Another Day

Another Day

pizap.com13860461781711

Author: AelloPan

Main Cast: Song Aerim (OC), Choi Minho (SHINee)

Support Cast: Lee Jinki(SHINee), Shim Chaesa (OC)

Length: Oneshot

Genre: Romance, Friendship, School Life

Rating: Teen

Disclaimer : Plot is based on my own idea but I don’t own member of SHINee. Do not copy, do not plagiarize, do not post somewhere else without my permission. Please, respect me as an author

Summary: Where did you go? ‘Cause you’re not gone. Everyone knows that something’s wrong. The wires were cut and I’m alone”Paramore, Another Day

Minho kembali memasang earphone-nya setelah setengah hari belajar di sekolah tanpa mendengarkan musik. Lelaki itu melangkahkan kakinya keluar dari gerbang menuju halte seperti biasa. Tanganya ia tempatkan pada saku celana seragamnya. Hoodie berwarna hitam membungkus tubuhnya sore itu.

Seseorang menepuk bahunya dari belakang, lalu melepas paksa earphone miliknya.

“Oppa mau pulang? Aku bagaimana?”

Gadis itu Shim Chaesa, siswa kelas 1 yang terus mengikutinya beberapa bulan belakangan. Kesal, Minho mengambil kembali earphone-nya dengan tatapan sinis. “Pulang saja, kau kan punya kaki.”

Gadis dengan rambut kuncir kuda itu memanyunkan bibirnya. Keningnya berkerut dan alisnya menyatu. Wajahnya memerah ketika Minho menatapnya, walaupun dengan tatapan membunuh seperti itu.

“Aku… ingin pulang denganmu. Tapi a…aku ada piket kelas sore ini. Kau mau… menungguku?” Gadis itu terbata.

Minho mengerenyit kaget. Lalu tanpa jawaban apapun dia meninggalkan gadis itu yang masih membeku di tempatnya. Siapa dia? Pacar saja bukan kenapa aku yang harus menunggunya? Sungguh, dia membuang menit-menit berharga dalam hidupnya untuk mendengar ocehan seorang gadis yang tidak punya hubungan apapun dengannya.

“Kau dingin sekali kepada gadis-gadis.” Onew yang baru keluar gerbang menyamakan langkah kakinya pada Minho. Sesekali ia menatap suasana di belakang mereka. “Oh tidak, yang barusan berbicara dengamu sedang terisak dan menendang pot milik sekolah. Aku yakin dia akan diceramahi oleh Mr. Tony seperti masalahku minggu lalu.”

“Mereka menyebalkan. Aku bukan sepertimu yang siap meladeni fans kapan saja,” jawab Minho.

“Dengan cara begitulah aku bisa berteman dengan para fansku. Bukan sepeti kau yang….. yah menurutku seperti di buang. Tapi aku yakin, itulah yang membuat mereka menyukaimu.” Kata Onew seraya meledek.

“Mereka bukan hanya sekedar fans dan menyukaiku, tapi maniak.”

Onew terbahak. “Sasaeng?”

Lalu Minho ikut tertawa. Tanpa sadar duo populer di sekolah tersebut sudah berada di halte. Beberapa gadis sekolah yang juga menunggu bus memekik girang. Onew tersenyum ke arah mereka. “Aku bilang juga apa, mereka lewat sini.” “Kyaaa senyumnya!” “Dia membuat Chaesa menangis, whoa keren!”

“Kau dengar itu?” bisik Onew.

“Jelas. Bagaimana deganmu?”

“Cukup membuatku puas.”

Tak lama kemudian sebuah bus berwarna hijau merangkak mendekat. Minho dan Onew yang sedang membicarakan salah satu episode Code Geass melangkahkan kakinya masuk ke dalam bus. Minho tahu sekali para anak perempuan tidak akan masuk dan satu bus bersama dirinya dan Onew, hal itu karena jarak rumahnya dan  Onew yang paling jauh dan sedikit sekali ada siswa yang satu jalur bersama mereka.

Bus itu kosong dan kedua lelaki itu mengambil tempat di sudut seperti biasa. Kemudian setelah itu bus kembali berjalan menuju Geumcheon.

Selama beberapa menit suasana sunyi datang begitu saja. Minho sibuk dengan lagu-lagu Supercell yang didengarnya melalui earphone birunya. Tak kalah lagi Onew yang matanya tak lari dari PSP kesayangannya. Kemudian bus hijau itu berhenti di salah satu halte yang terletak di daerah Guro, tepatnya di depan sekolah menengah atas yang lumayan terkenal di daerah tersebut. Namun suasana sore ini sepi seperti biasa saat Minho dan Onew melewatinya. Karena sudah pasti jam keluar sekolah tersebut lebih awal dari sekolah mereka.

Satu menit menunggu, mereka berdua menemukan seorang perempuan dengan seragam Guro Senior High-School memasuki bus, rambut hitamnya menutupi sebagian wajahnya yang tertunduk. Benar-benar seperti Sadako dalam film The Ring yang di tontonnya beberapa tahun lalu. Kedua laki-laki itu terdiam mematung. Apa mungkin mereka sedang dihantui arwah Sadako? Tak mungkin jika hantu itu rela melakukan perjalanan dari Jepang ke Korea hanya untuk menakuti mereka.

Jika saja Minho tidak menemukan kaki gadis itu menjejaki tanah, mungkin dia sudah mengajak Onew kabur menerobos jendela. Pernyataan tersebut berbanding terbalik dengan kondisi yang dilihatnya ketika gadis itu mendekat.  Kaki gadis itu tidak melayang, justru dibungkus dengan sneakers berwarna ungu. Dan juga tas ransel berwarna merah marun sangat membuktikan bahwa gadis ini adalah pelajar biasa seperti mereka. Apa seramnya jika ada Sadako membawa ransel? Bedanya gadis ini sungguh terlihat kacau. Kalau diperhatikan, matanya sembab dan wajahnya kaku menahan tangis.

“Hei, kau baik-baik saja?” tanya Onew hati-hati setelah gadis itu duduk di seberang kanan tempat duduk mereka. Minho pikir gadis yang seperti sedang banyak pikiran seperti itu akan bungkam suara, tetapi ternyata gadis itu masih menghargai orang-orang sekitarnya dengan mengangguk pelan, walaupun tanpa memandang wajah sang penanya.

“Yah kalau ada apa-apa, minta bantuan kami saja. Kami siap membantu!” Onew menyarankan dengan kelewat ceria. Cukup membuat Minho melayangkan tatapan ‘berhentilah-menjadi-playboy-untuk-saat-ini’. Dan dibalas Onew dengan tatapan ‘apa-urusanmu?’

Lima menit berlalu dan suasana di bus kembali hening. Hanya ada suara beberapa transportasi darat yang sedang sibuk berlalu lalang. Onew sudah kembali sibuk dengan PSP-nya dan Minho juga sudah memasang kembali earphonenya yang mendengarkan My Dearest-nya Supercell.

Saat itu juga Minho sibuk dengan dunia dan pemikirannya. Masalah ada gadis mirip sadako di sebelahnya bukan urusannya, dan dia memilih untuk tidak ikut campur apapun masalah yang gadis itu sedang hadapi sampai-sampai menjadi sekacau itu. Minho memejamkan matanya. Menyuruh otaknya memutar kembali kenangan-kenangan yang pernah ia buat ketika ia hidup. Dan apa nasihat yang diberikan oleh orang tuanya. Minho harus ingat, dia tidak ingin jadi anak durhaka yang mengabaikan ucapan orang tua.

Satu persatu gambaran terlintas, dan dia geli sendiri ketika teringat ingatan minggu lalu. Ketika adiknya yang berumur 14 tahun terang-terangan mengatakan ia sudah berpacaran dengan teman sekelasnya. Ya, hal itu membuat  seisi rumah gempar dan ricuh. Ayah sendiri memaksa adiknya untuk membawa kekasihnya ke rumah, sementara ibu yang memberi saran cara berpacaran yang sehat di kalangan remaja–yang Minho pikir cara seperti itu sudah tidak jaman untuk sekarang. Dan begitu nasihatnya selesai, tidak lupa ia menceramahi Minho untuk mencari pacar juga. Kemudian menakuti-nakuti Minho jika ia tidak berpacaran mulai dari sekarang, ia akan jadi perjaka tua dan tidak ada satupun wanita atau nenek-nenek sekalipun yang ingin bersamanya. Ya, cukup membuat Minho berpikir untuk mengencani Chaesa—kalau gadis itu tidak gila. Mungkin dari sekarang dia harus meminta Onew untuk mengenalkan seorang gadis kepadanya.

Sedetik kemudian ia merasakan Onew menyikut siku-nya. Dengan mata berat ia melihat sahabatnya itu yang sedang memberi menunjuk arah kanan mereka atau lebih tepatnya gadis yang sedang kacau tadi.  Gadis itu terisak dengan buku-buku jarinya yang menutupi wajahnya. Dan ketika Minho melepas earphone-nya, suara isakan itu terdengar hebat.

Kemudian yang terjadi selanjutnya adalah gadis itu pingsan.

Minho terdiam begitu lama. Wajah yang tak asing baginya bahkan sampai sekarang masih dia ingat sedang tertidur pulas di tempat tidur rumah sakit malam itu. Gadis itu Aerim. Song Aerim.

Bagaimana tidak sosok manis dengan kulit pucat dan pipi merona ini bisa ia lupakan begitu saja, walaupun waktu tidak mempertemukan mereka selama 6 tahun lamanya. Dan bodohnya Minho tidak menyadari bahwa gadis yang sedang kacau di bus tadi adalah teman baiknya—atau lebih dari itu—

Dia tidak mungkin salah bahwa gadis ini adalah Aerim. Tanda lahir di lengan kanannya benar-benar Minho ingat dan ini tidak mungkin salah.

Di rumah sakit ini, Minho dan Onew menunggu Aerim sampai dia sadar dari pingsannya. Tidak ada yang bisa dilakukan oleh mereka kecuali menunggu. Tidak ada keterangan yang bisa didapat oleh barang-barang Aerim sebagai informasi untuk menghubungi keluarganya. Dan Minho yang notabennya pernah mengenal Aerim pun tidak tahu dimana gadis itu tinggal sekarang.

Aerim dulu sahabatnya ketika kecil, dan jujur saja Minho menyukai gadis ini. Gadis ini orang pertama yang berani membantunya ketika ia dipukuli geng nakal sewaktu sd. Gadis ini pula yang bersedia dihabisi bekalnya oleh Minho ketika ibunya lupa untuk memasak sarapan. Gadis ini yang memberikan first cake-nya kepada Minho ketika dia berulang tahun. Gadis ini yang tidak bosan mengajak Minho menonton Sailor Moon. Gadis ini yang punya senyum paling manis. Gadis ini…yang terlalu sempurna bagi Minho. Dan gadis ini yang membuat dirinya menangis ketika gadis ini harus pindah ke Thailand mengikuti orangtuanya.

“Kau pacarnya?” tanya dokter muda itu kepada Minho.

“Apa?! Tidak…….maksudku iya. Saya pacarnya,” jawab Minho tanpa sesal. Dia sanggup membayar biaya rumah sakit Aerim jika itu yang dokter muda ini inginkan.

“Anda bisa ikut saya ke ruangan?” pinta dokter itu. Minho sempat ragu. Apa Aerim punya penyakit yang parah sampai-sampai dokter ini bisa begitu serius? Apakah Minho rela mendengarkan penyakit apa yang terdapat dalam diri Aerim?

Onew berbisik, “Pacar? Kau gila!”

Minho mengangguk. Sejurus kemudian dia mengikuti dokter tersebut dan berada di ruangan tersebut lima belas menit.

Wajah pucat menemani Minho saat ia melangkahkan kakinya keluar dari ruangan tersebut.

“Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu!” Aerim berteriak seraya memeluk erat Minho. “Apa kabarmu, sobat?!”

Malam itu Minho dan Aerim sedang menyusuri jalanan Geumcheon menuju komplek perumahan di tengah kota. Aerim sudah baik-baik saja—walaupun masih sama pucatnya—dan memaksa Minho untuk mengantar dirinya ke rumah jalan kaki (dengan alasan agar Minho tahu tempat tinggalnya) dan setelah Aerim mengatakan dimana alamatnya, ternyata mereka masih satu jalur dan jarak rumah keduanya juga tidak jauh.

“Hei, kondisimu sedang tidak baik. Jangan terlalu girang sepeti itu,”  ucap Minho kesal. Dalam hatinya lelaki itu senang melihat Aerim yang sama ceria seperti dulu.

Dia merindukan saat-saat ini dimana ia pulang sekolah bersama Aerim. Bernyanyi bersama dan sering berbagi cerita. Biasanya Aerim yang sangat antusias dan Minho lebih suka mendengar. Dan sekarang kenangan dulu itu terulang kembali dimana Minho dan Aerim berjalan menyusuri jalanan kota. Hanya berdua.

“Aku kan sudah lama tidak bertemu denganmu, wajar dong!” jawab Aerim manyun. “Kau berbeda sekali sekarang, lebih tampan.”

“Tapi tidak seceria dulu…” ucap Aerim pelan.

Minho diam saja tidak memberikan komentar apapun. Matanya masih kosong menatap jalanan. Otaknya tiba-tiba menyusun sebuah puzzle kejadian beberapa jam yang lalu. Mencocokan penyebab-akibat dan apa yang terjadi pada Aerim. Apa yang membuat gadis itu bisa sekacau itu. Ya, iya tahu apa itu. Apa yang sebenarnya terjadi. Dokter itu mengatakan kepadanya tentang ‘hal itu’

Ini semua salahmu, bodoh.

”Bagaimana denganmu? Sama bodohnya seperti dulu.” Minho angkat bicara

“Bodoh? Siapa yang dulu mencontekkanmu rumus persegi waktu kelas 5?!”

“Itu kan sudah lama. Dan itu karena aku tertidur saat jam pelajaran, bodoh!”

“Aku tidak bodoh! Kau jahat!” Aerim merengek memanyunkan bibirnya. Membuat Minho geram sekali untuk membungkus gadis itu kedalam karung dan meletakkannya di rel kereta api.

“Aku bercanda, oke?” Minho tertawa.

Aerim terkekeh. “Dan lihat sekarang seragammu… kau sekolah di Ansan High School? Kenapa tidak di Guro saja? Kita bisa saja satu sekolah!”

“Kenapa kau tidak menghubungiku dan menyuruhku masuk Guro ketika kelulusan? Kenapa kau tidak tanya kepadaku aku memilih sekolah dimana? Oh, aku lupa kau bersenang-senang di Thailand dengan teman-teman barumu ya.”

Minho memang berbicara tanpa dicerna terlebih dahulu. Dia tidak peduli, ini jalan satu-satunya agar Aerim menjelaskan padanya kenapa gadis itu tiba-tiba meninggalkannya 6 tahun lalu. Aerim tidak tahu betapa kosongnya kehidupan Minho ketika gadis itu pergi. Aerim tidak tahu bahwa Minho sangat merindukan gadis itu lebih dari apapun.

Aerim terdiam cukup lama. Setelah hening beberapa saat dia angkat bicara. “Dengar, itu memang salahku tidak mengatakan padamu bahwa ayah membawaku ke Thailand. Aku kacau sekali hingga lupa semuanya.”

“Apa maksudmu?”

“Perusahaan ayah sedang bangkrut saat itu dan ayah terjebak utang pada sebuah perusahaan di Thailand. Ternyata sudah satu tahun ayah menyembunyikan bahwa perusahaan yang ia punya di Korea telah ditutup. Untuk membayar semua utang, kami bisa saja dilaporkan pada pihak berwenang karena sudah lama menunda pembayaran utang, tapi pihak perusahaan Thailand itu masih berbaik hati untuk memberikan pekerjaan kepada kami di perusahaannya dan meminta kami untuk pindah kesana secepat mungkin. Ayah sedang kacau saat itu sehingga aku tidak bisa memberitahu dirimu dan keluargamu. Ibu takut kalian akan mengkhawatirkan kami.”

Minho diam seribu bahasa. Dia shock. Ya, dia tidak tahu kalau perusahaan ayah Aerim akan mengalami bangkrut. Dia bingung tanggapan apa yang cocok untuk menghilangkan keheningan saat itu. Dia sedikit merasa bersalah.

“Aku… maksudku keluargaku diperlakukan sangat baik disana oleh para kerabat. Tapi tidak dengan teman-temanku. Mereka membenci keberadaanku dan ada gossip tidak benar mengenai aku disana. Setiap hari aku dilemparkan caci maki.”

Cairan bening perlahan keluar dan membasahi pipi Aerim. Minho, ditempatnya dengan tangan terkepal menahan emosi yang tiba-tiba memuncak dalam dirinya.

“Aku kembali ke Korea seorang diri. Berniat memulai kehidupan baru lagi tanpa masalah seperti di Thailand. Tapi ketika sampai disini, aku terlalu takut untuk memulai pertemanan. Aku takut dengan orang-orang yang mencoba berteman denganku, aku takut mereka akan seperti teman-teman di Thailand. Kemudian hal yang sama terjadi padaku lagi dan sebuah kejadian terjadi.”

Kalimat terakhir Aerim benar-benar tidak ingin di dengar oleh Minho. Cepat atau lambat gadis itu pasti mengatakan hal yang terjadi pada dirinya. Hal yang sudah Minho tahu satu jam yang lalu.

“Aku memberitahu orangtuaku dan ibu shock bukan main. Ayah memintaku untuk kembali ke Thailand untuk menyelesaikan masalahku disana. Tapi sehari sebelum aku pindah ke Thailand, aku mendengar kabar bahwa ibu…bunuh diri.”

“Aku kecewa dengan ibu, kenapa dia yang meninggalkanku? Kenapa dia yang tidak terima kalau aku menanggung ini semua? Aku sendiri yang tertimpa ini semua dan bahkan aku belum berpikir untuk bunuh diri, bahkan mengugurkan kandungan-pun tidak pernah terlintas dipikiranku.”

Penjelasan itu sangat panjang dan Minho akhirnya mendengar inti dari cerita itu semua. Kalimat terakhir yang merupakan jawaban kenapa gadis ini begitu kacau saat berada di bus.

“Aku yakin dokter sudah memberitahumu tentang kehamilanku, Minho.”

Minho tertunduk. Untuk kedua kalinya ia merasa kehilangan Aerim. Aerim yang tidak mungkin dia raih. Aerim yang baru ia sadari sedang mengandung darah-daging orang keparat itu.

“Dengar, tidak ada yang bisa kau lakukan di Thailand. Jangan pergi lagi, Aerim. Aku menyukaimu sejak lama, kau yang slalu aku tunggu kehadirannya. Tolong, aku saja yang bertanggung jawab. Aku akan menjadi ayahnya.”

Aerim terdiam mematung, bukan belas kasihan seperti ini yang ia harapkan dari seorang Choi Minho. Ini berlebihan. Bagaimana bisa gadis seperti dirinya membiarkan masa depan Minho berantakan dengan kehadirannya dan bayinya ini.

“Tapi…”

“Jangan tolak aku, aku mencintaimu!”

“Bukan begitu…”

“Jawab aku, Aerim…”

Minho menahan nafas. Dia memang bodoh untuk mengatakan ini semua dan membuat keputusan begitu cepatnya.

Aerim diam sementara. Memandang wajah tampan itu dengan rasa bersalah. Dengan penyesalan tiada batas. Minho harus tahu bahwa mereka hanya sahabat dan tidak lebih dari itu.

“Aku sudah punya calon ayah untuk bayi ini disana. Maaf…”

Minho terpaku ditempatnya dengan cairan bening mengalir keluar dari matanya.

“And do you ever want me, do you ever need me?
I know that you left before goodbye.
And it’s okay, there’s always another day.
And anytime you want me, anytime you see me
I don’t think you meant to say goodbye
And it’s okay, there’s always another day” –Paramore, Another Day

—END—

Akhirnya selesai. Bagaimana? Ini ff-ku setelah setahun fakum. Semoga masih bisa menghibur yaa. Btw jangan lupa RCL.

Jangan lupa liat beberapa ff-ku di http://aellopan.wordpress.com

Ada versi lain dengan cast berbeda, aku kirim ini dengan beberapa perombakan, maaf kalau ada typo atau nama lain yg tiba2 muncul. Btw thanks udah baca 😀

 

©2011 SF3SI, Freelance Author.

Officially written by ME, claimed with MY signature. Registered and protected.

This FF/Post legally claim to be owned by SF3SI, licensed under Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License. Permissions beyond the scope of this license may be available at SHINee World Fiction

Please keep support our blog, and please read the page on top to know more about this blog. JJANG!

15 thoughts on “Another Day”

  1. kok rasanya pendek ya? Kirain bakal TBC. Tapi lumayan, suka banget ^^. Feelnya dapet dan penulisannya juga baik jadi meskipun ide ceritnya agak pasaran tapi karena penulisannya yg beda, untuk pribadiku sendiri ff nya jadi menarik 🙂

    Good! Keep writing ya~ 😉

  2. nggak ngerti … #plak aku aja yg nggak fokus apa gimana … soalnya alurnya cepeeet hehe ,dan kirain mau sama chaesa yaa walaupuan di atas castnya udah aerim ,hwaiting aja pokonya yaaa ^^

  3. Shim Chaesa? tiba2 pikiranku lari ke ff nya Diya eon xD

    Dan wuaaahh….
    aku semacem yang pingin banting komputer gitu. Ini si Aerim di taksir sama cowok ganteng malah nolak. Kalau aku sih, mau di Thai udah ada calonnya juga bodo amat deh xD
    Mungkin, yeah, alurnya agak sedikit cepat, tapi masih berasa kok, masih dapet intinya ^^

    jangan kapok nulis yaaa~
    makasih ceritanyaa ^o^

Give Me Oxygen