Never Ever After – Part 4

Never Ever After

Author : Bella Jo

Main Cast : Key SHINee as Keyx | Liana Jo (OC)

Support Cast : Onew SHINee as Lucifer | Vera Zoldieck (OC) | Henry SJ as Henry | etc…(find it by yourself^^)

Length : sequel

Genre : romance, action, fantasy, tragedy, supernatural, adventure

Rating : PG-15

Aku terdiam kaku di salah satu dahan pohon yang tak jauh dari posisi kedua gadis itu bertarung. Keduanya bergerak dengan sangat cepat, menyisakan suara lentingan pedang dan pisau yang terdengar nyaring. Aku butuh waktu untuk memproses semua ini. Ya, aku butuh waktu. Walau aku sudah menebak semua ini sejak awal, tetap saja mengejutkan jika mendengarnya langsung dari sumber aslinya.

Violet.

Hanya satu klan yang memiliki warna itu dalam cahaya mata mereka. Ya, cahaya yang muncul saat mereka dalam posisi bertarung ataupun mengeluarkan kekuatan mereka. Dan klan itu sudah hancur belasan tahun lalu, setidaknya itu yang kudengar dari semua orang. Dan hanya ada satu orang yang tertinggal. Dia…

“Kalau kau memiliki mata itu, aku bisa menebak namamu,” Bells berujar di tengah pertarungan, saat keduanya terpisah dan terengah untuk mengambil nafas. Liana menatap gadis itu dingin, tatapan yang sama sekali tidak kukenali.

“Lylian Xanville, nama aslimu Lylian Xanville. Kau keturunan terakhir keluarga Xanville yang bertugas sebagai guardian.”

Oh, tidak.

“Para guardian hanya berasal dari keluarga Xanville yang memiliki kekuatan khusus di tiap keturunannya. Dan tugas guardian adalah…”

“Membantu dan menjaga keturunan hunters, serta bertarung melawan iblis dan pengikutnya…,” Liana bersuara dari atas. Lompatan terakhirnya mendarat di puncak dahan pohon yang tak jauh dariku. Di bawah temaram mentari jingga, sosoknya berkibar di tiup kencang angin. Siluetnya hanya menampilkan kilatan indah violet di matanya. Pisaunya yang bercahaya perak memantulkan sisa-sisa sinar mentari. Sosok nyata guardian yang dulu sempat menjadi lawanku bertarung.

“Tapi semua tugas yang kau sebut itu omong kosong…,” Bells kembali bersuara. Tangannya mencengkram erat batang pohon tempatnya bersandar hingga hancur. Ia menggenggam sulur tanaman lalu berlutut seakan mengumpulkan tenaga, “KALIAN MENGKHIANATI KAMI!!!”

Gadis itu menghentak keras kakinya lalu melompat dan berputar-putar di udara. Dengan sekali pijakan lagi pada dahan yang lebih tinggi, ia menukik ke arah Liana. Gadisku malah balas menukik tajam ke arahnya. Mereka bagai siluet hitam dalam bayang jingga mentari. Keduanya bergumul di udara tanpa bisa melawan tarikan gravitasi. Aku melompat cepat berusaha menarik tubuh Liana dari pergumulan itu. Namun keduanya saling tarik, tak ada satupun yang mengalah.

Tubuh kami jatuh ke tanah dengan suara berdebum yang keras, memantulkan bebatuan dan hamburan pasir ke berbagai arah. Namun bukan berarti tubuh kami terkapar bersimbah darah. Begitu membentur tanah kami langsung memisahkan diri dan memasang posisi siaga. Kedua gadis itu terengah, sedikit terbatuk malah.

“Hhhh… Lumayan juga Xanville… Hhhhh…”

“Kau juga…”

“Liana…”

Gadis itu beralih padaku. Sosoknya yang berdiri kokoh tanpa ragu sedikitpun terlihat sangat berbeda dari biasanya. Ia tersenyum kecil, ada sebersit rasa bersalah yang kutangkap darinya. Ia menggerakkan bibir, seakan hendak membisikkan sesuatu.

‘Maaf. Kau pasti terkejut.’

Saat Bells beranjak dari tempatnya untuk kembali menyerang, aku menyergap Liana dengan segenap kekuatan yang kumiliki. Kubawa dia pergi dengan cepat dari tempat itu, tanpa peduli makian Bells yang tak lagi kutangkap artinya.

***

Gelap malam semakin pekat saat aku tiba di depan kediaman Jo. Tanpa menunggu dibukakan pintu aku lansung merangsek masuk ke dalam rumah kayu yang amat sederhana itu. Gadis dalam gendonganku tak bersuara, bahkan hingga aku menurunkannya dari pelukku. Perasaanku campur aduk. Aku sudah menduga sebagian besar masa lalunya tapi masih tidak bisa menerima begitu saja apa yang sebenarnya terjadi.

Liana adalah Lylian Xanville, guardian bagi para hunter sekaligus orang yang seharusnya bertugas membunuh kami.

“Maaf, Key. Sepertinya malam ini bukan saat yang tepat bagi kita untuk saling bicara.”

Aku menurunkan sebelah tangan yang hampir terulur untuk menyentuhnya. Aku mendesah berat. Reaksi Liana yang seperti ini juga sudah kuduga sebelumnya. Dan aku hanya dapat berkata, “Ya, aku tahu.”

Temaram cahaya rembulan memasuki sela-sela ruangan, memberikan sedikit cahaya bagi ruang gelap ini. Liana menunduk, sama sekali tidak ingin melihat wajahku sepertinya. Aku juga tidak tahu harus menanggapi hal ini dengan tingkah apa. Xanville adalah keluarga sakti dengan macam-macam kemampuan supranatural yang dimiliki keturunannya. Sedikit banyak aku menduga apa yang telah dihadapi dan apa yang memerangkap hidup gadis ini.

Hanya satu pertanyaan yang memenuhi benakku: Apa aku penyebab segala tragedi yang menimpa Xanville?

“Liana…”

“Key, pergilah…”

Aku tertegun saat kalimat itu meluncur dari bibirnya. Dia lelah dengan semua hal yang terjadi hari ini. Aku berani bertaruh ia juga lelah dengan semua pikiran yang memenuhi benaknya. Aku mendesah berat saat sadar bahwa ia juga lelah menghadapiku. Dan aku juga kelelahan saat ini.

“Kau yakin?” tanyaku pelan, memastikan. Tubuhnya yang membelakangiku tampak rapuh saat ia mengangguk dan berkata pelan, “Ya. Maaf, Key…”

“Baiklah, aku mengerti.”

Ia melangkah menjauh dariku, menuju ruang tidurnya mungkin. Bahkan ia tidak ingin mengantarkanku sampai pintu. Oh, sudahlah, Keyx. Kau dan pikiranmu hanya membebani dirimu sendiri. Aku berbalik dan melangkah perlahan menuju pintu depan. Semua informasi baru masih berputar liar di kepalaku dan aku tidak yakin apa yang akan kulakukan setelah ini. Mungkin menjaga Liana sebagai prioritasku, tapi bahkan ia memintaku pergi saat ini.

CKLEK

Bruuuk…

“Jangan pergi. Tetaplah di sini…”

Angin membeku di sekitarku. Hanya hangat tarikan ringan di punggungku yang mematahkan ngilunya. Aku merasakan kepala bersandar di sana. Saat tarikan ringan itu kembali terasa, suara pelan Liana terdengar menggumamkan, “…tetaplah di sini…”

Aku diam, tanganku memegang enggan gagang pintu. Sepertinya ia menggenggam bagian mantelku, dapat kurasakan tarikannya. Samar kurasakan hangat tubuh Liana. Ia dan egonya sungguh membuatku sakit kepala.

Aku menghela nafas panjang, “Kau berhutang banyak penjelasan padaku…”

“Ya, aku tahu…”

“Kau membahayakan nyawamu…”

“Aku tahu…”

“Tadi kupikir aku akan kehilangan dirimu…”

“Tidak. Aku selalu berada di sisimu…”

“Kupikir-…”

“Key.”

Aku menghentikan keluhan lain yang sudah menggantung di ujung lidahku. Ia mengalungkan kedua lengannya di pinggangku dan berkata dengan nada lelah, “Untuk saat ini, biarkan saja seperti ini. Biarkan aku merasa senyaman ini.”

Aku mengulas senyum tipis di bibir. Kutautkan jari-jariku pada miliknya lalu gantian berkata, “Ya, aku tahu.”

***

 

Sinar mentari mengintip dari celah-celah pintu dan jendela begitu pagi datang. Angin ikut bergerak bebas dari lubang-lubang kecil yang membungkus ruangan, memberi sapaan hangat kepada kami. Ah, musim apa ini? Oh, ya. Ini musim gugur. Seharusnya terasa dingin pagi ini.

Kupandang wajah Liana yang masih terlelap di atas kasur. Kedua tangan kami masih saling bertaut, menyumbangkan hangat tubuhnya pada dingin diriku. Ini bukan pertama kali aku melihatnya memejamkan mata dengan damai. Masih jelas dalam ingatanku hari saat pertama kami saling bicara, ketika aku jatuh cinta bahkan sebelum mendengar suaranya. Namun ini kali pertama kami menyongsong pagi bersama dengan hangat dirinya yang tersalur padaku.

“Sudah pagi,” bisikku. Liana tersenyum kecil dalam balas berbisik, “Ya, aku tahu.”

“Tidak mau bangkit dari mimpimu, baby boo?”

“Bujuk aku, Key.”

Baiklah, dia terlalu manis. Aku jadi ingin nmenggigitnya. Namun demi segala hal baik dan buruk di dunia ini, aku harus bisa menahan diri. Sambil menyelipkan helaian rambutnya ke balik telinga aku kembali bertanya, “Ingin kubujuk seperti apa?”

“Kreatiflah.”

“Aku takut kau menyesal saat aku mulai kreatif. Mungkin aku bisa jadi sedikit nakal, baby boo.”

“Aku cukup menyukai tingkah yang sedikit nakal.”

Aku tersenyum kecil menanggapi jawabannya. Ia masih belum juga membuka mata. Kudekatkan bibirku ke wajahnya lalu mengecup dahinya sekilas. Menurut apa yang pernah kudengar itu adalah bentuk kecupan sayang. Tapi apa dia tahu? Sambil menghembus nafas di telinganya aku berbisik, “Bangunlah, baby boo, atau aku akan bertindak lebih nakal lagi.”

Liana membuka mata dan langsung bertemu pandang denganku. Untuk saat ini aku tak ingin mengingat informasi apapun yang kudapatkan tadi malam. Aku hanya ingin fokus padanya. Demi apapun yang buruk dan baik di bumi, masa lalu butuh menunggu di daftar antrian hal-hal yang ingin kami bahas.

“Mungkin sudah saatnya bagimu untuk pulang,” bisiknya. Aku dapat melihat gurat lelah di sana, namun jauh lebih baik daripada yang terlihat tadi malam. Kuusap kedua kelopak matanya yang langsung memejam saat merasakan sentuhanku, “Ya, ini sudah pagi, dan pagi bukan hal biasa yang kita songsong bersama.”

“Key…”

“Aku tahu, baby boo. Tolong biarkan aku berada di sini sedikit lebih lama.”

“Tidak. Jika hari beranjak siang akan terlihat aneh jika kau tampak keluar dari rumahku.”

“Baiklah, aku akan pulang saat sore saja.”

“Key…”

“Baiklah, baiklah. Aku mengerti. Jangan memandangiku seperti itu.”

Aku beranjak dari tempatku dan segera bergerak menuju pintu keluar. Tak lupa melambai padanya tanpa membalik badan. Aku tidak yakin apa yang akan kulakukan hari ini. Mungkin aku harus memikirkan cara menangani Bells sebelum dia sempat berulah lebih jauh. Besar kemungkinannya ia akan mencari Liana ke desa dan akan berat konsekuensinya jika ia mengumbar rahasia Liana ke setiap orang.

Xanville yang berkhianat bukan berita baik bagi desa yang diisi hunters. Apalagi jika yang dimaksud tinggal di desa itu.

“Aku akan kembali untuk memasti-”

CKLEK

“Liana!”

Oh, sial.

Di depanku berdiri Vera Zoldieck yang baru saja masuk tanpa mengetuk pintu. Dalam hati aku memaki kenyataan bahwa tak ada pemikiranku sama sekali untuk mengunci pintu tadi malam. Dan kini gadis hunter yang kadang terlalu periang itu tampak terkejut. Matanya membulat dan pupil coklatnya itu tertuju padaku dan Liana yang baru sampai di ambang pintu kamarnya, berhadapan langsung dengan pintu keluar.

“Apa..apa yang kau lakukan di sini?” tanya Vera tanpa sempat menyadari bahwa aku langsung berubah wujud menjadi manusia saat ia masih terkaget-kaget tadi. Mungkin Onew akan menganggapnya imut jika melihat wajah gadis ini sekarang.

“Menurutmu?” tanyaku balik sambil tersenyum miring. Ia megap-megap seperti ikan yang keluar dari kolam. Liana menyahut dari dalam, “Key, jangan menggodanya.”

Aku tertawa kecil lalu menunjukkan persetujuanku pada Liana. Detik berikutnya aku keluar dengan cepat dari kediaman Liana dan melangkah menuju hutan. Samar-samar aku mendengar Vera memburu Liana dengan berbagai pertanyaan dan gadisku hanya berkata, “Aku dan dia adalah hal rumit yang takkan kau pahami, Ver.”

***

 

“Jika kau ingin tahu tanggapanku, maka sebaiknya kau bunuh hunter gila itu.”

Aku menyandarkan tubuh dengan lemas di sofa merah kesayanganku. Pikiranku mendadak lelah mendengar ucapan Onew sang Lucifer, Tuanku. Ia menyeruput minuman berwarna merah pekat kehitaman kau-bisa-tebak-apa dengan santai kemudian sibuk menjilati bibir. Tanpa perlu kuceritakan panjang lebar ia sudah tau apa yang menjadi masalahku, masalah yang mungkin dapat membuat eksistensiku di Bumi terasa tak berharga lagi.

“Itu bukan hal yang mudah untuk dilakukan,” ucapku resah.

“Ya, aku tahu waktumu bersamanya selama ini cukup menyenangkan dan seru tapi kau juga tahu bahwa dia gila. Oh, dulu ada sebutan dalam bahasa Jepang yang cocok dengan kepribadiannya.”

Yandere.”

“Ya, itu dia.”

Aku semakin tenggelam dalam keresahanku. Ya, tingkah Bells memang tidak normal. Aku mengakuinya. Dia punya obsesi yang jauh dari kewarasan orang normal dan yang menakutkan ialah ia punya kemampuan yang hebat untuk mendapatkan apapun yang dia mau, dengan cara apapun. Kecuali aku.

Astaga, apa yang dapat ia lakukan dengan semua ketidakwarasan dalam pikirannya itu? Semua kesenanganku bersamanya akan lebur begitu saja jika ia menyakiti Liana. Atau lebih buruk, jika ia menciptakan kondisi yang dapat menyakiti Liana. Dan sialnya aku tidak bisa selalu tahu bagaimana kondisi Liana jika kami belum terikat dengan benar.

“Ikatan adalah ide yang bagus.”

“Kau bercanda,” kilahku. Liana takkan mau. Dia dan semua keinginannya untuk hidup normal di desa itu tidak akan mau. Aku berusaha mengentaskan segala pikiran buruk yang mungkin terjadi tapi usahaku gagal. Bells dan kekacauan adalah pasangan serasi.

Berarti benar juga, ikatan adalah ide yang bagus.

“Beritahu aku bagaimana caranya,” ucapku pada Onew. Ia menyeruput minumannya pelan lalu tersenyum kecil, “Perjanjian darah dan skinship. Semudah itu.”

“Hanya itu?”

“Biasa, ditambah mantra-mantra dan sebagainya agar upacara pengikatan sempurna. Tapi satu hal yang paling penting, dia harus mau. Kau dan dia akan terikat dan berbagi jiwa selama hidupnya. Setidaknya dia harus tahu apa yang akan terjadi.”

“Dia tidak akan mau…,” renungku. Onew mendecak keras lalu menatapku tajam. Dengan satu jentikan jari semua perabot makan di hadapannya lenyap lalu ia mengarahku jari telunjuknya padaku, “Semua omong kosong tentang soulmate ini telah membuatmu menjadi lemah Keyx! Kau tidak ingat siapa dirimu?! Kau itu iblis!!! Kau adalah Keyx, kaki tangan kepercayaan Lucifer! Kau membuatku terdengar sangat rendahan dengan semua ketidakpercayaan dirimu itu.”

“Jadi kau pikir aku harus bagaimana?! Ini semua terlalu memusingkan! Aku tidak mau kehilangan jati diriku sebagai iblis tapi aku tidak ingin kehilangan Liana lebih dari apapun!”

“Keyx, dia akan mati suatu saat nanti!”

“Makanya karena itu, aku ingin kami bersama selamanya!!”

“Kalau begitu, buat dia terikat denganmu!!!”

Aku terdiam. Onew benar.

Pada dasarnya semua masalah ini dapat terselesaikan jika aku dan Liana saling terikat. Aku hanya perlu menanyakan kesediaannya. Hanya itu.

Onew menatapku dengan alis dan dahi yang berkerut, separuh jijik, “Kau sudah menyadari kebodohanmu?”

“Ah, sudah, Tuan.”

Ia mendengus lalu menyeringai samar, “Bagus. Bicarakan semua alasan rasional yang mendukung gagasanmu ini padanya. Buat dia percaya padamu. Kalian terikat. Masalah selesai.”

Ya, benar. Aku hanya…terlalu banyak berpikir.

“Dan sebaiknya kalian segera meninggalkan desa setelah melakukan pengikatan,” ucap Onew, kembali dengan nada tak pedulinya. Aku mengerut alis, “Kenapa?”

Ia mendecak kecil dan menjawab seakan aku makhluk terbodoh di dunia, “Saat warga tahu ia memiliki hubungan dengan iblis, terlebih karena dia adalah Xanville, mereka akan segera membunuhnya. Kau bahkan melupakan poin penting pembicaraan ini.”

“Ah, benar.”

“Bodoh.”

Baiklah, Onew sangat menyebalkan hari ini. Terlalu menyebalkan hingga kuhantam ia ke dinding walau berhasil lepas. Pembicaraan antar lelaki iblis memang selalu berakhir seperti itu.

***

 

Semilir angin menerpa kulitku yang keras dan kaku seperti batu. Keputusan yang akan kuambil membuat sekujur tubuhku tegang walau wajah masih bisa berkespresi normal. Musim gugur hendak berganti dingin, menerbangkan dedaunan kering kekuningan ke segala arah. Bahkan semak mawar hitam yang tengah menangkap pandang mataku mulai tampak kering. Aku akan segera kehilangan pekat warnanya.

Seluruh tanah ini akan dingin beku tertutupi timbun salju, sebeku hatiku.

Kupetik satangkai mawar yang tampak hendak layu. Ia tampak rapuh. Ingatanku terbang pada gadisku, ia sama rapuhnya dengan mawar ini. Ya, suatu saat ia akan mati.

Dan aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku saat itu terjadi.

Samar angin membawa melodi yang kukenal sampai padaku. Requiem D Minor, lagu pengantar kematian yang kudengar dari Henry kapan lalu. Mungkin memang ia yang memainkannya. Kata-kata Henry seusai mengalunkan melodi itu masih terngiang jelas bagi telingaku.

 

“Aku menemukan soulmate-ku.”

“Oh? Bukankah itu hal yang bagus?”

“Tidak, sama sekali tidak bagus karena dia berada di ambang kematian saat bertemu denganku.”

 

Aku masih ingat tak satupun kata muncul dariku.

Iblis tidak biasa merasa sedih ataupun simpatik. Terlebih dulu aku pernah menaruh simpati pada seorang penyihir yang akhirnya menghantarkan kami pada kutukan soulmate ini sebelum ia mati. Namun kedua bola mata Henry yang biasanya bersinar merah menyala meredup tanpa sisa semangat pada dirinya. Ia yang hidup ratusan bahkan ribuan tahun dengan tampilan mudanya tampak kisut dengan beberapa kerutan tua yang mustahil muncul.

Rasa simpati sekaligus takut muncul dalam diriku begitu kristal merebak dari mata sayunya.

 

“Aku tidak mengerti, Keyx. Sama sekali tidak mengerti! Gelombang rasa yang ganjil itu muncul dan menyelimutiku dengan begitu eratnya. Aku lebih tidak mengerti saat ia tersenyum padaku seakan sudah lama menantikanku, seakan ia lega melihat kedatanganku, aku yang tak pernah dikenalnya!”

 

Henry jatuh lemah bersimpuh. Biolanya membentur keras lantai dan hancur berkeping-keping, menyisakan cahaya suram dari kepingannya yang menghilang dari pandangan kami.

 

“Aku hanya bisa terduduk diam di sampingnya sambil menggenggam kedua tangannya sedangkan ia menceritakan segala hal tentangnya tanpa ragu, tanpa mempertanyakan siapa aku. Darah mengalir dari mulut dan hidungnya begitu aku sadar eksistensinya akan segera hilang di Bumi ini. Dan saat ia menangis sambil memohon untuk mencabut nyawanya karena rasa sakit yang ia derita sudah tak mampu lagi ia tahan, aku tak kuasa menolaknya…!!”

“Tunggu! Jadi… Henry…kau…”

“Ya, Keyx! Aku membunuhnya… Aku MEMBUNUHNYA!! Bukan karena aku membencinya… Aku hanya mengabulkan permintaan pertamanya… Aku tak mampu berpikir, Keyx! Karena… Karena ia yang meminta… Karena… Karena…”

“Karena kau mencintainya?”

 

Untuk pertama kalinya aku mendengar seorang iblis menangis. Terlebih menangisi manusia. Ia tak mampu menjawab pertanyaanku, hanya teriakan frustasinya yang membahana mengisi ruangan. Namun aku tahu tanpa perlu dijawabnya. Dan hanya satu hal yang dapat kusimpulkan.

Aku akan jauh lebih hancur dibanding Henry jika aku kehilangan Liana.

Tapi sama seperti Henry, aku tak bisa menolak apapun keinginan soulmateku. Aku harus memikirkan cara yang tepat agar Liana tak menolak usulan agar kami terikat. Liana gadis yang rasional namun sulit ditebak. Bagaimana aku dapat membuatnya yakin dan menyetujui gagasan ini?

“Kulihat kau tidak bersemangat, Keyx.”

Suara itu…kenapa harus di saat seperti ini?

“Aku tahu bagimu aku sangat menyebalkan akhir-akhir ini, tapi aku tidak akan minta maaf. Malah aku berencana untuk benar-benar memisahkanmu dengan gadis itu secepatnya.”

Kalimatnya diiringi tawa licik. Tanpa perlu berbalik aku dapat menebak siapa pemilik suara ini. Murka memenuhi benakku. Tanpa sadar kelopak hitam yang tak lagi bersemangat menunjukkan pesonanya remuk dalam genggaman tanganku. Dengan penuh amarah aku berbalik seraya mendesiskan namanya, “BELLS!!!”

“Key?”

Aku tertegun saat tidak mendapati sosok angkuh Bells Everrose. Tak jauh dariku Liana Jo berdiri dengan ekspresi khawatir bercampur takut terpatri di wajahnya. Apa-apaan ini? Ilusi?

“Liana?” bisikku tertahan.

“Apa yang terjadi denganmu, Key? Kau terlihat…,” dahi Liana berkerut samar tanpa mampu melanjutkan kalimatnya. Menyedihkan. Ya, aku memang tampak menyedihkan tanpa bisa dipungkiri lagi.

“Liana… Kau… Nyata…?”

Bibirku membisikkan tiga kata itu dengan lirih. Aku tak lagi mampu menjelaskan ekspresinya saat ia berlari dan langsung memerangkap tubuhku dalam peluknya. Aku masih belum bisa berpikir. Bahkan jika ini hanya ilusi yang diciptkan Bells, aku tidak tahu bagaimana untuk keluar dari semua kebingungan ini.

“Ya, Key… Ini aku,” bisiknya perlahan, “Ini aku, Lylian Xanville…”

***

 

Hutan yang gelap kami susuri berdua. Bukan berarti aku belum lulus menyusuri hutan yang ada di sekitar daerah ini, hanya saja kurang biasa membuat tempat ini asing bagiku. Selain itu kecepatan Liana yang luar biasa mendekati kecepatanku juga membuatku kagum. Ada berapa banyak lagi tentang dirinya yang tidak aku ketahui?

Angin menghembuskan aroma basah cemara. Tempat ini sudah begitu lama tak dihuni manusia hingga aku hampir tak bisa mencium jejak manusia. Ya, ada sedikit jejak, tapi sangat samar. Kami melompati dahan-dahan pepohonan dengan begitu cepat. Aku tak menggenggam tangannya karena tahu apapun ikatan fisik di antara kami saat ini hanya akan mengurangi kecepatan kami saja.

“Aku tahu kau bertanya-tanya dalam hati kemana kita akan pergi…,” gumam Liana, mungkin hanya bisa ditangkap pendengaran yang ketajamannya setingkat denganku. Ia melirikku sekilas lalu tersenyum tipis, “Aku sudah membuat keputusan, Key.”

“Oh?”

“Jadi, bagaimana denganmu? Apa kau sudah membuat keputusan yang tepat?”

Kadang aku heran dengan kemampuan menebaknya yang luar biasa. Namun saat ini ia hanya bertanya tanpa butuh jawaban. Kami berdua tahu apa jawabannya: belum.

Saat pepohonan hutan berkurang, aku mulai mempertanyakan apakah kami sudah sampai ke tujuan. Liana menghentikan gerakan cepatnya lalu berjalan ke reruntuhan besar kayu yang tak jauh dari sana. Tempatnya hampir hancur sepenuhnya dan aku bisa mencium aroma darah yang sudah lama mengering. Saat kami tiba tepat di depan rumah itu, Liana berbalik lalu tersenyum ceria ke arahku.

“Aku sudah memutuskan untuk memperkenalkan Lylian Xanville padamu, Key.”

 

-tbc-

 

©2013 SF3SI, Bella Jo

bella-jo-signature

Officially written by Bella Jo, claimed with her signature. Registered and protected.

This FF/Post legally claim to be owned by SF3SI, licensed under Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License. Permissions beyond the scope of this license may be available at SHINee World Fiction

Please keep support our blog, and please read the page on top to know more about this blog. JJANG!

Advertisement

3 thoughts on “Never Ever After – Part 4”

  1. Waaa fic inii. sudah lama menunggu lanjutannya.
    gemes banget sama keyx, iblis tapi di bayanganku dia imut hehe:3
    keep writing^^

  2. WOAAAAAAH>< maafkan aku kalo aku dulu sider😂 gemes sama key ugh😂 rasanya pengen gigit dia.g😂

  3. wwaaahh telat tau kalo ff ini udah update. ceritanya makin seru, trus kata2 Liana terakhir itu maksudnya apa? Liana udah mau membuka diri buat Key? aah, pokoknya ditunggu kelanjutannya. 😆

Give Me Oxygen

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s