Lelaki itu pasti berpikir dia sedang menirukan kalimat harian si pengirim misterius.

“Kau benar-benar kawan yang menarik. Cobalah telepon kadang-kadang agar kita bisa mengobrol lagi,” ujar Jonghyun, mata berbinar-binar seperti anak kecil. Kibum tidak bisa menahan senyum mengembang di bibirnya, sekalipun kekecewaan dan rasa bersalah masih menggelayuti sudut hatinya.

“Jadi, kau lebih memilih teh dibanding kopi?”

~~~

Jonghyun membuka pintu studio dan segera menuju kursinya yang biasa. Rekan siarannya sudah terlebih dulu berada di sana, menggempurkan ibu jari di atas layar ponsel sementara zombie mengerumuni tokoh yang dimainkannya. Dalam kondisi biasa, ia tidak akan menyadari keberadaan Jonghyun sampai waktu siaran mereka datang, tetapi kali ini ia merelakan tokohnya kalah demi memandang lelaki yang lebih tua mengecek peralatan.

“Katakan, Hyung,” ia mulai berbicara dan hanya melanjutkan setelah Jonghyun memandangnya, “Kau melakukan apa pada pengirim americano itu?”

Kening Jonghyun mengernyit. “Apa maksudmu?”

“Lihat itu.”

Mengikuti arah dari endikan dagu rekannya, Jonghyun menoleh ke atas meja. Gelas plastik itu berasal dari coffee house yang sama sehingga ia tidak memperhatikan pada awalnya, tetapi seusai pengamatan lebih lanjut, ia menyadari bukan lagi kopi hitam pekat yang berada di dalamnya. Ia mengenal dengan baik apa itu: chai tea latte.

“Katakan padaku apa yang sudah kau lakukan padanya, karena mendadak harapanmu untuk berhenti menerima kopi terkabul.”

Butuh waktu yang cukup panjang bagi Jonghyun untuk menyambungkan semua kejadian hari ini di dalam kepalanya, sebelum suatu kesimpulan yang mencengangkan dapat ditemukannya. Perlahan ia memutar dinding gelas hingga menemukan lokasi sticky note ditempelkan. Sejurus, senyumnya merekah lebar.

Dengan huruf-huruf kecil yang rapi, yang di hari-hari sebelumnya ia sangka berasal dari tangan seorang wanita, sebaris ‘Mulai hari ini teh. Fighting, Kim Jonghyun’ tertera di sana. Jonghyun ingin mengagumi kebetulan yang telah terjadi di antara mereka lebih lama jika barisan huruf lain tidak ditulis di bagian bawah kertas.

PS: Besok ulang tahunku. Tolong ucapkan selamat untukku

Senyum Jonghyun pecah menjadi tawa kecil. Ia masih tertawa ketika mencabut sticky note dari gelas dan menyimpannya bersama kertas memo lainnya di dalam dompet sehingga mengusik konsentrasi temannya.

Hyung, kau menakutkan. Apa yang lucu?”

“Tidak ada,” kata Jonghyun ringan. “Omong-omong, bagaimana kalau kita menggunakan Birthday dari The Beatles sebagai lagu pembuka hari ini?”

 ..::END::..

AN: special thanks untuk kak Lanti yang menyumbang ide, and sorry for this pile of random words orz /slowly creep back into hiatus/

©2011 SF3SI, Freelance Author.

Officially written by ME, claimed with MY signature. Registered and protected.

This FF/Post legally claim to be owned by SF3SI, licensed under Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License. Permissions beyond the scope of this license may be available at SHINee World Fiction

Please keep support our blog, and please read the page on top to know more about this blog. JJANG!

Advertisement

34 thoughts on “Americano”

  1. Sepanjang cerita dari awal sampai akhir dan sampai aku nulis comment ini, aku nggak bisa berenti senyum. Manis. Manisnya sesuai takaran. Aku sukaa >.<

    1. ahaha, no offense tapi key memang menghibur di setiap kesempatan. dan di sini dia fanboying. aku gatau harus gimana lagi :’3

      makasih banyak sudah baca ^^

  2. AAAAKKKK AKHIRNYA ZAKY NONGOL JUGAAAKKK
    oke aku akan benar-benar mematenkan bahwa baca fic kamu nggak akan bisa disambi makan minum *kesedak susu di tengah kelas, untung nggak nyembur*

    ini kind of jahat nih bikin kibum quivering gitu dan sumpah kibum sotoy banget ngasih2 jjong americano
    *padahal kesedaknya karena ada minkey!roommate dan (perhaps) hint 2min*
    nggak, no, aku nggak merasa susah membayangkan ini semua dan kibum anxious bukan hal yg janggal because I know that he might be like that tergantung keadaan ditambah background dia hahaha

    fic kamu unyu seperti biasa and I like that pureun bam thingy yg kamu sempilin since I’m one of JjongD’s fans
    okay, actually I dunno whatta say dan yeah thanks sudah membuka ultah kibum dengan fic kamu *that kinda relieving my quiz anxiety though*

    ps.
    hiatusnya jangan lama2 yak 🙂

    1. KAK KUKUUUUU~~ iya, ini kan special event, aku nggak bisa dong kalo nggak muncul, ahaha. aku juga ga tau kenapa hobi bikin kibum karakter yang nggak banget. jahat memang huhu. dan karena aku suka jjongD dan aku fansnya, jadi uhh, gimana yaaa

      yasssss, seseorang sadar aku nyempilin 2min di sini. yassss ❤

      makasih ya kak kukuuu. hiatusku masih lumayan lama kok, haha 😀

  3. ZAKKKKYYYYYYY
    AKU SAYANG KAMU BANGEEEETTT
    INI GEMESHIN BANGEEEETTT
    DAN IYA BANGEEEETTT
    KALAU AKU JADI KIBUM AKU GAK CUMA NANGIS, AKU KOMPLIKASI. NANGIS, MIMISAN, SESEK NAPAS, PINGSAN… oke itu pasti bencana
    TAPI OMAIGAAATT AKU SUKA SEKALIIIIII HEUUUUUU
    GEMESH GEMESH GEMESSSHHH
    Gak bisa berhenti mesem-mesem masaaa.. terus si Jonghyun kebayang keren banget gituuuuu
    tapi iya, aku juga suka gitu tuh kalau denger radio. Suara penyiarnya suka ganteng banget sih hahaha
    Tapi ini omaigaaattt kalau bisa jerit-jerit aku mau jejeritan sampe gabisa ngomong deeehhh. Maimaimaaaiii.. aku gabisa berhenti senyum
    heuumm manis sekali ❤ ❤ ❤
    AKU SAYANG ZAKY
    INI KEREN
    SAYANG SAYANG SAYAAAANNGGG
    TERIMA KASIH ZAKY!!! :*

    1. YA AMPUN KAK LANAA KENAPA HARUS CAPSLOCK GINI KAN AKU JADI MALUU

      Aku ga sering dengerin radio sih, tapi sering kali dengerin, penyiar cowoknya suaranya agak ngondek. Tapi JjongD unyu banget sampe aku betah dengerin walaupun ga ngerti artinya. Lol. Ini kenapa malah curhat sih haha.

      Ya ampun kak lanaaa thanks so much. Jadi terharu dibilangi kayak gitu padahal aku kan belum berbuat banyaaak. Sekali lagi makasih kakaaak ❤

    1. aku sih ga bisa bayangin. nggak pernah ketemu orang yang dikagumi soalnya, hahaha. makasih banyak sudah mampir dan kasih komentar yaa 😀

  4. Ya ampunnn. Telat banget aku baru baca cerita ini. Keasikan ngerayain bareng kibum si hihi.

    Dari awal aku baca ku kira key bakal nadi gay ‘lagi’ . entah kenapa sekarang banyak ff kaya gtu -.-

    ,tapi ternyata tidak. Haha
    Aku suka ide ceritanya. Gimana cara kamu sampein perasaan key yang hanya sebagai penggemar ke jonghyun dengan sangat manisnya.

    Dan bagusnya jjong ga takut sama hal itu.

    Nice story thor 😀

    1. kok bisa?? kok bisa kamu ngerayain sama kibum?? (ok, i’m being too much sorry)

      well, soal cerita key jadi gay apa enggak itu personal preference menurutku, banyak yang suka juga soalnya, hahaha. Untuk idenya, salahkan Kim Jonghyun untuk jadi DJ yang irresistible. Dan kenapa harus takut, unyu dong bisa ketemu fanboy, ahaha.

      Makasih banyak yaa sudah mampir dan ninggalin komentar. Panggil ‘Zaky’ aja instead of ‘author’ biar lebih mesra okeeee? ^^;

  5. AKU LAGI MASKERAN JADI NGGA BISA NYENGIR DUH
    AAAAAAAAKHHHH INI KEREEEEN
    Gile meresep ke relung mwehehehheheh
    Aku jarang sih baca bromance yang macem gini, tapi ini kereeeeeeenn!!! Gemes ih sama Kibum. OJJOOOOONGG LAMA NIAN AKU NGGA BACA FF MU, OOM DINOOOOO~~ #diinjek
    Duh, ngga tau mesti komen apalagi. Ditungguuuuu fic yang laiiinnn kak XD

  6. Fiuh untungnya ini bukan cerita pengkol wahahahaha untung masih straight,
    Baguslaaah

    Bagus loh , jarang2 ada yg munculin sekedar friendship (luar) biasa gini.
    Wkwk

    #keepwritinghwaiting

  7. Sukaaaa!!! Dari konten cerita, plot, sampe tata bahasanya rapi. Bikin betah deh bacanya, tau tau udah ending aja. Fuh!
    By the way, Kibum manis sekaliii ^^ aku juga mau dikirimin teh plus secret admirer macam dia hehehe *eh
    Fighting buat author-nim! Ff lainnya ditunggu, loh =))

  8. AAAAAAAAAAAAAAAAAKKKKKKKKKKKKKKK !!!!!!

    AKU SUKA AKU SUKA AKU !!!!
    FANFIC INI CANTIK !!!
    SUMPAH !!!!

    HUWAAAA SUKA BANGET POKOKNYAAA !!!!

    IDENYA GAK MAINSTREAM DAN ALURNYA ENAK DIBACA ^^/

    CERITANYA MENGALIR GITU AJA HAHAHAHAHH GOOD JOB !!

    SUMPAH INI FF PALING NICE DAN SIMPLE BUT COMPLICATED INSIDE !!

    DUH SENENGNYA NEMU FF INI DI SIANG HARI YANG MEMBOSANKAN 😀

    AAA SUKA DEH POKOKNYA SUUUUUUUUUUKKKKKKAAAAAAAAAAAAA PAKE BANGET BANGET BANGET ^^ ❤

    Fighting, Zaky ! ❤

  9. ihhhh manis paraaahhhhh!
    kece banget uhuuyyyyy!!!
    kenapa baru nemu padahal ini keren banget duhhhh!!!
    walaupun ngerasa kurang tp entah knp endingnya brasa pas! jd pengen lagi uhhhh!!!!
    sumpah keren ih! jarang loh ada ff jongkey sekeren ini uhuuuuhuhuhuhu
    sering sering nulis jongkey yaaa!!!
    fighting!!! ♥♥♥♥

  10. waaah, saya mampir kemari lagi setelah sekian lama hahaha
    abisnya kangen jg sama tulisanmu.
    oh ya, bisa nitip salam sama key biar americano nya dikasih ke saya saja hahaha
    semangat ya zaky nulisnya, kan saya juga fans kamu :’)

  11. kyaaa FFnya keren kak 😀
    ceritanya simple tapi ngena banget, kukira awalnya Key bakal menderita tapi ternyata Jong Hyun engga bermaksud gitu, duuh bacanya sambil panik nih :3
    hmm, kejujuran itu memang baik meskipun terkadang menyakitkan ya kak, tapi itulah hubungan manusia ^^
    semangat nulis ya kak! 😀

Give Me Oxygen

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s